Khamis, 24 Mei 2012

KOMPASentertainment

KOMPASentertainment


Anak Imam S Arifin: Coba Lihat ke Diri Ayah Sendiri...

Posted: 24 May 2012 08:43 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com - Keluarga pedangdut kondang Imam S Arifin tampaknya terus-menerus dirudung masalah. Setelah Imam, sang kepala keluarga, mendekam di balik bui lantaran menggunakan sabu, putri Imam kini juga harus berurusan dengan aparat penegak hukum.

Resti Destami Arifin alias Yeyek alias Lia (24) dan calon suaminya, Priyo Handoko alias Rio (20), ditangkap Bareskrim Mabes Polri karena kepemilikan sabu (sebelumnya diberitakan ganja) seberat 0,24 gram.

Kepada para wartawan, Kamis (24/5/2012), Resti menuturkan penyesalannya. Resti mengaku sudah setahun ini mengonsumsi narkoba bersama sang kekasih. Narkoba menjadi pelariannya di kala persoalan keluarga di rumah tak kunjung selesai.

Semenjak sang ayah ditahan, kondisi rumah tangga Imam kian berantakan. Di situ lah Resti tak kuasa menahan godaan dan melarikan diri dari masalah dengan mengonsumsi narkoba. Resti tahu bahwa keputusannya mengonsumsi narkoba jelas mengecewakan keluarganya. Ia pun meminta maaf atas tindakannya tersebut.

"Saya anak public figure cuma saya pikir saya cuma bisa bilang saya mau ucapkan kata maaf kepada orangtua saya. Ayah akan terpukul, ayah akan malu," ujar Resti, Kamis (24/5/2012), di Jakarta.

Kendati demikian, Resti mengaku perbuatannya ini lantaran kecewa dengan sang ayah yang tak pernah kapok masuk bui karena narkoba. "Aku cuma bisa bilang coba lihat ke diri ayah sendiri, kenapa aku bisa jadi seperti ini. Tidak mungkin tidak ada sebab, semua pasti ada sebab dan akibat," kata Resti.

Imam S Arifin terakhir ditangkap Polsek Metro Sawah Besar pada tanggal 25 Maret 2012. Saat itu, polisi menemukan serbuk sabu palsu yang ternyata garam seberat 0,5 gram dan empat butir viagra yang baru saja dibeli Imam dari seorang pengedar.

Kendati demikian, polisi akhirnya menangkap Imam karena hasil tes urine positif amphetamine dan tertangkap basah usai bertransaksi dengan pengedar narkoba meski akhirnya ditipu oleh pengedar tersebut.

Penangkapan itu dilakukan sebulan setelah pelantun lagu "Menari di Atas Luka" tersebut keluar bui karena terlibat kasus peenggunaan narkoba di Medan, Sumatera Utara pada awal tahun 2008. Setelah kejadian yang menimpa sang Ayah, Resti pun berjuang membantu perekonomian keluarganya yang mulai terpuruk.

Resti memutuskan menempuh jalur kesenian, sama seperti sang Ayah. Ia memiliki band dan sudah membuat video klip yang sudah tersiar di sejumlah acara musik televisi swasta. Namun, impiannya menjadi artis terkenal terpaksa kandas karena peristiwa ini.

Resti menuturkan dirinya merasa paling bersalah kepada sang bunda yang terus menanggung malu keluarga. "Saya melihat mama saya selama ini menjalani hidup yang benar-benar menderita, mungkin ini karma buat saya. Apa yang dilakukan orangtua saya kena ke saya. Ini pelajaran buat saya," imbuhnya.

Anak kedua dari tiga bersaudara ini berharap kejadian yang menimpanya itu akan menjadi pelajaran terakhir bagi keluarganya. "Kejadian seperti ini mudah-mudahan yang tadinya keluarga selama ini berantakan nggak tahu gimana, mudah-mudahan akan lebih baik lagi," harap Resti.

Musik Cadas Tak Harus Beringas

Posted: 24 May 2012 06:38 PM PDT

JAKARATA, KOMPAS.com -- Buat pendengar musik rock dan metal, tak puas rasanya kalau menonton langsung aksi band idola tetapi tidak "moshing" atau saling menabrakkan badan ke orang lain. Jangan khawatir, itu hanya aksi sesaat untuk menikmati gempuran musik energi tinggi, bukan kerusuhan.

Pekan lalu, Bandung baru saja dientakkan oleh pergelaran musik cadas Bandung Berisik MMXII di Lapangan Udara Sulaiman. Selama dua hari berturut-turut, sekitar 20.000 penonton disuguhi aksi cadas band-band metal semacam Burgerkill, Mesin Tempur, Something Wrong, dan Rajasinga.

Aksi band-band yang bagi sebagian orang bergaya nyanyi "seperti orang marah" itu justru berlangsung lancar. Anak muda yang memenuhi area depan panggung boleh bersenggolan, bertubrukan, dan bernyanyi bersama. Tetapi, mereka tak baku hantam. Ancaman keamanan baru terlihat setiap ada copet yang tertangkap. He-he-he.

Suasana aman tenteram seperti itu tidak hanya terjadi pada Bandung Berisik pekan lalu. Acara berjudul sama yang diadakan tahun sebelumnya pun berjalan asyik tanpa ricuh. Di kota lain, seperti Solo, Jawa Tengah, lewat acara Rock In Solo yang menampilkan band dari AS Death Angel juga berlangsung tertib. Begitu juga dengan Hammersonic di Jakarta.

Ajaibnya, pertunjukan di lapangan terbuka yang menampilkan band pop, baik yang agak ngerock, "metal—melayu total" maupun yang menye-menye total justru biasanya diwarnai dengan keributan antarpenonton. Tak jarang polisi sampai harus menghentikan pentas.

Lapangan Merdeka, Kota Sukabumi, Jabar, misalnya, sering dipakai untuk mementaskan aksi band-band ternama seperti Gigi, Sheila on 7, Ungu, dan Wali. Pentas-pentas itu biasanya digelar Sabtu sore tanpa tiket alias gratis. Tetapi biasanya, sore di akhir pekan seperti itu menyisakan kerja ekstra bagi polisi untuk melerai remaja yang berkelahi di depan panggung saat band sedang tampil.

Padahal, secara kasat mata, penampilan penonton yang datang ke acara metal lebih sangar. Rambut gondrong, kaus bergambar tengkorak atau mayat hidup, dan kalimat pada kaus menyiratkan kebencian adalah atribut umum. Tetapi, saat band favorit tampil, mereka justru terlihat kompak.

Stigma

Meski demikian, bukan berarti pertunjukan musik cadas di Indonesia benar-benar bersih dari kerusuhan. Film dokumenter Global Metal (2008) besutan antropolog Sam Dunn memaparkan keributan di sekitar Stadion Lebak Bulus saat Metallica tampil pada 1991.

Sejarah kelam musik metal juga kembali terjadi pada 2008 di Bandung. Saat itu, sebelas metal heads kehabisan napas saat berdesak-desakan di pintu keluar gedung Asia Afrika Culture Center pada konser peluncuran album perdana band Beside. Tetapi, band ini cepat berbenah. Pada konser-konser mereka berikutnya, mereka mengatur alur pintu masuk dan keluar, serta mewajibkan adanya mobil pemadam kebakaran dan ambulans.

Stigma negatif sebagai biang kerok keributan pun melekat. Bukan cuma itu, simbol-simbol yang tersirat dalam lirik lagu pun jadi alasan buat aparat untuk memperketat izin pertunjukan musik cadas.

Addy Gembel, vokalis band Forgotten, pernah mengisahkan betapa sulitnya mendapat izin dari polisi. "Alasannya, mereka khawatir bakal ada keributan lagi. Izin semakin sulit kalau panitia mengundang Forgotten. Supaya bisa tetap main, kami diminta untuk tidak memainkan lagu tertentu," kata Addy, yang juga sudah menghasilkan novel ini.

Band Seringai asal Jakarta juga punya cerita tak sedap di Bandung sampai-sampai mereka membuat lagu berjudul "Dilarang di Bandung". Pada 2008, polisi di Bandung sempat menangkap penggemar yang memakai kaus Seringai karena dianggap menyindir institusi itu.

Solidaritas

Stigma itu pelan-pelan coba diruntuhkan oleh para metalheads sendiri. Beberapa konser metal berskala nasional dan internasional digelar. Hasilnya: tak terjadi lagi keributan yang meresahkan.

Iman "Kimung" Rahman dari penerbit Minor Books yang banyak mengeluarkan buku-buku bertema metal underground, menuturkan, penggemar musik cadas adalah kaum minoritas jika dibandingkan penikmat musik pop. Oleh karena itu, mereka secara tidak sadar mengembangkan solidaritas di antara mereka. Solidaritas inilah yang membuat beberapa penyelenggaraan konser metal berjalan lancar.

"Ada perasaan saling menjaga sesama anak metal. Rasa itu sebenarnya terbentuk dari fanatisme penggemar. Karena itulah, mereka ingin acara yang menampilkan musik kegemaran mereka bisa berlangsung dengan aman. Biasanya justru bukan penggemar sejati yang menyulut keributan," kata Kimung yang pernah memperkuat band hardcore Burgerkill ini.

Kimung, yang juga guru sejarah dan geografi di SMP Cendekia Muda, Arcamanik, Bandung, ini tertawa menanggapi simbol-simbol yang umumnya lekat dengan kekerasan, kematian, sampai spiritualisme. Menurut dia, lirik yang lekat dengan hal negatif mencerminkan hal yang terjadi di kehidupan nyata. Sebaiknya, lirik-lirik dan gambar yang ada dalam album metal dicermati dengan cerdas.

"Banyak murid saya yang bertanya tentang musik bawah tanah. Mereka juga tahu kalau lirik metal itu lekat dengan citra satanisme. Tetapi, mereka juga mau saya ajak shalat berjamaah setiap siang," celetuk Kimung.

Begitulah, mendengar musik cadas tidak harus beringas, tetapi nikmatilah dengan cerdas…. (HEI)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan