Republika Online |
Apakah Saya Terlalu Keras Mendisiplinkan Anak? Posted: 20 Sep 2012 10:22 PM PDT REPUBLIKA.CO.ID, Pernakah anda mendengar curhat orang tua sepert ini, "Semakin keras saya berbicara dengan anak-anak saya--sebagai contoh, ketika mereka lari ke tengah jalan tanpa tengok kanan-kiri--maka mereka semakin kesal dan terganggu. Bagaimana saya bisa memastikan mereka memahami tingkat keseriusan situasi tertentu tanpa membuat mereka merasa lebih buruk?". Keluhan itu diungkapkan oleh orang tua bernama Zoe di situs Kids Healths. Mungkin ada baiknya mengingat ungkapan berikut. "Situasi mendesak butuh sikap mendesak". Ketika anak-anak anda dalam risiko keamanan tinggi--apakah ia berlari ke jalan tanpa melihat kanan-kiri, mendekati kompor dan api yang berkobar atau berjalan tepat di tepi kolam---berteriak, menjerit dan malah menangis kadang adalah respons yang dibutuhkan. Lagi pula, setiap orang tua bakal melakukan apa pun untuk mendapat perhatian anak-anak anda dan membuat mereka terjauh dari bahaya. Setelah episode menegangkan berakhir, biasanya si anak akan menangis. Tak perlu khawatir karena itu adalah hal alami dan anda bisa menggunakan saat itu untuk meminta maaf. Tapi, menurut pakar anak di Kids Health, tangisan anak usai peristiwa berbahaya cenderung respons terhadap rasa takut dan sifat mendesak dalam suara anda, bukan karena anda terlalu keras. Di saat ini orang tua sebaiknya menenangkan anak dan tanpa meminta maaf pun bukan masalah. Beri anak anda pelukan dan ungkapkan kalimat seperti, "Saya tahu kamu kesal, namun yang kamu lakukan barusan sangat berbahaya dan saya takut sekali kamu akan terluka. Kamu tidak boleh melakukan itu lagi". Ingatlah, menghukum anak setelah peristiwa menguras energi seperti tadi biasanya tak perlu, lantara mereka kemungkinan besar belajar dari pengalaman. Hal terpenting pantau si bocah apakah mereka memang menjadi lebih berhati-hati setelah itu atau tidak sama sekali. Yang patut diwaspadai, ada saat ketika orang tua terlalu keras alias terlalu streng (istilah prokem saat ini) dengan sering berteriak hanya untuk kesalahan kecil. Sikap ini mesti dievaluasi sebab bisa menjadi bumerang bagi orang tua. Anak-anak suatu saat bisa kebal terhadap reaksi berlebihan orangtua dan tak menanggapi serius ucapan mereka. Bila anda merasa sering berteriak dan mulai terjebak dalam kebiasaan ini, cobalah bersabar, tariklah nafas sejenak sebelum merespon perilaku anak. Coba tanyai diri sendiri. "Apakah saya hendak melakukan reaksi berlebihan?". Jika itu yang anda rasakan, menyingkirklah sejenak untuk beberapa menit dan kembalilah ketika anda sudah tenang. Secara umum, pakar tumbuh kembang dan psikologi anak menyarankan, ketika ingin mendisiplinkan anak, cara terbaik adalah berbicara dengan suara rendah tapi tetap tegas dan tetap fokus terhadap perilaku selip mereka, bukan ketidaksukaan anda terhadap si kecil. Menggunakan taktik konsekuensi alami juga membantu, seperti ketika anak anda melempar mainan, maka mintalah ia untuk mengambil mainan itu dan meletakkan ke tempat semula. Atau, ketika ia mengambil paksa barang milik saudaranya, minta dia untuk mengembalikan dengan sopan. Bila ia tak mau patuh melakukan, berikan sanksi berupa diam di satu tempat--tentu disesuaikan usia--atau konsekuensi lain, terlepas tangisan keras anak anda. Konsistensi adalah kunci penting dalam mendisiplinkan buah hati anda. Kadang penerapan sanksi terasa berat bagi orang tua terutama bila si bocah menangis. Namun percayalah pada diri anda, ketika anda hendak mendisiplinkan buah hati anda, itu karena didorong perasaan cinta dan kasih sayang, demi melihat mereka menjadi pribadi lebih baik. Lagi pula cinta juga mengandung ketegasan, bukan sikap yang lembek dan lemah. Justru ketika anda menyerah karena anak menangis, sikap itu hanya akan melanggengkan sifat buruk mereka. |
You are subscribed to email updates from Republika Online - Gaya Hidup RSS Feed To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan