Selasa, 8 Januari 2013

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Din: Jangan Kaitkan Larangan Mengangkang dengan Agama

Posted: 08 Jan 2013 11:08 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meminta Pemerintah Kota Lhokseumawe tidak mengaitkan landasan agama dengan larangan perempuan mengangkang saat dibonceng.

Ia pun menyangsikan landasan pembuatan peraturan itu membawa ke arah yang lebih baik bagi kaum perempuan.

"Tidak ada tali-temali dengan agama, mungkin lebih bersifat adat istiadat," ujar Din, Selasa (8/1/2013), di Gedung Kompleks Parlemen Senayan.

Din menjelaskan, pada masa modern ini, kehidupan manusia pun banyak berubah. Ia merasa aturan yang ada jangan dibuat kaku. "Apakah perempuan dengan tidak duduk ngangkang mana akan lebih baik. Hal-hal semacam ini jangan dibesar-besarkan," ucap Din.

Ia meminta, Pemda Lhokseumawe segera melakukan pembicaraan dan pengkajian ulang soal anjuran larangan mengangkang bagi perempuan. "Jangan buat kegaduhan politik. Jangan dikaitkan dengan agama, masih banyak masalah masyarakat lain yang belum selesai," ucap Din.

Diberitakan sebelumnya, Wali Kota Lhokseumawe Suadi Yahya mengeluarkan surat edaran yang mengimbau kaum perempuan tidak duduk mengangkang saat dibonceng sepeda motor. Alasannya adalah untuk peningkatan dan mendukung syariat Islam yang telah ada qanunnya di Aceh.

Menurut Suadi, kaum perempuan yang duduk mengangkang saat dibonceng sepeda motor tidak sesuai dengan budaya Aceh yang Islami. "Sebenarnya budaya Aceh, bagi perempuan, kalau duduk di sepeda motor ini tidak boleh mengangkang, budayanya harus duduk menyamping," jelas Suadi.

Surat edaran berupa imbauan kepada warga Lhokseumawe, menurutnya, mulai berlaku sejak Selasa (1/1/2013) lalu. Sosialisasi pun dilakukan ke kecamatan hingga ke desa-desa.

Selama satu bulan ke depan, Pemerintah Kota Lhokseumawe akan mengevaluasi sejauh mana efektivitas surat edaran itu berdampak ke masyarakat. Jika dinilai baik, akan disahkan sebagai qanun.

Suadi mengklaim surat edarannya ini didukung masyarakat Lhokseumawe, setidaknya kalangan ulama di wilayah itu. Menurutnya, alasan yang berkembang di kalangan ulama Lhokseumawe menyebutkan, jika kaum perempuan duduk tidak mengangkang saat dibonceng di sepeda motor, terlihat karakter perempuannya.

"Kalau duduk mengangkang, itu kayak lelaki, kalau dilihat dari samping. Tapi, kalau duduk menyamping, ciri khasnya terlihat kalau itu perempuan," ujar Suadi.

Lantaran mendapat kecaman, Kementerian Dalam Negeri saat ini akan mengevaluasi anjuran Wali Kota ini.

Editor :

Erlangga Djumena

Nazaruddin: Saan Pembuka Jalan Proyek PLTS

Posted: 08 Jan 2013 10:37 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mengungkapkan, mantan rekan separtainya, Saan Mustopa, menjadi penghubung PT Anugerah Nusantara dengan pihak Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans). Menurut Nazaruddin, Saanlah yang membuka jalan sehingga perusahaan tersebut memenangkan tender proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kemnakertrans pada 2008.

"Dia (Saan) membuka pintu untuk proyek PLTS ini," kata Nazaruddin saat bersaksi dalam persidangan kasus dugaan korupsi proyek PLTS yang menjerat istrinya, Neneng Sri Wahyuni, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (8/1/2013).

Menurut Nazaruddin, Saan bersama dirinya dan Anas Urbaningrum mendatangi kediaman Menakertrans saat itu, Erman Suparno, sekitar Januari 2008. Saat itu, kapasitas Saan, kata Nazaruddin, datang sebagai perwakilan Partai Demokrat.

"Saan dan Anas adalah teman-teman saya yang punya cita-cita politik yang sama dan perlu dana untuk Partai Demokrat. Saat itu, Saan menjelaskan punya teman di DPR yang akan menurunkan anggaran untuk bantuan transmigrasi," ujarnya.

Dia mengatakan, anggaran proyek PLTS yang dijanjikan akan turun mulanya senilai Rp 100 miliar. Namun, setelah pertemuan tersebut, tepatnya pada April 2008, Saan mengatakan kalau anggaran yang akan dicairkan hanya Rp 9,2 miliar.

Meskipun demikian, menurutnya, PT Anugerah Nusantara tetap ikut dalam proses tender proyek PLTS. Atas perintah Anas, kata Nazaruddin, PT Anugerah Nusantara meminjam bendera PT Alfindo Nuratama untuk mendaftar sebagai rekanan.

Saat itu, menurut Nazaruddin, Anas menjadi salah satu pemegang saham PT Anugerah Nusantara. Anas pun, ujarnya, menugaskan Mindo Rosalina Manulang untuk menangani proyek PLTS tersebut.

"Dalam program ini, Anas memutuskan agar yang menangani adalah Mindo Rosalina Manulang. Sebagai marketing baru, Rosa ditugaskan untuk membentuk tim administrasi untuk mempersiapkan proyek dan selanjutnya pada sekitar awal Juni, Rosa dibawa Saan ke Depnakertrans," ungkap Nazaruddin.

Sebelum pelaksanaan tender, lanjut Nazaruddin, Saan menyampaikan mengenai dana yang harus diberikan kepada Menakertrans. Dana senilai Rp 50.000 dollar AS itu harus diserahkan sebelum Agustus 2008.

"Uang 50.000 dollar itu, Saan yang bawa ke Menaker," ucapnya.

Penyerahan uang ini, menurut Nazaruddin, ada bukti tanda terimanya berupa kuitansi. Mantan anggota DPR itu mengaku telah menyerahkan bukti kuitansi titipan uang itu kepada Saan.

Adapun uang 50.000 dollar AS tersebut, katanya, diambil Saan dari kas PT Anugerah Nusantara dan kas PT Berkah Alam Melimpah. Selain untuk Menakertrans, kata Nazaruddin, ada uang yang diambil untuk pemberian jatah kepada Saan.

"Uang 50.000 dollar AS itu untuk menteri. Setelah itu, ada lagi 20.000 dollar AS, 15.000 dollar AS untuk Saan setelah proyek selesai pada Februari 2009," ungkapnya.

Keterangan Nazaruddin ini berbeda dengan kesaksian Mindo dan Saan yang disampaikan dalam persidangan sebelumnya. Menurut Mindo, bukan Anas yang memerintahkan dia menangani proyek PLTS, melainkan Nazaruddin. Rosa mengaku diantarkan oleh M Nasir (saudara Nazaruddin) untuk menemui pejabat Kemnakertrans.

Sementara Saan, mengatakan kalau uang 50.000 dollar AS itu tidak jadi dia terima dari Nazaruddin. Menurut Saan, uang itu memang sempat ditawarkan Nazaruddin kepada dirinya sebagai pinjaman dana kampanye. Namun, uang itu diambil kembali oleh Nazar pada hari yang sama.

Dalam kasus PLTS ini, istri Nazaruddin, Neneng, didakwa baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, Nazaruddin, Marisi Martondang, Mindo Rosalina Manulang, dan Arifin Ahmad, melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara sekitar Rp 2,72 miliar.

Adapun Marisi merupakan Direktur Administrasi Grup Permai, sementara Mindo pernah menjadi Direktur Pemasaran Grup Permai dan Arfiin adalah Direktur Utama PT Alfindo Nuratama, perusahaan yang dipinjam benderanya oleh Grup Permai untuk memenangkan tender proyek PLTS.

Menurut dakwaan, Neneng melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengintervensi pejabat pembuat komitmen (PPK) dan panitia pengadaan dalam penentuan pemenang lelang proyek pengadaan dan pemasangan PLTS di Satuan Kerja Direktorat Pengembangan Sarana dan Prasarana Kawasan (Dit PSPK) Kemnakertrans.

Dalam pelaksanaan proyek, Neneng juga mengalihkan pekerjaan utama dari perusahaan pemenang tender, yakni PT Alfindo Nuratama Perkasa kepada PT Sundaya Indonesia. Perbuatan ini bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa.

Atas perbuatan Neneng tersebut, PT Anugerah Nusantara (Grup Permai) mendapat keuntungan sekitar Rp 2 miliar, sementara negara mengalami kerugian senilai uang yang diperoleh Grup Permai tersebut.

Sementara itu, menurut Nazaruddin, istrinya itu tidak terlibat mengurus proyek PLTS. Nazaruddin menyebut Neneng sebagai ibu rumah tangga biasa yang tidak ikut campur urusan perusahaan.

Editor :

Erlangga Djumena

Tiada ulasan:

Catat Ulasan