Sabtu, 11 Mei 2013

ANTARA - Peristiwa

ANTARA - Peristiwa


"Jangan kompromi dengan polisi brengsek"

Posted: 11 May 2013 07:24 AM PDT

Surabaya (ANTARA News) - Wakapolri Komjen Pol Nanan Sukarna meminta masyarakat untuk "jangan berkompromi dengan polisi yang brengsek dan korup".

"Kode etik kita sudah mengatur bahwa bawahan berhak melawan atasan yang melanggar hukum dan korup," katanya dalam dialog pada Seminar Ekonomi Syariah dan Hukum yang digelar Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jatim di Surabaya, Sabtu.

Dalam seminar untuk memperingati Hari Lahir (Harlah) ke-90 NU dan seminar pra-Konperensi Wilayah NU pada 31 Mei-2 Juni itu, ia menjelaskan kode etik itu dirancang agar pelanggaran hukum atau korupsi di tubuh Polri tidak berkembang.

"Dulu, bawahan tidak berani menegur, karena itu korupsi dan pelanggaran hukum pun berkembang di kalangan Polri, karena itu kita atur bahwa bawahan boleh melawan atasan bila atasan melanggar hukum," katanya.

Dalam seminar yang juga menampilkan Wakil Ketua MK Prof Achmad Sodiki, dan pimpinan Bank Mandiri Syariah, BRI Syariah, dan BNI Syariah itu, ia mengharapkan warga NU untuk mengawasi, menegur, melawan, dan tidak berkompromi dengan polisi yang brengsek.

"Kalau mengetahui ada polisi yang brengsek dan korup, SMS kepada pimpinan Polri di Jakarta ataupun di daerah. Kalau dibiarkan akan berkembang polisi yang `musyrik` dari tugas pokok melindungi dan melayani masyarakat," katanya.

Dalam kesempatan itu, Wakapolri Komjen Pol Nanan Sukarna melontarkan pertanyaan kepada pengurus NU se-Jatim, apakah polisi yang ditemui selama ini menakutkan dan menyusahkan masyarakat? "Takut... menyusahkan," jawab peserta seminar itu.

Banyak bermunculan politikus instan

Posted: 11 May 2013 06:48 AM PDT

Yogyakarta (ANTARA News) - Politikus yang muncul pascagerakan reformasi di Indonesia banyak yang merupakan politikus instan karena kurang persiapan dan ilmu, kata mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Ma`arif.

"Salah satu penyebab dari ketidaksiapan para politikus itu adalah pembentukan kultur bangsa yang belum selesai," katanya pada "Political Gathering Songsong Pemilu 2014: Membangun Etika Politik Dalam Ranah Publik", di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu.

Menurut dia, hal itu ditandai dengan belum dijadikannya kebudayaan nasional sebagai salah satu pedoman dalam berpolitik. Selain itu adanya partai Islam yang tidak bisa membuat moral bangsa ini semakin baik.

"Cita-cita kemerdekaan Indonesia yang sangat hebat tidak seperti realita yang ada saat ini. Hal itu diperburuk oleh banyaknya politikus instan dan pembentukan kultur Bangsa Indonesia yang belum selesai sehingga diperlukan pemikiran radikal untuk memikirkan Islam dan Indonesia ke depan," katanya.

Ia mengatakan, kader Muhammadiyah yang ingin terjun ke dunia politik diharapkan lebih mempersiapkan diri dengan baik dan memiliki visi jauh ke depan.

"Lidah harus dilatih agar tangkas dan memiliki visi karena kekuasaan tanpa visi adalah destruktif. Selama ini politikus yang berasal dari Muhammadiyah masih kalah dengan politikus lain," katanya.

Sementara itu Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Abdul Munir Mulkhan mengatakan, Muhammadiyah tidak cukup hanya melarang aktivisnya untuk terlibat politik praktis.

Justru yang diperlukan adalah menyiapkan kader bertalenta politik yang tumbuh menjadi politikus yang bermoral dan beretika serta memiliki tujuan bagi rakyat.

"Untuk itu perlu pendidikan politik bagi para politikus. Selain itu, Muhammadiyah juga perlu berperan dalam memaparkan kepada masyarakat tentang politikus yang bermoral dan yang tidak, yang terdidik dan yang tidak, sehingga masyarakat bisa memilih politikus yang diharapkan," katanya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan