Jumaat, 29 Jun 2012

KOMPAS.com - Internasional

KOMPAS.com - Internasional


Nyonya Mursi Pilih Disebut "Pelayan Rakyat"

Posted: 29 Jun 2012 11:16 PM PDT

KOMPAS.com — Hari ini, Sabtu (30/6/2012), rakyat Mesir resmi memiliki presiden baru dengan dilantiknya Mohamed Mursi di Mahkamah Konstitusi di Kairo. Itu artinya, rakyat Mesir akan memiliki ibu negara yang baru.

Seperti suaminya, Naglaa Ali Mahmood (50) merupakan sosok sederhana. Tidak pernah berpenampilan mewah, bahkan wajahnya pun tidak pernah tersentuh polesan tata rias.

Namun, yang menjadi pro dan kontra adalah gaya berbusananya. Busana kesehariannya adalah abaya atau jubah warna gelap, dilengkapi dengan jilbab panjang. Gaya busana khas kaum perempuan pengikut Ikhwanul Muslimin.

Bagi orang-orang yang tidak menyukainya, gaya busana Naglaa melambangkan arah Mesir di masa depan, yakni sebuah negara Islam konservatif. Namun, bagi para pendukungnya, sikap dan penampilannya justru mencerminkan semangat demokrasi revolusi.

Panggil saja "Ummi Ahmed"

Media-media Mesir melaporkan, Naglaa Ali Mahmoud lebih memilih tidak tinggal di Istana Presiden. Dia juga tidak ingin disebut ibu negara.

"Saya hanya ingin disebut sebagai istri presiden," katanya kepada Associated Press.

"Siapa yang bilang istri presiden harus disebut ibu negara?" ucapnya.

Naglaa sesungguhnya hanya ingin dipanggil "Ummi Ahmed", atau Ibu Ahmed, putra sulungnya. Kalaupun gelar menjadi keharusan, katanya, dia tidak tidak berkeberatan dipanggil "pelayan rakyat".

Rakyat Mesir menunggu, apakah Ummi Ahmed mau menemui tamu-tamu negara, menghadiri konferensi, atau acara lain dengan atau tanpa suaminya, atau mengganti penampilan untuk acara-acara resmi. Diperkirakan, dia akan memilih berperan di proyek-proyek sosial dan menghindari lawatan ke mancanegara atapun diplomasi tingkat tinggi.

Sejauh ini, Naglaa tidak bersembunyi dari sorotan publik. Dia melayani permintaan wawancara dari berbagai media, menemui keluarga demonstran yang tewas, dan mendampingi suaminya berkampanye.

Seorang aktivis Ikhwanul Muslimin, Fatema Abouzeid, mengaku pernah bertemu langsung dengan Naglaa. Menurutnya, dia sosok sederhana dan ramah.

"Dia tidak sombong dan kalau ada orang yang memuji suaminya, dia hanya menjawab 'Alhamdulillah'," kata Abouzeid.

"Saya tidak mau membandingkannya dengan Suzanne (Mubarak), tapi perbedaan utamanya adalah caranya bersikap pada masyarakat. Dia membaur dengan orang-orang lain dan cara berbicaranya pun biasa saja," ujarnya.

Pendapat senada dilontarkan mantan anggota parlemen dari Ikhwanul Muslimin, Azza al-Gharf, yang telah mengenal Ummi Ahmed selama lima tahun. Kata al-Gharf, bila menghadiri kampanye suaminya, dia berdiri bersama khalayak, tidak menonjolkan diri, dan menolak mendapat tempat khusus.

Al-Gharf mengatakan, yang membedakan Nyonya Mursi dengan Nyonya Mubarak adalah "dia salah satu dari kami" dan mengalami masalah seperti banyak orang lain di Mesir.

"Dia perempuan Mesir sejati. Dia mendampingi suaminya dengan penuh pengabdian. Sebagai pengikut Ikhwanul Muslimin, kami tidak ingin memiliki ibu negara untuk Mesir. Kami hanya menginginkan istri yang mendampingi suami, tapi mengetahui batasannya," papar al-Gharf.

Keluarga biasa

Naglaa menikah dengan Mursi ketika usianya baru 17 tahun. Dalam wawancara dengan majalah perempuan Nos al-Donia, Naglaa mengaku cincin kawin dan maharnya "sederhana".

"Kondisi keuangan tidak menjadi perhatian saya.... Yang membuat saya tertarik (pada Mursi) adalah perasaan bahwa dia orang yang bertanggung jawab yang akan melindungi saya," katanya tentang sang suami. "Yang penting bagi saya, ketika orangtua saya meninggal, mereka menyukainya."

Kurang dari dua tahun setelah pernikahan itu, Naglaa mendampingi suaminya di Los Angeles, Amerika Serikat, untuk menjalani pendidikan doktoral bidang teknik di University of Southern California. Dua dari lima anak mereka—terdiri dari empat laki-laki dan satu anak perempuan—lahir di Amerika.

Saat tinggal di California, Naglaa bekerja sebagai penerjemah dari bahasa Arab ke bahasa Inggris untuk warga muslim Amerika. Pasangan muda itu kemudian terlibat dalam berbagai proyek amal. Saat itulah mereka bergabung dalam gerakan fundamentalis Ikhwanul Muslimin.

Bertahun-tahun kemudian di Mesir, ketika Mursi ditahan selama delapan bulan pada 2008 karena aktivitasnya di Ikhwanul Muslimin, yang waktu itu dilarang pemerintah, Naglaa merasakan "kedamaian hati" meskipun suaminya adalah tulang punggung keluarga.

Berulang kali, katanya kepada Nos al-Donia, rumahnya digerebek dan anak-anak lelakinya diinterogasi lalu ditahan. Sebelum salah satu anaknya ditangkap, Naglaa berpesan kepadanya untuk menggunakan waktu di penjara untuk kembali mempelajari Al Quran. Naglaa meminta putranya menganggap penahanan itu bersifat politis dan harus bangga karenanya.

"Ini kehidupan dan pengorbanan yang harus kita lalui dan kita akan melanjutkannya sampai kita merasakan martabat pada tanah yang baik ini," begitu pesannya kepada sang putra.

Dalam wawancara yang sama, Naglaa menggambarkan keluarganya seperti keluarga pada umumnya. Mereka nonton film di rumah atau berlibur di pantai-pantai Mesir. Dua anaknya hingga kini masih tinggal di Amerika Serikat.

Kantor AFP Digerebek, Satu Jurnalis Ditangkap

Posted: 29 Jun 2012 09:47 PM PDT

KHARTOUM, KOMPAS.com - Aparat keamanan Sudan, Jumat (29/6/2012), menggerebek kantor biro AFP di Khartoum dan menangkap seorang wartawan paruh waktu yang tengah mengambil gambar protes antipemerintah. Peristiwa ini menambah deretan panjang penangkapan jurnalis di negara yang tengah bergolak itu.

Dua agen dari Badan Keamanan dan Intelijen Nasional (NISS), seorang di antaranya memegang pistol, menangkap Talal Saad, seorang wartawan lokal yang baru saja memulai pekerjaannya sebagai koresponden sementara AFP, sekitar pukul 15.50 GMT atau sekitar pukul 22.50 WIB. Mereka menyatakan, wartawan itu akan kembali dalam waktu dua jam.

Penyerbuan itu berlangsung tak lama setelah Saad tiba di kantor AFP dengan membawa gambar yang diambilnya dari protes antipemerintah di Omdurman, kota kembaran Khartoum. NISS ternyata menolak mengizinkan koresponden AFP itu menelpon. Mereka bahkan mengancam akan menyita setiap komputer di biro itu, kecuali jika gambar tersebut dihapus. AFP pun memenuhi permintaan itu.

Saad adalah seorang wartawan Sudan yang bekerja untuk surat kabar lokal Al Tayar. Sebelum Saad, agen-agen Keamanan Nasional pekan lalu sudah lebih dulu menahan koresponden AFP, Simon Martelli, selama lebih dari 12 jam tanpa tuduhan. Simon ditangkap setelah ia berbicara dengan mahasiswa dan mengambil gambar di Universitas Khartoum, lokasi protes yang disulut oleh inflasi meletus dua pekan lalu.

Seorang warga Mesir yang bekerja sebagai koresponden Bloomberg, Salma El Wardany, juga dideportasi oleh Sudan, Selasa pekan lalu. Salma ditangkap ketika berusaha meliput gerakan protes yang meluas di negara itu.

Adapun hari ini adalah hari keempat belas protes antipemerintah berlangsung. Saksi mata menuturkan, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan ratusan demonstran di luar sebuah masjid partai oposisi.

Para pemrotes berkumpul di Lapangan Hijra di Khartoum, yaitu di samping masid partai oposisi Umma. Menurut saksi mata itu, demonstran membawa bendera Sudan dan spanduk yang betuliskan "Rakyat ingin rezim runtuh", sebuah slogan yang digunakan oleh pemrotes selama pemberontakan Musim Semi Arab yang mengarah pada kejatuhan pemerintah di sejumlah negara Arab.

Setelah penembakan gas air mata dan penangkapan sejumlah orang, demonstran membakar ban dan melemparkan batu ke arah polisi, sebelum akhirnya berlarian mencari tempat berlindung. Demonstran memang merencanakan protes-protes besar pada Jumat dan Sabtu ini, yang merupakan peringatan tahun ke-23 kudeta yang dilakukan oleh Presiden Omar al-Bashir.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan