Ahad, 13 Januari 2013

KOMPAS.com - Internasional

KOMPAS.com - Internasional


Ditipu Istri soal Status Anak, Pria Ini Dapat Kompensasi

Posted: 14 Jan 2013 02:15 AM PST

LONDON, KOMPAS.com  Seorang pria Inggris yang akhirnya tahu bahwa putra dan putri yang ia besarkan hingga remaja ternyata bukan anaknya telah diberi kompensasi sebesar 25.000 poundsterling (sekitar Rp 388 juta) sebagai ganti rugi setelah menggugat mantan istrinya karena penipuan. Pria malang itu bernama Richard Rodwell.

Ia menjadi seorang ayah yang penuh kasih kepada Adam dan Laura sampai pernikahannya dengan ibu anak-anak itu, Helen, bubar. Setelah perceraian, Rodwell masih secara rutin membayar uang tunjangan buat anak-anak itu selama lebih dari empat tahun dari gajinya sebagai manajer pabrik. Namun, pada 2008, Rodwell memerintahkan tes DNA setelah mendengar rumor tentang ayah biologis putrinya. Hasilnya menunjukkan dua anak itu berayahkan pria yang berbeda, bukan dirinya.

Setelah hasil itu, anak-anak tersebut memutuskan semua kontak dengannya. Ia mengklaim, mantan istrinya membuat mereka berpaling dari dia.
"Pengadilan memperlakukan kasus itu mirip sebagai sebuah perkabungan yang memberikan jumlah yang sama dengan yang akan Anda terima jika anak Anda tewas dalam kecelakaan, yaitu 11.800 pounds. Saya pikir dalam kasus ini hakim pengadilan wilayah mesti melangkah lebih jauh dari itu karena tingkat kebohongan dan fakta bahwa istri baru Rodwell terlalu tua untuk memberinya anak, maka ia kehilangan kesempatan menjadi seorang ayah,"
ujar pengacara Rodwell, Roger Terrell, pada akhir pekan lalu.

"Ini seperti sebuah perkabungan karena saya kehilangan anak-anak yang saya percaya merupakan anak saya. Saya memperlakukan mereka berdua seolah-olah mereka anak-anak saya sendiri. Saya ada di sana saat kelahiran mereka dan membantu mereka mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Saya tidak bisa berhenti memikirkan anak-anak itu karena mereka adalah hidup saya. Saya selalu menginginkan anak-anak dan cucu-cucu dan sekarang itu sudah terlambat bagi saya. Anak-anak merupakan orang yang paling penting dalam hidup saya dan sekarang mereka telah pergi. Namun, saya harus melakukan tes DNA itu. Ada bisikan bahwa anak-anak itu bukan anak saya dan saya perlu tahu. Saya tidak bisa hidup dengan ketidakpastian lagi," ujar Rodwell (46) dari Peterborough, Inggris, yang berbicara untuk pertama kalinya tentang kasus kontroversial itu.

Rodwell mulai berkencan dengan Helen, sekarang 44 tahun, pada 1989 ketika mereka sama-sama bekerja sebagai pengepak buah di sebuah pabrik di dekat King's Lynn, Norfolk, Inggris. Mereka lalu pindah ke sebuah karavan dan tahun 1990 menikah di King's Lynn Register Office.

Laura lahir tahun 1992. Rodwell hadir saat kelahiran dan menandatangani akta kelahiran. Dua tahun kemudian, Adam lahir. Rodwell masih tidak punya alasan untuk menduga bahwa Helen berselingkuh.

"Hidup saya terasa lengkap. Kami pindah ke sebuah rumah, saya bahagia karena menikah, punya pekerjaan yang baik, dan dua anak yang sehat. Mau apa lagi?" ujar Rodwell.

Namun, pada 2004, pernikahan itu berantakan. "Helen menghilang selama beberapa hari tanpa memberi tahu saya ke mana dia pergi. Saya hanya menemukan bekas tiket kereta dan bus yang digunakan. Saya menjemput anak-anak dari sekolah seperti biasa dan pulang ke rumah. Rumah itu kosong tanpa catatan atau apa pun. Helen pergi ke tempat-tempat seperti Newcastle atau Manchester dan jika saya bertanya mengapa ia pergi ke sana dia mengatakan, 'Tidak ada hubungannya denganmu'," ujar Rodwell.

Ketika mereka bercerai tahun 2004, Helen diberikan hak asuh anak dan untuk empat tahun selanjutnya Rodwell membayar tunjangan 300 pounds per bulan untuk kedua anak itu.

Empat tahun setelah perceraian, ia mulai mendengar rumor bahwa Laura, sekarang 20 tahun, bukan putrinya. "Orang-orang mengatakan Laura tidak terlihat mirip saya dan bahwa Helen telah berselingkuh dengan seorang guru, tetangga di caravan park. Saya konfrontasi hal itu kepada Helen di telepon, tetapi dia berkeras saya adalah ayah Laura. Akhirnya, saya mengatakan, saya menginginkan tes DNA," kata Rodwell.

Tes DNA dilakukan dan hasilnya membuat Rodwell terperangah. "Ketika saya membaca surat yang menyatakan bahwa saya bukan ayah Laura, saya jadi seakan lumpuh. Saat saya menelepon Helen, kami bertengkar dan dia hanya berkata, "Lalu apa maumu?" Dia bahkan tidak meminta maaf," ujar Rodwell.

Rodwell tidak memberi tahu Laura, tetapi ia menjelaskan dalam dokumen pengadilan bagaimana sikap anak itu jadi berubah terhadapnya. "Dia tidak datang menjeguk saya dan jika saya melihatnya di jalanan, dia akan membuat gerakan-gerakan cabul dengan jari-jarinya dan pada satu kesempatan, bahkan menendang mobil saya," kata Rodwell.

Rodwell juga melakukan tes DNA untuk mengetahui apakah dirinya menjadi ayah Adam.

"Saya masih tidak tahu siapa ayah Adam," katanya. "Selama hampir 17 tahun saya merawat Laura sebagai putri saya dan Adam selama lebih dari 14 tahun dan sekarang itu semua lenyap. Itu sangat menyedihkan. Saya akan senang memiliki hubungan yang dekat dengan mereka sebagai ayah tiri, tetapi Helen tidak membiarkan itu dan mengatakan kepada mereka untuk menjauhi saya."

Di pengadilan, selain uang kompensasi sebesar 12,500 pounds untuk setiap anak, dia juga memenangkan perintah pengadilan yang memaksa mantan istrinya keluar dari rumah bersama mereka dulu, yang akan dijual seharga 119.995 pounds.

Helen tidak bersedia berkomentar soal kasus itu.

 

Editor :

Egidius Patnistik

Di Australia, Kepemilikan Senjata Capai Rekor

Posted: 14 Jan 2013 12:54 AM PST

SYDNEY, KOMPAS.com — Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa jumlah senjata api yang dimiliki warga Australia sama banyaknya seperti sebelum terjadi peristiwa pembantaian Porth Arthur di tahun 1996.

Penelitian yang dilakukan Prof Philip Alpers dari Sekolah Kesehatan Masyarakat, Universitas Sydney, mengatakan, warga terus menambah koleksi senjata mereka, dan sekarang jumlah senjata api mencapai 3,2 juta unit.

Dalam peristiwa Porth Arthur, Tasmania, tersebut, seorang pria bersenjata, Martin Bryant, menembak mati 35 orang dan mencederai 23 orang lainnya. Perdana Menteri Australia ketika itu, John Howard, kemudian menerapkan pembatasan kepemilikan senjata, dengan melarang senjata semi-otomatis, dan memberlakukan izin yang lebih ketat. Pemerintah juga membeli kembali senjata yang diserahkan oleh pemiliknya, dengan sekitar 700.000 senjata dikembalikan.

Menurut Prof Alprers, Port Arthur merupakan salah satu dari sejumlah pembantaian bersenjata, dan secara keseluruhan, lebih dari 1 juta senjata diserahkan kembali oleh pemiliknya. "Dalam penelitian, kami menemukan bahwa sejumlah besar warga menyerahkan kembali senjata mereka tanpa meminta kompensasi sama sekali," kata Prof Alpers.

"Ini tidak pernah dibicarakan. Jadi sekitar satu juta senjata tidak beredar lagi dan dimusnahkan." Impor senjata kembali meningkat setelah tahun 1996 karena warga mengganti senjata yang dilarang dengan senjata baru. "Perlahan tapi pasti dalam 10 tahun terakhir, kepemilikan senjata meningkat lagi."

Menurut Prof Alpers, pembelian senjata oleh pemerintah dan juga amnesti membuat risiko warga tewas karena senjata api turun 50 persen. Menurut laporan koresponden Kompas di Australia, L Sastra Wijaya, penelitian yang dilakukan Institut Kriminologi Australia menunjukkan bahwa penyebab kematian karena senjata api terus menurun sejak tahun 1980-an dan kalah dari pisau. Kebanyakan kematian karena senjata terjadi karena bunuh diri atau kekerasan dalam rumah tangga.

Namun sekarang, dengan kondisi bahwa kepemilikan senjata mencapai rekornya, menurut Prof Alpers, sulit untuk memprediksi apakah Australia akan menjadi negeri yang kurang aman. "Ini bisa menjadi masalah, bisa menjadi masalah serius, atau mungkin tidak terlalu buruk. Namun, kita belum tahu apa yang akan terjadi," kata Alpers.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan