Selasa, 25 Oktober 2011

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Bebas Bersyarat Agus Condro, Penghargaan bagi "Whistle Blower"

Posted: 25 Oct 2011 12:52 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menyatakan, pembebasan bersyarat atas terdakwa suap cek pelawat Agus Condro yang lebih cepat dari terdakwa lain dalam kasus itu merupakan bentuk penghargaan negara terhadap whistle blower seperti Agus.

"Pembebasan ini untuk pesan moral kepada masyarakat kalau Anda bekerja sama membongkar kasus korupsi, bisa mendapat penghargaan yang sama," kata Denny di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa (25/10/2011).

Hari ini Agus Condro bebas bersyarat. Sore tadi, Agus meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan Alas Roban, Jawa Tengah.

Dalam kasus suap cek pelawat, Agus merupakan pelaku pelapor. Dia yang melaporkan penerimaan cek senilai Rp 500 juta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga kasus yang menjerat lebih dari 26 anggota DPR 1999-2004 itu terungkap.

Meskipun demikian, Agus tetap menjalani proses hukum dan divonis bersalah dengan masa hukuman 15 bulan penjara. Agus dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima cek pelawat senilai Rp 500 juta yang berkaitan dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.

Menurut Denny, seorang whistle blower seperti Agus berhak mendapatkan keringanan mulai dari tuntutan yang lebih ringan, pemberian remisi, pembebasan bersyarat, serta perlindungan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Namun, tambah dia, ada lima syarat agar whistle blower dan pelaku pelapor dapat memperoleh hak-haknya tersebut. Pertama, dia harus mengakui kesalahannya karena melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, mengembalikan uang hasil kejahatannya.

Ketiga, memberikan informasi yang terbukti akurat berdasarkan pengadilan. Keempat, ditetapkan sebagai whistle blower oleh LPSK. Kelima, yang bersangkutan kooperatif dengan aparat penegak hukum selama menjalani proses hukum. "Misalnya, dia enggak buron dan enggak melakukan banding," tutur Denny.

Full content generated by Get Full RSS.

PPATK Sarankan KPK Gunakan UU Pencucian Uang

Posted: 25 Oct 2011 10:50 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyarankan agar Komisi Pemberantasan Korupsi menggunakan Pasal 74 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dalam mengusut berbagai kasus korupsi. Hal tersebut disampaikan mantan Ketua PPATK Yunus Husein di kantor PPATK, Jakarta, Selasa (25/10/2011).

"Memang Pasal 74 UU TPPU tentang Pidana Pencucian Uang belum maksimal disosialisasikan. Tapi, kita sarankan KPK agar menggunakan UU ini, baik dalam proses penyidikan maupun penuntutan dalam mengusut beberapa kasus korupsi nantinya," ujar Yunus.

Dia menuturkan, sejauh ini dalam internal KPK memang terdapat kekhawatiran mengenai kewenangannya yang dibentuk awalnya hanya untuk menangani kasus korupsi. Menurut Yunus, selama ini KPK berpikir bahwa mengusut kasus dengan UU pencucian uang tersebut hanya bisa pada saat melakukan penyidikan, tidak sampai penuntutan.

"Kalau mereka pada saat menuntut menggunakan UU itu, mereka bisa ragu-ragu. Padahal, saya pikir KPK lebih baik menggabungkan saja antara kasus korupsi dan laundering yang akan diajukan ke pengadilan karena Pengadilan Tipikor sendiri dalam UU Pasal 6 Pengadilan Tipikor memperbolehkan perkara korupsi dan perkara pencucian uang yang berasal dari korupsi itu dilakukan," katanya.

Dikatakan Yunus, penggunaan pasal pencucian uang dalam pengusutan kasus korupsi menjadi penting karena hingga saat ini KPK sering meminta informasi kepada PPATK berdasarkan UU tersebut. Menurutnya, hanya kasus korupsi yang didakwakan oleh KPK akan dapat dipertanyakan oleh pengacara terdakwa karena UU yang dipakai untuk mencari informasi adalah UU pencucian uang.

"Jadi, kami menganjurkan KPK memakai UU TPPU baik dalam penyidikan dan penuntutan. Sehingga, proses pengungkapan kasus korupsi akan lebih optimal hasilnya dan tentunya juga bisa menjalin akses lebih banyak," kata Yunus.

Sementara itu, menurut Ketua PPATK Muhammad Yusuf, pihaknya akan segera memprogramkan dan menyosialisasikan UU tersebut kepada KPK. Menurutnya, kekhawatiran KPK memasukkan UU tersebut dalam proses penuntutan tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak menggunakan UU tersebut dalam hal memberantas kasus korupsi.

"Sudah banyak kasus soal pencucian uang ini. Seperti kasus hakim Syarifuddin, kan yang menerima uang haram itu tidak bisa diapa-apakan. Jadi, kalau dikatakan KPK gamang untuk menggunakan pasal itu, memang benar. Tapi, hukum itu dibuat untuk kepentingan manusia, janganlah dijadikan hambatan," kata Yusuf.

Full content generated by Get Full RSS.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan