Rabu, 24 Oktober 2012

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Rasa Malu Pejabat Kian Tipis

Posted: 24 Oct 2012 11:54 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Promosi jabatan untuk sejumlah bekas terpidana korupsi di Provinsi Kepulauan Riau memperlihatkan rasa malu di kalangan pejabat publik Indonesia semakin menipis.

Jika dibiarkan, kondisi ini rawan menyuburkan praktik korupsi di pemerintahan. "Kalau punya malu, mereka semestinya tak bekerja lagi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), apalagi kemudian diangkat menjadi pejabat publik," kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia, Salim Said, di Jakarta, Rabu (24/10/2012).

Sebagaimana diberitakan, Azirwan akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau.

Publik menolak promosi jabatan itu karena dia mantan terpidana korupsi dengan vonis penjara 2 tahun 6 bulan setelah menyuap anggota Komisi IV DPR, Al Amin Nasution, dalam kasus alih fungsi hutan lindung tahun 2008.

Selain Azirwan, kini masih ada delapan mantan terpidana korupsi yang menjadi pejabat di Provinsi Kepulauan Riau.

Mereka adalah Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga di Karimun, Yan Indra; Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu di Tanjung Pinang, Raja Faisal Yusuf; Kepala Badan Keselamatan Bangsa di Natuna, Senagip; dan Kepala Dinas Pariwisata di Natuna, Yusrizal.

Di Kabupaten Lingga, ada Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan, Iskandar Ideris; Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dedy ZN; Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan, Jabar Ali; dan Kepala Satpol Pamong Praja, Togi Simanjuntak.  

Menurut Salim Said, pengangkatan para mantan terpidana korupsi sebagai pejabat itu mencerminkan bahwa orang tak merasa malu lagi untuk bekerja melayani publik meski cacat moral. Orang yang terbukti korup itu berarti telah mengkhianati amanat melayani rakyat.  

"Enak saja, mereka sudah korup, diadili dan terbukti korupsi, dijatuhi hukuman, kok malah balik lagi menjadi pejabat. Mereka harus mundur dari jabatannya," kata Salim.  

Jika tetap menjabat, korupsi di lingkungan pemerintahan bakal semakin subur, apalagi jika pengawasan lemah. Untuk mencegah berulangnya kasus serupa, perlu dibuat aturan pelarangan.

"Siapa saja yang pernah dihukum karena korupsi tidak boleh lagi diangkat menjadi pejabat publik dalam semua tingkat selamanya," katanya.

Kejagung 5 Kali Kembalikan Berkas Siti Fadillah

Posted: 24 Oct 2012 10:05 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Berkas kasus dugaan korupsi pengadaan alat-alat kesehatan tahun 2005 dengan tersangka mantan Menteri Kesehatan RI, Siti Fadillah Supari, hingga saat ini masih dinyatakan belum lengkap (P19) oleh Kejaksaan Agung RI.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, berkas tersebut telah bolak-balik Kejaksaan Agung dan Polri sebanyak 5 kali. "Masih P19. Sudah 5 kali (dikembalikan Kejaksaan Agung). Kita terus koordinasikan," ujar Boy di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (24/10/2012).

Berkas perkara Siti diterima tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung pada 26 April 2012. Setelah itu, berkas perkara yang dilengkapi penyidik Bareskrim Polri dinyatakan belum lengkap oleh JPU.

Berdasarkan KUHAP, penyidik Polri memiliki waktu 14 hari untuk melengkapi berkas dan melimpahkannya kembali ke Kejagung. Menurut Boy, berkas dinyatakan belum lengkap karena kurangnya bukti materiil. "Masalah bukti materiil. Isinya bukti materiil apa, ya, saya juga tidak bisa jelaskan lebih lanjut," kata Boy.

Siti pun berbulan-bulan menyandang status tersangka sejak ditetapkan pada 28 Maret 2012 lalu.

Sebelumnya, Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengaku tidak akan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus tersebut. Sutarman menambahkan, kasus tersebut dimungkinkan untuk P22 atau dilakukan pemeriksaan kembali.

"Kalau masih ada kekurangan, mungkin nanti P22, artinya masih perlu penambahan pemeriksaan. Mudah-mudahan saya tidak lakukan SP3," terang Sutarman pada pertengahan September silam.

Sementara itu, menurut Boy, kasus ini belum mengarah untuk dilakukan P22. Penyidik Bareskrim Polri masih berusaha melengkapi kasus tersebut.

"Nanti kita lihat arahnya, tapi belum sampai P22 itu. Belum ada," terang Boy. Seperti diketahui, Siti dituduh turut serta dalam kasus itu karena menyalahgunakan wewenangnya dalam metode penunjukan langsung perusahaan rekanan untuk proyek pengadaan alat kesehatan buffer stock untuk Kejadian Luar Biasa (KLB) tahun 2005 di Depkes senilai lebih dari Rp 15 miliar.

Kerugian negara akibat kasus ini diduga mencapai Rp 6.148.638.000. Penyidik mengenakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 56 KUHP terhadap Siti Fadillah.

Selengkapnya ikuti beritanya di topik "Siti Fadilah dan Kasus Alkes"

Tiada ulasan:

Catat Ulasan