Khamis, 24 Januari 2013

KOMPAS.com - Regional

KOMPAS.com - Regional


Grebeg Maulud di Solo, Anak Nangis dan Wanita Pingsan

Posted: 24 Jan 2013 08:21 AM PST

Grebeg Maulud di Solo, Anak Nangis dan Wanita Pingsan

Penulis : Kontributor Surakarta, M Wismabrata | Kamis, 24 Januari 2013 | 16:21 WIB

SOLO, KOMPAS.com -- Ribuan warga memadati halaman Masjid Agung Surakarta saat perayaan Grebeg Maulud 2013 pada Kamis (24/1/2013). Mereka yang sudah menunggu berjam-jam semakin tidak sabar saat melihat dua pasang gunungan keraton mulai memasuki halaman masjid setelah dikirab dari Keraton Surakarta.

Dengan pengawalam ketat prajurut keraton dan pihak kemananan, pembopong dua pasang gunungan tersebut cukup kesulitan memasuki masjid. Pihak kemanan pun harus bekerja keras menyibak kerumunan massa yang ingin mendekat dan merebut gunungan. Pihak panitia pun berkali-kali mengingatkan untuk tidak merebut isi gunungan terlebih dahulu seblum didoakan oleh ulama masjid.

Ribuan warga, termasuk anak-anak dan perempuan manula, harus rela menunggu lebih lama lagi. Dari pengamatan Kompas.com, beberapa anak anak mulai menangis karena massa semakin tidak terkendali.

Untuk mengantisipasi adanya jatuh korban, beberapa petugas pun mengevakuasi beberapa anak dan perempuan manula ke area masjid karena terhimpit di antara kerumunan. Suasana semkain ricuh saat beberapa permpuan jatuh pingsan dan harus dievakuasi. Petugas pun kesulitan karena korban jatuh pingsan berada di tengah tengah kerumunan.

Sementara itu, saat doa sedang berlangsung, warga tiba-tiba meneriaki beberapa abdi dalem yang "curi start" mengambil makanan di gunungan. Hal tersebut kontan diikuti warga yang langsung merangsek ke arah gunungan.

Suasana sempat mampu dikendalikan, namun tak berlangsung lama. Massa langsung berebut isi gunungan. Suasana semakin ricuh saat beberapa perempuan manula jatuh dan sempat terinjak-injak. Beberapa anak pun yang terjebak di kerumunan menangis.

Seorang petugas kemanan tampak mengamankan seorang balita bersama neneknya asal Karanganyar ke tempat yang aman. "Tiba-tiba dari belakang langsung ada yang mendorong, untung cucu saya sudah diamankan pak hansip," kata Sarmiyem (62) kepada Kompas.com.

Sementara itu, kurang dari setengah jam, isi gunungan pun ludes diambil warga. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini, hanya beberapa warga jatuh pingsan akibat berdesak-desakan.

Di Yogyakarta, Relawan Jadi Gaya Hidup

Posted: 24 Jan 2013 08:07 AM PST

Di Yogyakarta, Relawan Jadi Gaya Hidup

Penulis : Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma | Kamis, 24 Januari 2013 | 16:07 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com -- Bermunculannya jumlah komunitas relawan bencana di wilayah DIY pasca-erupsi Merapi 2010 lalu, mengindikasikan tingkat partisipasi masyarakat dalam misi kemanusiaan dan mitigasi kebancanaan cukup tinggi. Sampai saat ini saja jumlah komunitas relawan mencapai 198 (DIY-Jateng ).

Meningkatnya komunitas relawan perlu didukung dengan peningkatan skill setiap anggotanya. Sri Hartoyo MM, salah satu aktivis relawan dari Forum Komunitas Lintas Relawan (Foklar) DIY-Jateng mengatakan, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi menjadi relawan tahun ini sangat tinggi. Relawan bisa dibilang sudah tren atau gaya hidup.

"Entah apa kemampuanya sekarang, banyak yang bisa membawa HT dengan pakaian orange, namun demikian semangat relawan harus terus diapresiasi. Jika potensi tersebut dikelola dengan baik, maka upaya penanggulangan bencana bisa berjalan dengan lebih baik," terangnya, Kamis (24/01).

Hartoyo menambahkan, jumlah relawan yang tergabung dalam forum sekitar 198 komunitas di DIY dan Jateng. Anggotanya pun mencapai ribuan orang. Dengan pertumbuhan yang demikian pesat, maka tidak salah jika DIY disebut sebagai "Kota Relawan".

"Tentu saja kemampuan mereka belum merata sepenuhnya. Akan lucu ketika seorang relawan malah ditolong, karena itu kami akan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan basic skill para relawan," katanya.

Selain meningkatkan basic skill setiap relawan, pihaknya juga akan membentuk klaster-klaster relawan, agar lebih efisien dan terarah dalam menjalankan tugas di lapangan.

"Selama ini ketika ada kejadian bencana apapun bentuknya pasti relawan langsung berjubel. Kita ingin bentuk spesialisasinya agar dalam tugasnya nanti lebih efisien dan tidak terjadi penumpukan," ujarnya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan