Isnin, 14 Januari 2013

KOMPAS.com - Regional

KOMPAS.com - Regional


Kekerasan dan Pemerasan bukan Adat Aceh

Posted: 14 Jan 2013 07:53 AM PST

BANDA ACEH, KOMPAS.com- Penegakan hukum terhadap pelanggar qanun khalwat (perbuatan mesum) oleh pemuda-pemuda kampung di Aceh pada dasarnya merupakan kegiatan terpuji.

Namun sayangnya, para pemuda seringkali melakukan kekerasan dan pemerasan terhadap pelaku khalwat dengan alasan tindak kekerasan itu sesuai tuntunan adat. Akibatnya, kegiatan terpuji itu berubah menjadi tindakan tercela.

Demikian disampaikan Ketua Majelis Duek Pakat Mukim (MDPM) Aceh Besar Teungku Mahmud Abdullah, dalam keterangan persnya, Senin (14/1/2013). MDPM adalah perkumpulan 68 mukim (kesatuan adat) di Aceh Besar.

Mahmud menyayangkan, banyak pihak telah melakukan pembenaran atas tindakan kekerasan semacam ini atas nama penegakan adat. Padahal sebenarnya tidak ada hubungannya dengan adat.

"Pemuda-pemuda gampong biasanya memandikan pelaku khalwat dengan air got, mengaraknya, memukulnya, lalu meminta uang, hal ini bukanlah adat Aceh," ujarnya.

Kondisi semacam itu, lanjut dia, harus diluruskan, mengingat tindakan-tindakan kekerasan dan pemerasan atas nama adat sudah terjadi meluas ke seluruh Aceh.

"Kami imbau masyarakat, terutama para pemuda untuk menghentikan kekerasan dan pemerasan dalam menangani kasus-kasus khalwat atau mesum di gamp ong-gampong mereka," kata Mahmud.

Ada beberapa prinsip dasar adat Aceh, diantaranya anti kekerasan, menjaga marwah dan martabat manusia, tidak membuka aib orang, menyelesaikan masalah dengan semangat persaudaraan dan keadilan.

Hal itu terangkum dalam petuah Aceh, yang ciko ta peujereneh yang masam ta peumameh, yang rayeuk ta peu ubit, yang ubit ta peugadoh (yang keruh dijernihkan, yang asam dimaniskan, masalah besar dikecilkan, masalah kecil dihilangkan).

Mahmud menambahkan, tindakan-tindakan yang melawan prinsip dasar tersebut bukanlah adat Aceh dan tidak boleh dibuat pembenarannya atas nama adat.

Oleh karena itu, dia meminta seluruh petua-petua adat (tuha-tuha gampong dan mukim) untuk membimbing anak-anak muda dan memperkenalkan kepada mereka cara-cara adat yang sebenarnya dalam menangani masalah.    

 

Editor :

Tjahja Gunawan Diredja

Mantan Bupati Untung Wiyono Tak Mau Jadi Buronan

Posted: 14 Jan 2013 07:47 AM PST

Korupsi

Mantan Bupati Untung Wiyono Tak Mau Jadi Buronan

Penulis : Winarto Herusansono | Senin, 14 Januari 2013 | 15:47 WIB

SEMARANG, KOMPAS.com- Mantan Bupati Sragen Untung Wiyono menegaskan, dirinya tidak mau menjadi pelarian atau buronan aparat penegak hukum. Sejelek-jeleknya dia, diakui, pernah berjasa pada negara dan bangsa ini.

"Saya pernah dapat pengharagaan kepala daerah terbaik di tingkat nasional. Saya juga mantan Bupati Sragen selama 10 tahun, masak saya disuruh lari-lari," kata Untung Wiyono didampingi penasehat hukumnya, Dani Sriyanto, di Kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Senin (14/1/2013).

Untung Wiyono datang ke Kejaksaan Tinggi Jateng terkait putusan kasasi majelis hakim Mahkaman Agung yang menghukum dirinya 7 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan 18 pada September 2012. Hukuman itu terkait perkara korupsi dana APBD Kabupaten Sragen. 

Menurut Untung, dirinya masih warga negara yang punya hak dalam proses hukum ini. Misalnya peninjauan kembali atas kasasi MA.

Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, terdakwa Untung Wiyono divonis bebas. Dani Sriyanto mengemukakan, pihaknya masih menunggu amar putusan MA yang hingg saat ini belum diterima kliennya.

Editor :

Marcus Suprihadi

Tiada ulasan:

Catat Ulasan