KOMPAS.com - Nasional |
Wina Armada: Pers Jangan Jadi Pengemis! Posted: 20 Apr 2011 06:20 PM PDT BENGKULU, KOMPAS.com — Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Wina Armada Sukardi mengingatkan para wartawan, perusahaan pers, dan organisasi pers untuk tidak "mengemis" atau meminta-minta kepada kepala daerah demi menjaga independensi. Kalau masih ada wartawan meminta-minta kepada kepala daerah, mereka dapat dikategorikan sebagai orang miskin atau cacat yang dipelihara pemerintah. -- Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi "Kalau masih ada wartawan meminta-minta kepada kepala daerah, maka yang ia dapat dikategorikan sebagai orang miskin atau cacat yang dipelihara pemerintah," kata Wina Armada di Bengkulu, Rabu (20/4/2011). Ia tampil dalam forum diskusi Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar 1945 yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah RI dan Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Bengkulu (PWI Cabang Bengkulu). Menurut dia, pers harus tetap menjaga independensi dan mengedepankan pemberitaan berimbang. Pertimbangannya, selama ini ada kesan bahwa pers sudah dijadikan alat bagi pejabat dan pengusaha untuk kepentingan tertentu. Dengan demikian, keindependenan pers sudah hancur di mata masyarakat. Akhirnya pemerintah daerah seenaknya menjadikan pers untuk mencapai tujuan tertentu. Dampaknya, masyarakat tidak percaya pemberitaan media. Tiga isu sentral Anggota DPD-RI H Bambang Suroso dalam acara tersebut mengatakan, komunitas pers adalah mitra dalam mendukung program perubahan kelima UUD 1945 sebagai solusi pesoalan bangsa dan kebutuhan bangsa ke depan. Hingga saat ini ada tiga isu sentral dalam perubahan tersebut, yaitu memperkuat sistem presidensial, lembaga perwakilan, dan memperkuat otonomi daerah. Ia menjelaskan, dalam memperkuat sistem presidensial, presiden tidak memiliki kewenangan legislasi (membahas dan menyetujui rancangan undang-undang), tetapi hanya dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) tersebut. Sebagai imbalannya, presiden dapat memveto setiap RUU yang disetujui DPR dan DPD serta veto tersebut dapat dibatalkan bila disetujui dua pertiga anggota DPR dan dua pertiga anggota DPD. Dalam memperkuat lembaga perwakilan, katanya, kekuasaan legislatif berada di tangan DPR dan DPD yang kedudukannya relatif sejajar. Kekuasaan legistatif meliputi kewenangan membentuk UU, pengawasan, anggaran, pengisian jabatan publik, dan representasi. Menurutnya, semua rencana undang-undang harus mendapat persetujuan bersama DPR dan DPD, termasuk rencana undang-undang APBN. Baik DPR maupun DPD berwenang mengusulkan perubahan UUD 1945. Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price. |
AJI: Penuhi Hak-hak Pekerja Perempuan Posted: 20 Apr 2011 02:11 PM PDT Hari Kartini AJI: Penuhi Hak-hak Pekerja Perempuan Tenni Purwanti | Nasru Alam Aziz | Rabu, 20 April 2011 | 21:11 WIB JAKARTA, KOMPAS.com — Jurnalis perempuan di Indonesia rentan terhadap pengabaian hak kesehatan reproduksi. Misalnya, kebanyakan perusahaan media tidak menyediakan ruang khusus menyusui dan hak cuti haid bagi jurnalis yang mengalami rasa sakit pada hari pertama haid. Dengan memanfaatkan momentum Hari Kartini, pada Rabu (20/4/2011) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyerukan kepada perusahaan media agar segera memenuhi hak-hak pekerjanya, terutama menyangkut kesehatan reproduksi jurnalis perempuan, sesuai perintah Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. AJI meminta perusahaan media untuk memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja kepada jurnalis perempuan dan keluarganya, seperti pelayanan medis rawat jalan oleh dokter umum, rawat jalan dokter spesialis, rawat inap di rumah sakit, perawatan kehamilan dan persalinan, serta layanan penunjang lainnya. Perusahaan juga diminta memberi jaminan sosial tenaga kerja kepada jurnalis perempuan, menyediakan fasilitas antar-jemput (khususnya jurnalis perempuan yang hamil), serta memberi pelatihan kepada jurnalis perempuan tentang pentingnya pemeliharaan kesehatan reproduksi. Di lingkup global, pentingnya pemenuhan atas hak kesehatan reproduksi perempuan sudah diakui sejak Konferensi Dunia Pertama tentang Perempuan di Meksiko pada 1975. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDaW) melalui UU Nomor 7 Tahun 1984. Baca juga: KPK Bantah Pendam Kasus IT KPU Kirim Komentar Anda Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price. |
You are subscribed to email updates from KOMPAS.com - Nasional To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Tiada ulasan:
Catat Ulasan