Sabtu, 13 Julai 2013

Republika Online

Republika Online


Inilah Negeri Kopi Robusta

Posted: 12 Jul 2013 08:58 PM PDT

panoramio.

REPUBLIKA.CO.ID, Masyarakat Tanggamus sudah mengenal kopi sejak lama. "Mungkin sejak zaman Belanda masyarakat Lampung sudah mengenal kopi," kata Rohadi, salah satu petani kopi yang sukses di Desa Ngarip, Kecamatan Ulu Belu, Tanggamus.

Tanggamus adalah salah satu kabupaten penghasil kopi utama dari Provinsi Lampung. Nama tempat ini sendiri diambil dari nama Gunung Tanggamus (2.100 mdpl) tempat kabupaten itu berada. Perkebunan kopi memenuhi kaki hingga lereng gunung yang memiliki hutan lumut di puncaknya itu.

Memerlukan waktu sekitar tiga hingga empat jam perjalanan darat untuk menuju kawasan Tanggamus. Bahkan, bisa lebih dari waktu tadi jika menggunakan angkutan umum. Untuk menuju Desa Ngarip bisa dilanjutkan dengan angkutan menggunakan bak terbuka. Kondisi jalan rusak juga ikut andil membuat perjalanan bertambah lama.

Tanggamus memberikan kontribusi 40 persen dari total hasil kopi di Lampung. Seluruh perkebunan kopi ini dikelola oleh petani kopi yang sebagian besar merupakan perantau dari tanah Jawa. Kopi robusta adalah kopi utama yang ditanam di gunung yang menjadi favorit para pendaki di Lampung.

Robusta Tanggamus memiliki ciri khas dibandingkan kopi di wilayah lain. Pasalnya, ini sangat bergantung pada kesuburan tanah di Tanggamus dan pengelolaannya yang menggunakan pupuk alami. Letak geografis juga memberi pengaruh pada ciri khas kopi Tanggamus.

Kopi robusta dapat ditanam di atas ketinggian 600 meter di atas permukaan laut (mdpl), kalau di ketinggian pada 100 mdpl hingga 200 mdpl rasanya agak hambar. Meskipun terkenal dengan kopi robusta, Lampung juga memiliki jenis kopi arabika meski jumlahnya sangat sedikit. Sejauh ini, kopi arabika tak begitu berhasil dibudidayakan di Lampung.

Tanaman kopi robusta (Coffea canephora) merupakan spesies kopi yang pohonnya bisa mencapai 12 meter. Tanaman ini lebih tahan terhadap cuaca dan hama penyakit, serta lebih mudah untuk pemeliharaannya. Kopi ini bertekstur kasar, pahit, dan mengandung kafein yang tinggi. Banyak penikmat kopi yang kurang berminat mengonsumsi kopi robusta karena kandungan kafeinnya tinggi. Itulah yang menyebabkan pangsa pasarnya sedikit.

Di Indonesia, kopi robusta masuk belakangan pada 1900-an. Yakni,  saat arabika habis diserang penyakit pada 1878. Robusta menjadi pilihan alternatif dengan sifatnya lebih tahan penyakit untuk perkebunan di dataran rendah. Kopi jenis ini segera menyebar ke daerah lain, khususnya Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Lampung, dan Aceh.

Penyebaran itu begitu cepat, hingga kini selain dikenal sebagai "negeri" Gajah, Provinsi Lampung merupakan salah satu penghasil kopi robusta terbaik. Kopi robusta dihasilkan di wilayah Lampung Timur, Lampung Barat, dan Tanggamus. Lampung memiliki 160 ribu hektare perkebunan kopi yang menghasilkan sekitar 144.516 ton biji kopi kering per tahun. Siapa sangka daerah yang dominan gersang ini mampu menghasilkan ratusan ribu ton kopi sebagai hasil ekspornya?

Rohadi bercerita, arabikanisasi pernah terjadi di Lampung pada 1992. Pria yang kini menjabat kepala desa itu bahkan pernah menimba ilmu lewat diklat di Jember, Kalibendo di Banyuwangi, dan Kintamani di Bali.

Setelah itu, sebanyak 300 ribu benih arabika ditebar di Lampung. Sayangnya, keberhasilan budi daya arabika di Kintamani dan Kalibendo tidak tertular ke Lampung. Seluruh benih arabika yang ditanam gagal panen. Akhirnya, petani Lampung kembali ke kodratnya sebagai penghasil kopi robusta. "Padahal, di Kalibendo berhasil dan satu pohon bisa hasilkan 3 kg biji kopi," ujar bapak empat anak itu.

Selain diolah secara organik, kopi Lampung juga menggunakan teknologi modern dalam prosesnya, terutama pengeringan. Untuk bisa dijual, kopi harus dijemur agar kadar airnya turun menjadi 12 persen, standar kopi berkualitas baik. Penjemuran alami hanya dapat menurunkan kadar air hingga 17 persen.

Sayangnya, pohon kopi yang saat ini ada di Lampung sudah tergolong tua. Rata-rata usia pohonnya adalah 20-30 tahun sehingga tingkat produktivitasnya rendah. "Per hektare hanya menghasilkan kurang dari 1 ton," ujar salah satu agronomis dari PT Nestle Indonesia Arif Kartika.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan