Khamis, 24 Mei 2012

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Pemerintah Indonesia Harus Bisa Bebaskan WNI di Australia

Posted: 24 May 2012 12:16 PM PDT

Pemerintah Indonesia Harus Bisa Bebaskan WNI di Australia

Sandro Gatra | Hertanto Soebijoto | Jumat, 25 Mei 2012 | 02:02 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso mengatakan, pemerintah Indonesia jangan hanya memberikan grasi kepada narapidana kasus narkotika, Schapelle Corby. Pemerintah juga harus bisa membebaskan warga negara Indonesia yang ditahan di Australia, khususnya tahanan yang masih anak-anak.

"Di saat presiden bermurah hati terhadap Corby, maka ini saatnya pemerintah kita gunakan diplomasi untuk segera membebaskan anak nelayan kita. Mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi di penjara dewasa dan tidak ada pembelaan," kata Priyo ketika dihubungi, Kamis (24/5/2012).

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyetujui pemberian grasi kepada Corby dengan mengurangi masa tahanan selama lima tahun penjara. Corby diputuskan bersalah atas tuduhan kepemilikan 4,2 kg ganja dan divonis 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Denpasar pada 27 Mei 2005 silam.

Priyo mengatakan, pemerintah jangan hanya bergerak ketika pemberitaan meluas. Dengan pemberian grasi itu, kata dia, seharusnya ada timbal balik dari pemerintah Australia dengan membebaskan warga negara Indonesia.

Kapoksi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di Komisi III DPR Aboe Bakar Al Habsy mengatakan, Presiden harus menjelaskan langsung alasan pemberian grasi itu. Pasalnya, kata dia, ada kesimpangsiuran penjelasan dari pejabat pemerintah.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menjelaskan bahwa alasan pemberian grasi untuk memberikan pesan kepada Pemerintah Australia agar melakukan hal serupa terhadap tahanan asal Indonesia. "Sedangkan staf khusus presiden bilang itu murni kemanusiaan. Ini kan membuat publik bingung mana yang benar," kata Aboe Bakar.

 

UU Migas PP Muhammadiyah dan Tim Siapkan 15 Ahli

Posted: 24 May 2012 10:58 AM PDT

Uji Materi

UU Migas PP Muhammadiyah dan Tim Siapkan 15 Ahli

Susana Rita | Agus Mulyadi | Kamis, 24 Mei 2012 | 23:45 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam rangka memenangkan uji materi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, Pimpinan Pusat Muhammadiyah atau PP Muhammadiyah beserta timnya telah menyiapkan 15 ahli untuk memperkuat dalilnya bahwa sejumlah pasal dalam UU Migas bertentangan dengan konstitusi. Ke-15 ahli tersebut diharapkan mampu meyakinkan sembilan hakim konstitusi bahwa ada masalah di dalam UU itu.

Hal ini terurai di dalam sidang uji materi UU Migas yang digelar Mahkamah Konstitusi, Kamis (24/5/2012). Sidang dipimpin oleh hakim konstitusi, Akil Mochtar.

Dalam sidang itu, Syaiful Bakhri dari Tim Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah menyatakan kesiapannya untuk menghadirkan saksi. Ia bahkan meminta izin Ketua Majelis Hakim untuk menyebutkan nama ahli yang akan diajukan satu per satu.

Namun, Akil meminta agar pemohon menyampaikan nama-nama ahli secara tertulis beserta curriculum vitae yang bersangkutan. Pemohon juga diminta untuk mencantumkan bidang keahlian tiap-tiap ahli. Sidang berikutnya rencananya akan digelar pada 6 Juni mendatang, dan pemohon diminta untuk menghadirkan lima ahli.

Seperti diketahui, PP Muhammadiyah bersama sejumlah organisasi massa dan tokoh nasional mengajukan uji materi beberapa pasal di dalam UU Migas, yang dinilai bertentangan dengan konstitusi. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 1 angka 19 dan Pasal 6 yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama dengan pemaknaan kata kontrak.

Pemohon juga mempersoalkan keberadaan Badan Pelaksana Migas (BP Migas) yang merupakan amanat Pasal 1 angka 23, Pasal 4 Ayat (3), dan Pasal 44 UU Migas.

Menurut pemohon, keberadaan BP Migas menjadikan konsep kuasa pertambangan menjadi kabur.

Tak ketinggalan, pemohon juga menyoal tentang penetapan harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi yang diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar (Pasal 3 huruf b). Pasal itu dinilai mengakomodasi gagasan liberalisasi migas dan bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan