KOMPAS.com - Internasional |
Posted: 14 Feb 2011 02:03 AM PST Oleh Musthafa Abd Rahman KOMPAS.com - Hosni Mubarak seyogianya mengumumkan pengunduran diri pada Kamis malam lalu. Militer Mesir mengharapkan hal itu juga. Pemimpin baru partai berkuasa, Partai Demokratik Nasional (NDP), sudah memohon bertemu Mubarak agar melakukan itu. Semua yakin hal tersebut akan dilakukan, tapi Mubarak mendadak berubah. Para penasihat utama dan anggota keluarga Mubarak, termasuk putranya, Gamal Mubarak, sebagai pihak yang paling berpengaruh, tetap meyakinkan Mubarak untuk bertahan dan keadaan bisa diatasi. Akibatnya, siaran televisi yang diperkirakan akan menayangkan pengumuman pengunduran diri berbalik dengan tayangan televisi berisi keinginan bertahan. Ini kemudian berubah menjadi suatu hal memalukan. Sikap bertahan Mubarak menaikkan gairah demonstran untuk melanjutkan protes. Sejumlah tentara ikut bergabung dengan pemrotes. Hari Jumat, pihak militer mulai mengambil sikap lebih tegas, menurut sejumlah sumber anonim yang bertutur kepada kantor berita Associated Press soal detik-detik terakhir Mubarak di Istana Presiden di daerah elite Distrik Heliopolis. Sumber-sumber itu adalah para editor dan petinggi media pemerintah yang memang amat dekat dengan Mubarak, para pensiunan jenderal, para pejabat tinggi, anggota senior NDP, dan para analis yang paham terhadap mekanisme di lingkaran dalam Mubarak. Sumber-sumber tersebut meminta namanya benar-benar dirahasiakan karena sangat berbahaya bagi keamanan mereka. Mereka menggambarkan Mubarak sebenarnya sudah tak ingin dan tak mampu lagi bertahan. Bahkan Mubarak yakin hanya kepergiannya yang bisa menyelamatkan negara dari kekacauan akibat aksi protes yang dimulai pada 25 Januari lalu. Seorang pejabat senior pemerintah mengatakan, Mubarak terkecoh oleh sistem yang berlaku di sekitarnya. Sistem ini membuat Mubarak, yang sedang limbung, semakin tak bisa menilai secara saksama soal perkembangan terkini di negaranya. "Mubarak memang selama ini tidak pernah menghiraukan pandangan orang lain selain dari Gamal. Ia benar-benar terisolasi. Akibatnya, setiap tindakan Mubarak selalu memperlihatkan keterlambatan." Mubarak, misalnya, menunjuk Omar Suleiman sebagai wakil presiden baru dengan tujuan bahwa ia menghentikan aksi protes, yang menggelinding seperti bola salju. Ada dua opini yang berkembang di lingkaran dalam sebelum Mubarak mundur dengan pergi ke Sharm al-Sheikh. Satu kelompok bergulat untuk memikirkan bagaimana mengakhiri aksi demonstrasi karena keadaan sudah genting. Kubu ini dihadapkan pada keinginan orang-orang terdekat Mubarak, termasuk Gamal, yang tetap menghalangi Mubarak untuk memahami keadaan telah benar-benar genting. Pada Kamis (10/2/2011), hampir setiap orang di Mesir sudah yakin Mubarak segera mundur, termasuk pihak militer. Stasiun televisi sudah menuliskan pesan bahwa tuntutan demonstran akan dipenuhi segera dalam hitungan jam. Hossam Badrawi, petinggi NDP, bertemu Mubarak pada hari Kamis itu. Kemudian, kepada pers, ia mengatakan pemimpin Mesir itu segera memenuhi tuntutan para demonstran. Mubarak tak juga melakukannya. Badrawi yang ditunjuk sebagai ketua baru NDP beberapa hari sebelumnya memilih mundur. Ini adalah sebuah protes terhadap perubahan sikap Mubarak. Isu kudeta Tak lama setelah itu, Badan Agung Angkatan Bersenjata kini menguasai sementara pemerintahan Mesir, bertemu tanpa kehadiran pemimpin tertinggi mereka, yakni Mubarak. Dewan ini mengeluarkan pernyataan tentang hak-hak sah para pemrotes. Mereka menyebut-nyebut "Komunike Nomor 1". Ini adalah sebuah istilah di dunia Arab yang mengindikasikan potensi kudeta. Saat dewan bertemu, Menteri Penerangan Anas al-Fiqqi berada di studio televisi bersama Gamal. Mereka menemani Mubarak yang tampil di televisi Jumat lalu hanya untuk menyatakan keinginan bertahan sampai September. Sebelum Mubarak tampil, televisi pemerintah sudah pula mengutip Al-Fiqqi bahwa Mubarak tak akan mundur. Pada hari Sabtu Al-Fiqqi mundur setelah Mubarak benar-benar mundur pada hari Jumat. Pengunduran diri Mubarak didorong keberanian pemrotes untuk mendekat, hanya tinggal beberapa meter dari pagar Istana Presiden. Hal ini amat dimungkinkan karena pihak militer memang sengaja membiarkan demonstran melakukan itu. Di Alun-alun Tahrir, demonstran terus berunjuk rasa. Militer juga mengizinkan pemrotes mengepung stasiun televisi dan radio di Kairo. Saat demonstran mendekat, saat itu pulalah Mubarak dan keluarganya terbang ke Sharm al-Sheikh. Ini mengubah selamanya sejarah Mesir. (AP/MON) |
Posted: 13 Feb 2011 11:34 PM PST SELAMA 30 tahun dalam cengkeraman rezim diktator yang korup, akhirnya "Umm al Dunya" (Ibu Dunia) - julukan Mesir - bisa tersenyum kembali. Turunnya Hosni Mubarak oleh desakan kekuatan rakyat, Jumat (11/2/2011), bakal melahirkan era baru. Tapi, mau ke mana Mesir di masa depan? Akankah Mesir menjelma jadi negara demokratis yang independen dan lebih adil? Atau, Mesir hanya terlepas dari satu diktator untuk jatuh ke diktator lainnya? Dalam hubungan internasional, akankah Mesir lebih mandiri dan tegas bersikap terutama menyangkut isu Israel dan Palestina. Atau, Mesir akan tetap kembali mesra dengan Israel dan Amerika Serikat? Semuanya masih dalam proses. Seperti kata Presiden AS, mundurnya Hosni Mubarak hanya awal dari sebuah transisi. "Saya yakin (setelah turunnya Mubarak, Red) akan ada hari-hari yang sulit di depan dan masih banyak pertanyaan yang belum terjawab," kata Obama. Mundurnya Mubarak sudah tentu mencemaskan Israel, negara teangga terdekat. Seperti kata mantan Direktur Umum Kementerian Luar Negeri Israel, Alon Liel, turunnya Mubarak membuat Israel semakin terisolasi. Sebab, Mesir di bawah Mubarak menjadi partner strategis Israel di kawasan itu, terutama dalam menghadapi Palestina dan berbagai isunya. Ke depan, kemesraan itu belum tentu terjadi lagi. Apalagi jika Mesir menjadi anti-Israel. Maka, bagi Israel, Mesir diharapkan akan tetap menjadi partner strategisnya, apa pun sistem pemerintahannya. Demikian juga bagi Amerika Serikat, Mesir diharapkan tetap menjadi negeri yang mudah diajak "kerja sama". Sebab, AS memiliki banyak kepentingan di kawasan ini. Apalagi, Mesir punya posisi strategis di Timur Tengah dan dunia Islam. Sebaliknya bagi Palestina, Mesir diharapkan berubah sikap dan lebih memihak mereka daripada Israel yang sama-sama bertetangga, setidaknya lebih obyektif dan rasional menyangkut isu kawasan tersebut. Bagi rakyat Mesir sendiri, "Ibu Dunia" diharapkan menjadi negeri yang lebih demokratis, memberi kebebasan pers dan menyampaikan ekspresi, memberi keadilan sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Tak ada lagi diktator. Itu kondisi yang tak mereka rasakan selama pemerintahan Mubarak. Dengan undang-undangnya, Mubarak cenderung menjadi diktator dan korup. Ia juga represif, sementara kesejahteraan tidak merata. Ia terlalu asyik membangun kerajaan ekonominya bersama kroni-kroni kapitalisnya. Dalam tatanan hubungan luar negeri, rakyat berharap Mesir lebih gagah, punya sikap, tegas, dan adil. Itu tercermin dari keresahan dan kemuakan rakyat yang menganggap Hosni Bubarak hanya boneka Israel dan AS. Mereka berharap Mesir punya harga diri. "Tegakkan kepala, kita orang Mesir!" demikian salah satu kata-kata yang diteriakkan massa ketika memaksa Mubarak turun. Bola sekarang berada di tangan militer yang diberi mandat untuk mengawal transisi, mengantar pemilihan parlemen dan presiden baru yang sesuai dengan amanat rakyat. Proses menuju pemilihan baru untuk mengantar Mesir ke gerbang era baru itu yang sangat penting. Sebab, di sinilah akan terjadi tarik-menarik antara banyak kekuatan dan kepentingan. Tak hanya kepentingan dalam negeri, tapi juga luar negeri. Bukan rahasia lagi, AS dan Israel bakal mencoba memengaruhi proses ke arah transisi agar Mesir di masa depan menjadi negeri yang sejalan dengan kepentingan mereka. Tokoh senior Partai Liberal WAFD, Mahmoud Abaza mengingatkan, rakyat harus tetap waspada. "Kita harus hati-hati. Jangan sampai kita melihat kepergian diktator hanya untuk jatuh ke tangan diktator lainnya. Ini masa-masa penting buat Mesir. Bisa saja militer tetap mempertahankan ide-ide lama, meski kemungkinannya sangat kecil," katanya. Tokoh oposisi Ayman Nour yang selama ini menentang Mubarak mengatakan kepada Al Jazeera, "Bangsa ini telah lahir kembali. Rakyatnya lahir kembali dan ini era baru Mesir." Mesir bangga menyebut negerinya sebagai "Ibu Dunia". Mereka memiliki kebudayaan tertua. Dan, sang "Ibu Dunia" itu kini telah lahir kembali. Sebagai negeri yang terlahir kembali, dia masih "kecil" atau muda dan banyak yang penasaran akan menjadi apa Mesir dewasa nanti. Ada kekhawatiran Mesir hanya akan berubah pemimpin, tapi akan kembali dikuasai diktator baru dengan wajah baru. Atau, setidaknya dikuasai kediktatoran baru dengan wajah dan gaya baru. Kekhawatiran ini disampaikan Brian Katulis, ahli Timur Tengah dari Center for American Progress di Washington yang juga penasihat Gedung Putih. "Yang berpengaruh di Mesir sejak 1952 adalah orang-orang yang sama, kader-kader yang sama dari elite militer," ujarnya. Namun, menurut tokoh Ikhwanul Muslimin yang berada di London, Kamel el-Helbawy, 80 juta penduduk Mesir ingin membangun negara baru sesuai dengan aspirasi mereka, tak peduli dengan kekuatan asing. Mereka juga lebih bersatu dalam satu tujuan, tak peduli Islam atau sekuler, yaitu membangun negara demokratis yang adil dan menghormati hak asasi manusia. "Kediktatoran sudah menjadi masa lalu. Kami tak akan mentoleransi orang keras kepala seperti dia (Muabrak, Red) lagi," katanya. Ya, jutaan rakyat Mesir yang turun ke jalan selama 18 hari untuk menumbangkan Mubarak memiliki satu kekuatan yang sama, yakni merindukan negara demokratis. Tokoh Ikhwanul Muslimin lain, Essam Erian, membenarkan hal itu, "Kami bersatu dalam satu tujuan, menggulingkan diktator dan membangun negara baru, yakni negara demokratis. Bola sekarang di tangan militer yang berjanji akan mengantar ke arah sana. Kami optimistis." Optimisme sama disampaikan peraih Nobel dan tokoh oposisi, Mohamed Elbaradei, "Kami sedang menunggu bekerja sama dengan militer untuk menyiapkan pemilihan yang bebas dan jujur." Sedangkan Ketua Partai Ghad, Ayman Nour mengatakan, "Kami sedang mengarah pada transisi yang akan membawa kami ke dalam negara sipil, negara bebas yang akan memenuhi tuntutan rakyat. Militer harus mengakomodasi arah ke sana. Saya yakin mereka tahu tugasnya." Masa enam sampai setahun ke depan akan sangat menentukan. Militer harus mengakomodasi tuntutan rakyat dan zaman. Pendiri gerakan Kefaya, George Ishaq, juga menekankan hal itu. "Kami butuh teknokrat untuk membentuk panitia perancang undang-undang baru, kemudian mengantar pemilihan parlemen dan presiden. Militer tahu situasi ini dan peran mereka hanya sementara," tegasnya. Memang sempat ada kekhawatiran, militer akan kembali mengkhianati rakyat. Tapi, itu tak akan dilakukan. Sebab, pengkhianatan hanya akan melahirkan pemberontakan lebih dahsyat dan bisa membawa Mesir ke dalam chaos lebih parah. Dan, militer cukup tahu diri. Sekjen Partai Tagammu yang beraliran kiri, Rifaat Said mengatakan, "Memang ada kekhawatiran, tapi saya kira militer tahu bagaimana bertindak dengan benar." Militer juga langsung merespons tuntutan rakyat. Minggu (13/2/2011), mereka membubarkan parlemen dan membekukan undang-undang. Ini langkah maju menuju transisi yang lebih baik. Arus besar sudah jelas menginginkan Mesir menjadi negara demokratis, adil, dan independen. Setidaknya babak baru Mesir memang telah dimulai. Hanya, rakyat Mesir tak boleh lupa dan lengah. Mereka harus mengawal revolusi Mesir sampai batas tak terhingga dari sepak terjang segala kepentingan yang tak sejalan dengan cita-cita revolusi. Indonesia menjadi contoh menarik. Reformasi 1998 kemudian seolah kurang pengawalan ketat dari kekuatan-kekuatan rakyat. Dalam 12 tahun perjalanannya, ternyata masih banyak hal yang tak memuaskan. Beberapa agenda reformasi berjalan lamban. Korupsi masih menggejala, ketegasan hukum masih lemah, rasa aman rakyat menipis, pemerataan ekonomi lamban. Bahkan, orang-orang dan kader-kader lama yang identik dengan rezim lama masih banyak bermain dengan berubah wajah dan penampilan, meski membawa kepentingan lama. Mesir kini memang telah terlahir kembali. Namun, sang "Ibu Dunia" ini masih tetap harus dirawat pertumbuhan dan perkembangannya, agar menjadi dewasa seperti kehendak rakyat. Quo vadis, Mesir? Hanya rakyat Mesir yang bisa menentukan arahnya. (Hery Prasetyo dari Berbagai Sumber) |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Internasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan