Isnin, 12 Mac 2012

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Kejaksaan Agung Periksa Sofyan Djalil

Posted: 12 Mar 2012 11:02 AM PDT

Kejaksaan Agung Periksa Sofyan Djalil

Maria Natalia | I Made Asdhiana | Senin, 12 Maret 2012 | 20:40 WIB

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Mantan Menteri Negara BUMN Sofyan A Djalil dimintai keterangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan dengan kasus Bank Century di Kantor KPK, Jakarta, Selasa (2/3).

JAKARTA, KOMPAS.com — Tim penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Senin (12/3/2012) ini, memeriksa mantan Menteri Negara (Menneg) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan Djalil. Ia diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Merpati Nusantara dalam penyewaan dua pesawat Boeing 737-400 dan 737-500.

"Saya jadi saksi ahli saja untuk kasus Merpati," kata Sofyan di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin.

Sementara itu, menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, Sofyan dimintai keterangan sebagai saksi yang meringankan atas permintaan salah satu tersangka kasus tersebut, mantan Direktur Utama PT MNA, Hotasi Nababan.

"Kehadiran Pak Sofyan Djalil di gedung Bundar pada hari ini dalam rangka dimintai keterangan atau diperiksa sebagai saksi. Karena itu, permintaan dari tersangka sebagai saksi yang meringankan tentunya kita melakukan pemeriksaan," tutur Adi.

Seperti yang diketahui, kasus ini berawal dari perjanjian antara PT Merpati dan perusahaan penyewaan pesawat Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) ditandatangani pada 19 Desember 2006. Dalam perjanjian itu, Merpati berencana menyewa dua pesawat dari Thirdstone, yaitu Boeing 737 seri 400 dan 500. Saat itu, posisi Menneg BUMN dipegang oleh Soegiharto.

Berdasarkan perjanjian itu, Merpati membayar Thirdstone 1 juta dollar AS atau sekitar Rp 9 miliar sebagai jaminan. Pesawat yang disewa tersebut tak kunjung dikirimkan kepada Merpati sampai tenggat waktu yang disepakati, yaitu Januari 2007. Sementara uang jaminan yang telah dibayarkan tidak bisa ditarik kembali. Kejaksaan menduga, dalam tindakan Merpati tersebut terdapat unsur tindak pidana korupsi.

Setelah kasus itu bergulir, Sofyan Djalil menjabat sebagai Menneg BUMN dari 9 Mei 2007 hingga 22 Oktober 2009 menggantikan Soegiharto sehingga ia pun diminta sebagai saksi ahli dalam kasus itu. Dalam kasus tersebut, selain Hotasi, Kejaksaan juga telah menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu General Manager Air Craft Procurement PT Merpati Nusantara Airlines Tony Sudjiarto dan mantan Direktur Keuangan PT MNA, Guntur Aradea.

Revisi UU KPK Bisa Jadi "Lonceng Kematian" DPR

Posted: 12 Mar 2012 10:45 AM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com -- Rencana Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menjadi "lonceng kematian" DPR sendiri. Soalnya, revisi itu bersemangat melemahkan KPK, sementara kepercayaan masyarakat sedang tinggi terhadap komisi tersebut.

"Kalau DPR tetap mengotot untuk merevisi UU KPK, itu justru akan menjadi 'loceng kematian' bagi DPR," kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, Senin (12/3/2012) di Jakarta.

Sebastian Salang menjelaskan, saat ini publik sedang mengapresiasi KPK dan berharap kinerjanya terus ditingkatkan dalam memberantas korupsi. Masyarakat sudah tahu, bahwa ada kepentingan tersembunyi di balik ide revisi, yaitu agenda dari politisi dan partai politik untuk menyelamatkan korupsi politik. Revisi itu bisa diarahkan untuk melemahkan komisi tersebut.

"Revisi UU KPK itu melawan aspirasi publik. Itu akan semakin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap legislatif," katanya.

Memang DPR punya kewenangan konstitusional untuk merevisi UU. "Tapi, kalau diteruskan, ide ini akan merangsang gerakan perlawanan dari masyarakat," ujarnya.

Sebastian berharap, KPK dan pemerintah menolak rencana revisi. Jika begitu, proses revisi tidak akan bisa dilanjutkan. "Kalau pemerintah tak mau ikut membahas, proses revisi itu tak bisa dilanjutkan. Kita menunggu komitmen pemerintah," tuturnya.

Sebagaimana diberitakan, sebagian anggota DPR mengajukan gagasan untuk merevisi UU KPK. Namun, KPK dan masyarakat antikorupsi merasa, revisi itu belum diperlukan karena UU tersebut masih cukup memadai sebagai landasan hukum bagi kinerja komisi itu.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan