Ahad, 20 Januari 2013

Sindikasi welcomepage.okezone.com

Sindikasi welcomepage.okezone.com


Daging Sapi Mahal Karena Peternak Ogah Rugi

Posted: 20 Jan 2013 12:59 AM PST

YOGYAKARTA - Harga daging sapi yang dijual di pasaran semakin melambung tinggi. Hal ini lantaran harga sapi potong yang dijual oleh para peternak sudah dipatok sedemikian tinggi.
 
"Hukum dagang itu sulit untuk dikendalikan pemerintah. Karena hukum dagang itu berlaku secara umum, bukan hanya pada daging sapi semata," kata Dedi Irmawansyah, mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gajah Mada Yogyakarta saat berbincang dengan Okezone, Minggu (20/1/2013).
 
Menurutnya, jika harga sapi dari pedagang rendah, maka harga daging sapi yang ada di pasaran juga rendah. Namun, dengan mahalnya daging sapi berarti ketersediaan sapi yang ada untuk disembelih tidak mencukupi kebutuhan masyarakat.
 
"Kalau jatuhnya harga daging sapi ke konsumen tinggi, mereka akan lari untuk tidak mengunakan daging sapi. Semuanya rugi, mulai pembeli sapi, penjual daging sapi, dan masyarakat yang menkonsumsi daging sapi," jelasnya.
 
Salah satu peternak sapi di Kalasan, Sleman, Wanto mengatakan, harga sapi sudah melambung tinggi, karenannya terpaksi dia menjual dengan harga tinggi. Sebab, biaya pemeliharaan sapi untuk membesarkan juga sudah membumbung tinggi. Seperti pembelian polar untuk memberi minum sapi-sapi tersebut.
 
"Harga 'pedet' (anak sapi) sudah tinggi, misal kita mengambil satu pedet seharga Rp6 juta. Terus kita besarkan hingga enam sampai sembilan bulan, selanjutnya dijual. Kalau harganya murah, kita rugi pemeliharaan dan operasional," katanya.
 
"Kalau harga sapi sudah tinggi, masak kita jual sapi dengan harga rendah, nanti enggak bisa ngebul dapur di rumah," katanya dengan nada canda. (mrt)

Lembayung di Tepi Semayang

Posted: 20 Jan 2013 12:55 AM PST

Pejamku Jauh pada tatap tak bersauh
lelapku tak tersembunyi pada pekat kelam
harap pada jenuh nan tak kunjung menjauh
menuju satu titik dalam tikam rinai malam
 
LANGIT itu indah, lebih lagi di saat senja dengan riasan bintang dan warna-warna yang berpadu menyambut datangnya pekat. Hingga kini aku pun tak tahu mengapa aku sedemikian suka pada langit senja.

Aku bisa menghabiskan berjam-jam waktuku dengan hanya memandangi malam. Bukan ritual seorang penghayal yang memandangi langit dengan pandangan nanar dan kosong. Tapi bagiku ada sebentuk kedamaian, keangkuhan, dan keteduhan dalam lukisan siluet maha sempurna yang selalu ku nikmati.

Bagiku langit adalah muara dari segala kegundahan, telaga bagi segala keresahan. Ke-liaran jiwaku seakan terpasung kala menatap langit senja. Banyak tempat yang sudah aku lewati dengan beragam aneka keindahan yang sebenarnya memukau, tapi tetap saja pencarian dermaga ketenangan  adalah langit.

Aku sendiri tidak pernah benar-benar menyadari kapan kekaguman itu muncul, mungkin, ya aku hanya mengira, itu ada seiring dengan keterpukauan akan sosok Raka. Sosok sederhana namun memesona, ya itu lah Raka. Pendiam, tenang, namun memancarkan kharisma. Dan aku sudah mengenalnya sejak lama, bahkan mungkin terlalu lama. Selaras dengan terlalu lamanya aku menjadi pemuja rahasianya.

Kadang aku merasa bodoh. Aku gadis cantik dengan segudang penghargaan, populer, bintang kampus, bahkan jika aku harus jumawa, siapa sih yang tidak berkehendak menjadi pangeran di hati ku. Tapi nyatanya, sosok "BIASA" itu yang membuat hatiku menggelepar. Tatapnya, senyumnya, keluhannya. Ah, aku rasa semua yang ada padanya, aku puja. Dia sosok yang selalu ada, meski aku tidak pernah tahu seberapa berartinya aku baginya.

             "Grecee...!!!!" aku berhenti dan menoleh mencari sumber suara itu.             " Kenapa Boy...??" ujar ku kala menemukan sumber suara itu, Raka.
            "Namaku Raka Primastya Restu.... Bukan Booooy!!!" sahutnya dengan wajah cemberut .
 
Aku tahu kalau dia tidak suka ku panggil dengan sebutan itu, tapi aku suka dengan ekspresi cemberutnya dan membuat ku semakin gemas padanya.
            " Iya, Raka Primastya Restu....Ada yang bisa di bantu??" ujarku masih menggodanya.
 
"Nanti sore kita ke Parthenon yuk!!" tuturnya memberikan penawaran.
Parthenon yang Raka maksudkan adalah tempat favorit kami di dekat Pelabuhan Semayang. Tumpukan batu karang kecil yang berdiri pasrah di bibir pantai tempat kami biasa memandang langit sore. Keindahan sederhana yang biasa kami nikmati, bukan sebagai pasangan kekasih karena tidak pernah ada sepatah kata pun tentang cinta dalam berjam-jam waktu kami setiap kali berada di sana.
 
Sore itu saat kami kembali duduk di tepi pantai itu, ada yang berbeda dari polah laku Raka. Raka memang bukan laki-laki-- aku lebih suka menyebutnya laki-laki daripada cowok—yang terbiasa ceria, tapi tidak pula biasa tatapannya sayu dan tak ada tawa di sana. Matanya nanar menatap jauh kosong.
 
"Woi....ngajor ya!!" ledekku," Hati-hati hantu laut suka keliaran tuh sore-sore gini" lanjutku berusaha menyeretnya dari alam kelananya. Raka hanya beringsut memperbaiki duduknya tanpa melepaskan pandangannya dari lembayung tempat bertemunya kaki langit dan tepi samudera.
 
Aku semakin kehilangan cara, itulah Raka. Terkadang jadi sosok yang meramaikan suasana,  di lain waktu jadi manusia introvert. Sesaat keheningan datang menyapa menghiasi riak suara ombak.
 
"Aku kangen Mamaku...." tiba-tiba ia berkata lirih antara gumaman dan bisikan " Kamu tahu Grecee, kenapa aku selalu suka pada langit pantai di sore hari, lembayung itu menjadi sketsa lukisan wajah Mama yang aku sendiri 'gak pernah tahu. Aku hanya membayangkan di kaki langit itu tempat Mama berada dan bahagia" lirih suara Raka berkata. Jelas kurasa ada kepedihan dan kerinduan di sana. Yah... kerinduan dari seorang anak yang tak pernah mengenal Mama yang melahirkannya.
 
"Mama pergi waktu nge-lahirin aku" lanjutnya pelan. Aku bisa memahami duka seorang anak yang tidak pernah bertemu orang yang telah mengalirkan darah padanya meski aku belum pernah tahu jika itu terjadi pada Raka. Yang aku tahu laki-laki ini terlahir dengan zodiak Sagitarius dan berulang tahun setiap 1 Desember. Namun ternyata kedekatan kami tidak cukup mampu membuat aku tahu akan luka-nya.
 
"I am sorry Friend...." aku coba bersimpati akan dukanya, meski sebenarnya aku ingin berkata bahwa aku akan selalu ada untuknya. Duka nya memang tidak akan terhapus olehku tapi setidaknya aku bisa memberikan kelembutan sosok ibu yang diimpikannya. Namun sama seperti impiannya, kata-kata cinta itu pun hanya terujar dalam mimpiku.
 
Ingin rasanya aku melebur dalam kerinduan itu. Kerinduan yang terkadang membuat sosok ini membeku bagai batu. Terkadang aku membayangkan sosok ku adalah matahari yang dengan kehangatannya bisa mencairkan keangkuhan itu, namun ternyata keangkuhan itu tercipta dari endapan luka yang bersenyawa dengan kerinduan akan sosok yang sebenarnya wujudnya membingungkan baginya.
 
Ya, kerinduan yang membuat kami membangun Parthenon ini dan kerinduannya pula yang membuat aku terbiasa memandangi langit senja meski dengan alasan berbeda. Berbeda? Akhirnya aku pun merasa indahnya menatap langit sore dan membayangkan sosok-sosok dalam jelajah mimpi kita terbaring jauh di kaki langit. Seperti yang aku lakukan lagi sore ini. Mengintip di balik sela-sela dinding Parthenon sembari mencari dan menanti dimana Raka ku.
 
Yah... sore dimana ia merindukan mamanya dibayar lunas oleh Raka dengan memberi penantian tak berujung padaku. Sejak sore itu Raka pergi entah kemana meninggalkan sekeping luka di sudut hatiku. Aku memang bukan kekasihnya namun aku menyesali akan ketiadaanku sehingga dia akhirnya pergi. Meski tidak seharusnya begitu, tapi rasa bersalah itu selalu datang dan jika rasa itu semakin tajam, aku akan kembali ke Parthenon dan memandang kaki langit sembari menunggu Raka kembali. Aku yakin ia akan datang meski mungkin dengan dan demi hati yang lain.
 
Surat Terakhir Raka
 
….Angan merapat pada jelajah kupu-kupu. Bertaut pada tangkai-tangkai yang esok mungkin akan luruh. Gugahku terseret pada jejak jemari bidadari yang berlari di telaga surgawi. Semakin jauh lelah itu pergi, semakin terpukau aku pada sebentuk senyuman. Grecee..... terima kasih telah memberiku hari-hari yang indah....                         
 
 
Oleh Riskon Pulungan, S. Hum      
 
Penulis adalah alumnus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya. Aktif menulis dan berorganisasi sejak masih kuliah. Cerpennya pernah di muat di Harian Surabaya Post (Wisata Cagar Budaya) dan Majalah Gaya Nusantara (Membelah Bayang-Bayang), tergabung dalam Tim Penulis Buku Mendidik Bangsa Membangun Peradaban dan telah diterbitkan (2011). Menjadi Pimpina Redaktur Majalah STANZA. Merupakan pendiri dan Sekretaris Jenderal Pertama Ikatan Mahasiswa Ilmu Budaya dan Sastra Se-Indonesia (ILMIBSI). Saat ini bekerja sebagai pegawai di sebuah bank milik pemerintah.    Email : riskon.pulungan@mail.bni.co.id


(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news@okezone.com)

(//ful)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan