Sabtu, 1 Oktober 2011

ANTARA - Hiburan

ANTARA - Hiburan


14 batik Jatim punya filosofi

Posted: 01 Oct 2011 06:22 AM PDT

Batik. (ANTARA/STRINGER)

Gringsing berasal dari kata gering (bahasa Jawa) yang berarti kurus. Harapannya, pemakai batik gringsing tidak akan gering lagi..."

Berita Terkait

Video

Surabaya (ANTARA News) - Komunitas Batik Jawa Timur di Surabaya menemukan 14 batik Jatim berfilosofi yang dilestarikan turun temurun dari generasi ke generasi.

"14 Batik Jatim Berfilosofi itu kami temukan dengan mengacu pada artefak yang masih ada, wawancara perajin yang melestarikannya, dan cara berpikir masyarakat, karena ada masyarakat kita yang sangat vulgar," kata Ketua Kibas Lintu Tulistyantoro di Surabaya, Sabtu.

Menurut dosen Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya itu, komunitas yang dipimpinnya itu akan segera menerbitkan buku tentang Batik Jatim Berfilosofi pada akhir tahun 2011.

Batik Berfilosofi antara lain Rawan (Tulungagung), Wahyu (Tulungagung dan Tuban), Gringsing (Tuban dan Tulungagung), Sidomukti (Tulungagung), dan Satrio Manah (Mojokerto, Tuban, dan Tulungagung).

Selain itu, Mahkota (Sidoarjo), Pring Sedapur (Sidoarjo), Kembang Malathe (Madura), Kangkung Setingkes (Banyuwangi), Per Keper (Pamekasan), Tong Centong (Pamekasan), Sabet Rante (Pamekasan), Tasek Melaya (Tanjungbumi, Bangkalan), Jung Drajat (Madura).

"Gringsing berasal dari kata gering (bahasa Jawa) yang berarti kurus. Harapannya, pemakai batik gringsing tidak akan gering lagi atau dalam istilah Jawa disebut sedulur papat lima panjer (empat arah dengan lima sebagai pusat). Simbolnya lingkaran atau bulatan dengan titik di tengahnya," katanya.

Ia menjelaskan batik dengan tema gringsing memiliki filosofi yakni keseimbangan."Kalau pria bertemu wanita, kalau negatif bertemu positif, maka akan terjadi keseimbangan. Keseimbangan itu kemakmuran, kesuburan," katanya.

Untuk tema pernikahan, katanya, mulai dari batik untuk lamaran hingga pasca-pernikahan. "Antara lain batik mahkota dari Sidoarjo yang menandai bahwa pemakainya yang mau menikah merupakan orang yang terpandang," katanya.
(E011)

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Artmoschestra suguhkan instrumen digital-etnik

Posted: 01 Oct 2011 04:11 AM PDT

... Mudah-mudahan saja konsep musik ini bisa menjadi warna baru dalam musik di Tanah Air yang bisa diterima secara baik oleh generasi penerus...

Berita Terkait

Video

Denpasar (ANTARA News) - Artmoschestra, grup musik asal Kota Malang, Jawa Timur, menyuguhkan komposisi perpaduan instrumen digital dengan etnik dari Nusantara dan China.

"Konsep musik kami adalah memadukan instrumen digital dengan etnik, yang warna nadanya memunculkan unsur tradisi timur dan barat," kata Redy Prasetyo, salah satu personel grup Artmoschestra sebelum tampil di satu festival di Denpasar, Sabtu malam.

Dia menjelaskan, penggunaan efek digital yang diharmonisasikan dengan warna lokal tersebut supaya dapat dengan mudah diterima oleh kalangan muda.

"Mudah-mudahan saja konsep musik ini bisa menjadi warna baru dalam musik di Tanah Air yang bisa diterima secara baik oleh generasi penerus," ujar pria asal Besuki, Kabupaten Situbondo, ini.

Redy mengatakan, pada konser tersebut, grupnya tidak hanya menggunakan instrumen dari daerah Jawa saja, namun juga memasukkan Erhu, alat musik gesek asal China.

Pada kesempatan itu, tambah dia, grup musik tersebut akan menampilkan empat atau lima komposisi lagu yang dibawakan secara medley.

"Empat komposisi lagu tersebut, yakni berjudul "Madakaripura", "Spirit of Petra Salira", "Ura-uri Tengger" dan "Madurasa".

Menurut Redy, keempat komposisi itu memiliki pesan moral dan makna yang terkandung di dalamnya, salah satunya lagu "Spirit of Petra Salira".

Lagu tersebut, tambah dia, mengandung pesan supaya setiap orang tidak malu menjadi diri sendiri, seperti yang dicerminkan pada komposisi yang mengangkat tema upacara kematian masyarakat suku Tengger.

Pada upacara itu cukup berbeda dengan ritual ngaben di Bali, sebab kalau masyarakat Tengger tidak membakar jenazah, namun bunga. Bunga yang dibakar adalah bunga edelweis.

"Pada lagu itu kami mencoba mengajak supaya semua orang bisa memiliki semangat dalam menjaga kelokalannya secara konsisten, seperti yang tercermin oleh masyarakat suku Tengger yang tetap melakukan tradisi tersebut meskipun zaman terus berubah. Mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh globalisasi," ujarnya. (KR-IGT)

Editor: Ade Marboen

COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Tiada ulasan:

Catat Ulasan