KOMPAS.com - Internasional |
Setelah 30 Tahun, Mubarak Tunjuk Wapres Posted: 30 Jan 2011 03:52 AM PST Krisis Mesir Setelah 30 Tahun, Mubarak Tunjuk Wapres Editor: Heru Margianto Minggu, 30 Januari 2011 | 11:52 WIB KAIRO, KOMPAS.com - Presiden Mesir Hosni Mubarak, 82 tahun, menunjuk kepala intelijen Omar Suleiman sebagai wakil presiden, Sabtu (29/1/2011). Posisi wakil presiden adalah jabatan yang tidak pernah diisi selama 30 tahun kekuasaannya. Banyak kalangan berpendapat, penunjukkan wapres mengindikasikan kemungkinan terjadinya suksesi kepemimpinan di Mesir. Langkah ini juga menepis perkiraan selama ini bahwa Mubarak akan menunjuk putranya menggantikan dirinya. Mubarak mengisi posisi wakil presiden setelah unjuk rasa besar selama lima hari yang memporakporandakan Kairo dan menewaskan lebih dari 100 orang. Penunjukan orang nomor dua di Mesir juga menyiratkan bahwa Mubarak tidak akan mencalonkan diri dalam rencana pemilihan umum pada September mendatang. Sebelumnya, banyak pejabat mengatakan, Mubarak akan kembali maju mempertahankan kekuasaan. Omar Suleiman, 74 tahun, telah lama mengambil peran dalam berbagai kebijakan kunci di Mesir. Televisi nasional menyiarkan Suleiman disumpah menjadi wapres Mesir. Kantor berita nasional Mesir memberi laporan singkat, "Menteri Omar Suleiman telah diambil sumpahnya pada malam ini sebagai wakil presiden untuk presiden republik ini." Masih belum jelas apakah pengunjuk rasa akan menerima langkah Mubarak. "Ia juga sama dengan Mubarak, tidak ada perubahan," kata seorang pemrotes kepada Reuters di luar kantor Kementerian Dalam Negeri, tempat ribuan pengunjuk rasa berkumpul, beberapa saat setelah penunjukkan tersebut.
Kirim Komentar Anda |
Militer Tentukan Masa Depan Mesir Posted: 30 Jan 2011 02:03 AM PST Musthafa Abd Rahman KOMPAS.com - Militer secara de facto kini mengontrol Mesir. Tank dan kendaraan lapis baja militer dalam jumlah besar bertengger di sekitar gedung-gedung strategis, seperti gedung televisi dan radio, Gedung Kementerian Luar Negeri, Museum Nasional, gedung parlemen, serta alun-alun Tahrir dan Ramses. Tank dan kendaraan lapis baja militer juga ditempatkan di tempat-tempat strategis di kota Alexandria dan Suez. Kehadiran militer secara mencolok di jalan-jalan kota Kairo, Suez, dan Alexandria itu memenuhi permintaan Presiden Hosni Mubarak agar militer ikut turun tangan bekerja sama dengan aparat keamanan dalam menghadapi para pengunjuk rasa. Peran militer itu semakin kuat setelah Presiden Mubarak mengumumkan jam malam dari pukul 18.00 hingga pukul 07.00 di seantero negeri Mesir. Helikopter militer terbang rendah di atas kota Kairo pada malam hari, mengontrol jalannya jam malam itu. Sejak Revolusi 1952 yang mengubah dari sistem monarki ke sistem republik di Mesir, militer telah dua kali turun tangan mengembalikan keamanan dan sekaligus menyelamatkan rezim yang memerintah Mesir. Dari dua kali itu, pertama, ketika meletus intifadah roti tahun 1977 pada era Presiden Anwar Sadat. Pemerintah saat itu menaikkan harga roti yang menjadi makanan pokok rakyat Mesir. Rakyat secara spontanitas menggelar unjuk rasa di seantero Mesir. Militer turun tangan mengembalikan keamanan dan pemerintah akhirnya menurunkan harga roti. Rakyat kembali tenang. Kedua, ketika satuan keamanan antihuru-hara memberontak tahun 1986 pada era Presiden Hosni Mubarak. Saat itu Mubarak meminta militer turun tangan menghadapi satuan keamanan antihuru-hara itu. Kini, Mubarak kembali meminta militer turun tangan menghadapi aksi unjuk rasa luas yang berkobar sejak Selasa (25/1/2011). Namun, kondisi Mesir saat ini berbeda jauh dibandingkan tahun 1977 dan 1986. Saat ini, isu reformasi sosial, politik, dan ekonomi menjadi wacana kuat di dunia Arab, termasuk Mesir, khususnya pasca-berhasilnya "Revolusi Tunisia" yang menumbangkan rezim kuat Presiden Zein al-Abidine Ben Ali. Rakyat kini sudah tidak sabar lagi menunggu janji-janji surga pemerintah akan perbaikan kondisi politik dan ekonomi setelah menyadari dan mengetahui seorang pedagang asongan di Tunisia, Mohamed Bouazizi, mampu memicu revolusi yang "sukses" di negaranya. Pakar politik dari kajian politik dan strategi Al Ahram, Amr Shubaki, mengatakan, faktor buruknya kondisi ekonomi dan hasil pemilu legislatif November di Mesir yang mengecewakan, dengan adanya manipulasi luar biasa, membantu meletusnya intifadah (letupan) rakyat di Mesir. Itulah yang kini menggerakkan para pemuda Mesir tanpa dipandu seorang tokoh, atau kekuatan politik tertentu dengan segala latar belakang ideologinya, turun jalan meniru gaya perjuangan para pemuda Tunisia. Mereka mengusung isu yang sama, yaitu kemiskinan, pengangguran, kehilangan harapan masa depan, ketertutupan politik, tiadanya kebebasan, dan manipulasi pemilu. Kondisi buruk semacam itulah yang kini ditemui generasi baru di dunia Arab, termasuk Mesir. Maka, tidak heran bila mereka yang turun ke jalan adalah para pemuda berusia 17 tahunan hingga 30 tahun. Di Mesir, para pemuda itu sejak lahir hingga remaja hanya mengenal Hosni Mubarak sebagai presiden. Korban terbesar akibat kondisi ekonomi dan politik yang buruk itu adalah para pemuda atau generasi muda yang tumbuh berkembang di era internet ini. Mereka menjadi putus asa dan kehilangan harapan masa depan. Teknologi internet dengan sistem jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, membuat para pemuda segera mengetahui dan menyadari kondisi sulit yang dialami. Sekitar 40 persen dari 80 juta jiwa penduduk Mesir disinyalir hanya berpendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. Terinspirasi "Revolusi Tunisia", para pemuda Mesir kini tidak takut lagi terhadap sikap represif aparat keamanan yang biasa mereka temui sebelum ini. Pada intifadah Selasa, dan kemudian berlanjut pada intifadah besar Jumat (28/1/2011), para pemuda Mesir berhasil memenangi pertarungan dengan aparat keamanan. Di beberapa tempat di kota Kairo, aparat keamanan terpaksa mundur menghadapi ratusan ribu pemuda. Bahkan, di kota Alexandria, polisi dan aparat keamanan lari tunggang langgang, gentar menghadapi massa yang berjumlah 500.000 orang yang sebagian besar para pemuda. Para polisi dan aparat keamanan hanya termangu-mangu melihat kantor dan kendaraan polisi dibakar massa di beberapa tempat di kota Kairo, Alexandria, Suez, Tanta, Mansura, dan kota-kota lain di Mesir. Para polisi dan aparat keamanan juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika massa membakar kantor partai berkuasa di Mesir, Partai Nasional Demokrasi (NDP), di kota Kairo dan kota-kota lain di Mesir. Bahkan, massa membakar pula toko-toko dan sebagian bank yang diketahui tokoh NDP memiliki saham terbesar. Akhirnya terjadilah penjarahan di mana-mana. Di sini posisi Mubarak mulai terjepit. Tidak ada pilihan lain bagi Mubarak kecuali minta bantuan militer turun tangan. Mubarak juga membubarkan pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Ahmed Nadhes untuk menyelamatkan muka rezim di mata opini umum Mesir. Namun, keterlibatan langsung militer mengembalikan keamanan dan ketertiban di seantero negeri Mesir kali ini menimbulkan spekulasi tentang masa depan rezim Mubarak. Jika gerakan massa besar terus berlanjut di Mesir tanpa terkendali lagi, seperti yang terjadi di Tunisia, apakah sikap militer Mesir akan meniru militer Tunisia? Ada tiga skenario yang bisa diambil militer Mesir. Pertama, militer mengambil alih kekuasaan langsung yang sekarang secara de facto sudah berada di tangan mereka. Kedua, militer meminta Mubarak mundur untuk membuka jalan ke arah demokrasi di Mesir dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan transisi sipil, seperti yang terjadi di Tunisia saat ini. Ketiga, militer mempertahankan rezim Mubarak dengan transaksi politik tertentu seperti Mubarak harus membuka keran demokrasi dan memenuhi tuntutan rakyat, seperti reformasi sosial dan ekonomi untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Mubarak juga diminta tidak mencalonkan lagi dalam pemilu presiden di Mesir pada September tahun ini. Mubarak juga diminta tidak mewariskan kekuasaan kepada putranya, Gamal Mubarak. Kini di Mesir, segala sesuatu terpulang kepada sikap militer, persis seperti di Tunisia beberapa pekan lalu. Militer berhasil mengamankan tempat-tempat strategis di Mesir, tetapi sikap politik militer dari tiga pilihan tiga skenario tersebut akan pasti ditentukan sesuai dengan perkembangan di lapangan terkait dengan gerakan massa ke depan. Revolusi Tunisia butuh waktu hampir satu bulan, dari 17 Desember hingga 14 Januari, untuk memaksa militer meminta Presiden Ben Ali mundur. Kini, berapa lama yang dibutuhkan gerakan massa di Mesir untuk membuat militer memaksa mengambil satu dari tiga pilihan itu? Apa pun pilihan militer nanti, perubahan di Mesir sudah tidak bisa dihindari lagi. Semua pengamat yang memberi komentar di televisi Mesir sepakat, reformasi politik dan ekonomi harus segera dilakukan. Bahkan, ada yang meminta digelar pemilu baru yang bebas dan transparan di Mesir. Masyarakat internasional pun, seperti Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, mengatakan, Mesir segera melakukan reformasi politik dan ekonomi. Itulah realita baru yang dihadapi rezim Mubarak saat ini. |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Internasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan