Selasa, 4 Oktober 2011

Republika Online

Republika Online


Mual pada Ibu Hamil, Berbahayakah?

Posted: 03 Oct 2011 10:06 PM PDT

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mual adalah kejadian wajar pada ibu hamil. Diperkirakan 50 sampai 90 persen ibu hamil mengalami mual. "Menjadi tidak wajar jika sampai terjadi hyper emesis grafidaro (HEG)," ujar ahli kandungan dari Rumah Sakit Muhammadiyah Jakarta dr Prima Progestian SpOG pada Republika.

HEG adalah keadaan mual dan muntah berlebihan pada ibu hamil. Keadaan ini bisa berlangsung sepanjang kehamilan. Kondisi HEG ditemukan pada setengah sampai tiga persen kehamilan.

Gejala terjadinya HEG adalah terjadinya dehidrasi. Ditandai dengan tubuh calon ibu yang dingin, lemas, bahkan hilang kesadaran. Calon ibu juga jarang buang air seni. Selain itu penurunan berat badan ibu hamil (bumil) patut menjadi perhatian.

Apabila terjadi HEG, berat badan bumil turun lima sampai sepuluh persen dari berat badan sebelum hamil. Apabila dikonversi diperkirakan sekitar lima sampai sepuluh kilogram. Jika keadaan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin janin dan bumil akan kekurangan gizi.

Mual pada ibu hamil wajar terjadi pada tiga bulan pertama. Hal ini diakibatkan terbentuknya hormon ? HCG. Hormon ini dibentuk oleh janin untuk memperkuat rahim. Semakin banyak ? HCG yang terbentuk maka makin hebat mual dan muntah pada bumil.

Bumil dengan mual dan muntah yang hebat sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter kandungan. Karena bisa saja bumil mengandung bayi kembar, atau terjadi hamil anggur.

Kisah Relawan Bencana Wasior: Presiden Datang, Segalanya Disiapkan

Posted: 03 Oct 2011 08:16 PM PDT

Senin itu (4 Oktober 2010), kota kecil Wasior dikejutkan dengan datangnya banjir bandang yang secara tiba-tiba menyapu semua daerah yang dilaluinya. Tidak ada yang siap dengan apapun. Anak-anak kecil terseret banjir lumpur, ibu hamil berjuang melawan arus air yang membawanya ke lautan lepas, seorang nenek terendam hingga batas leher di pasar tanpa tahu akan selamat atau tidak. Keluarga terpisah, pasangan tercerai paksa, harta kembali kepada-Nya yang mempunyai semua harta.

Jumat siang itu (8 Oktober 2010), saya sedang praktik di Klinik Sosial MER-C di Sorong, Papua Barat, sebelum mendapat perintah berangkat hanya satu jam sebelum kapal WWF (World Wild Fund) yang bersedia membawa kami ke Wasior berangkat. Obat-obat dimasukkan sembarangan ke kotak-kotak, baju disesakkan ke tas, hati disiapkan dan diikhlaskan.

Kami menerabas lautan lepas Papua Barat dengan sejenis speedboat dengan transit untuk mengisi logistik di Manokwari. Lebih dari 24 jam berikutnya kami sudah menghirup udara Wasior yang masih tercium bau tidak sedap.

Saya ingat malam itu juga saya ikut rapat dengan para relawan yang sudah sampai, dipimpin oleh Kadinkes setempat. Di dalam tenda yang temaram itu, satu demi satu rencana dikaji ulang, evaluasi kegiatan harian, dan pembagian tim untuk esok hari. Begitu setiap malam.

Tim dari tentara, Kemenkes, PMI, dan teman-teman dokter PTT yang alhamdulillah bisa selamat dari bencana tersebut, tampak masih bersemangat walaupun terlihat sekali mereka sudah sangat kelelahan karena hampir seminggu ini kerja tanpa henti dengan sarana dan prasarana yang terbatas.

Kadang-kadang saya masih heran bisa menginjakkan kaki di daerah-daerah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Langkah mana di hidup saya yang membuat saya menjalani ini? Tapi tidak ada perasaan menyesal. Tidak ada perasaan berat karena sulit makan, yang ada hanya rasa mual karena terlalu banyak makan mie. Tidak ada perasaan sebal karena tidur di lantai, yang ada hanya rasa pegal pada punggung yang hilang sendiri. Tidak ada perasaan susah karena harus naik long boat, walau kadang kehujanan dan ketakutan di laut, yang ada justru perasaan lega karena telah menunaikan sedikit zakat ilmu yang saya miliki, dan zakat tenaga yang memang tidak seberapa ini.

Buat saya, setiap perjalanan adalah spiritual. Seperti sebuah peribahasa "traveling teach you how to see." Setiap perjalanan membuat kita lebih sensitif, menghargai alam dan yang menciptakannya; menghilangkan rasa arogan, karena apalah kita di tengah hutan lebat, atau sebuah perahu kayu kecil di lautan luas yang dengan mudah akan memangsa kita; menghargai hidup sampai ke setiap nafasnya karena bahkan sekumpulan air ternyata dapat membunuh kapan pun; menyadari dengan hati bahwa manusia paling primitif pun tetaplah manusia yang senyumnya dapat membuat hati tenang.

Hari pertama di Wasior

Hari pertama di Wasior, semua berjalan lambat. Ternyata selama seminggu ini, penyisiran korban dan pelayanan kesehatan cukup lambat, dan ini dikarenakan sedikitnya sarana transportasi dan medan yang masih berat.

Air masih cukup deras mengalir di berbagai tempat, memotong jalan. Beberapa bagian lain masih terendam lumpur yang cukup dalam. Bisa dimaklumi bahwa Kadinkes pada saat itu terkesan tidak cepat dan terlalu berhati-hati. Dia tentu tidak ingin korban bertambah dari tenaga-tenaga kesehatan yang dipimpinnya. Efek buruk dari tidak cepatnya pelayanan ini adalah terjadinya eksodus besar-besaran dari warga Wasior ke berbagai pulau kecil serta ke Manokwari dan Nabire untuk mendapat pertolongan.

Hari pertama, tim kami berhasil mengumpulkan informasi bahwa ada beberapa pulau yang cukup jauh yang juga merupakan lokasi pengungsian. Kami meminta ijin dari Kadinkes untuk pergi. Kami akan diantar kapal motor dari WWF ke lokasi dan diantar warga pulang dengan long boat. Kadinkes memang tidak menyetujui rencana kami, tapi kami tetap berangkat, karena tidak ada yang tahu keadaan pengungsi di sana seperti apa.

Setelah berhasil pulang dengan selamat dua hari kemudian (dengan menaiki long boat selama lebih dari 3 jam!), barulah Kadinkes mulai yakin bisa mengirim tim-tim kesehatan dengan kapal ke berbagai pulau. Hari-hari ini juga tersiar kabar bahwa Presiden SBY akan datang.

Fakta di lapangan

Wasior juga mengajari kami satu hal: bahwa apa yang anda lihat di teve Anda, belum tentu apa yang terjadi di lapangan.

Di teve, Anda melihat tenda pengungsian, faktanya, itu dibangun sehari sebelum presiden datang. Dan para pengungsi di tenda? Entah datang darimana, karena berhari-hari kami di situ, tidak pernah ada orang-orang ini.

Anda lihat tulisan dapur umum di teve Anda? Itupun baru berdiri sebelum presiden datang, dan bubar setelah presiden pulang. Para relawan sering sekali diberi suguhan mie instan saja.

Anda juga dengar bahwa listrik sudah menyala 24 jam di Wasior? Listrik yang "dikatakan" menyala itu segera padam setelah presiden pulang.

Anda lihat juga spanduk-spanduk dari berbagai partai dan BUMN di teve? Spanduk-spanduk keren dan besar yang dipasang beberapa saat sebelum presiden datang, tanpa jelas dimana tim relawannya, dan apa yang dikerjakannya karena baru datang setelah lebih 10 hari kejadian? Lucu memang.

Lima hari di Wasior, kami pulang. Kami menilai semua lokasi pengungsian sudah berhasil di datangi oleh kumpulan tim-tim kesehatan hebat ini. Pelayanan kesehatan lokal mulai dibangkitkan kembali. Tim dokter-dokter baru berdatangan, bahkan sampai membuka Rumah Sakit sementara. Sedikit terlambat, namun tidak mengapa. Beberapa tim kesehatan yang datang lebih awal juga sudah memperiapkan kepulangannya.

Tenaga kami mungkin tidak seberapa untuk Wasior saat itu. Tapi kami pulang dengan banyak "oleh-oleh" di hati kami. Sebagian dari diri kami pun tetap tinggal di Wasior.


Dr Bintang Pramodana

Relawan Medis MER-C
Dokter PTT Cara Lain di Klinik MER-C wilayah Papua & Papua Barat (2010 – 2011)

Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas relawan AlamSemesta.
AlamSemesta Institute didukung oleh Mer-C.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan