Rabu, 7 September 2011

ANTARA - Hiburan

ANTARA - Hiburan


Jejak budaya China kuno ditemukan di Haruku

Posted: 07 Sep 2011 07:34 AM PDT

Ambon (ANTARA News) - Jejak kebudayaan China abad ke-16 Masehi ditemukan oleh Balai Arkeologi Ambon di Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah.

"Temuan ini menunjukkan adanya kemungkinan pengaruh kebudayaan China dalam penyebaran agama Islam di Pulau Haruku," kata Peneliti Arkeologi Islam Balai Arkeologi Ambon, Wuri Handoko, di Ambon, Rabu.

Ia mengatakan, dalam penelitian yang dilakukan timnya pada Juni 2011 terindikasi adanya pengaruh kebudayaan China berupa ciri khas arsitektur dan motif ukiran berbentuk naga di masjid kuno di Desa Rohomoni, Kabauw, dan Kailolo.

Motif ukiran naga ditemukan di tiang pintu serambi, mihrab, tiang sudut luar, dan ventilasi antara atap dengan tumpang masjid kuno Hatuhaha Marima yang sering dikenal dengan nama Uli Hatuhaha di Desa Rohomoni.

Hal yang sama juga ditemukan di masjid kuno di Desa Kabauw dan Kailolo, berupa ukiran berbentuk motif flora khas China.

"Keseluruhan ukiran yang terdapat di masjid-masjid kuno tersebut tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh unsur pertukangan China," katanya.

Ia menjelaskan, dalam mitologi China, naga memiliki nilai magis dan spritiual serta merefleksikan kebesaran dan kekuatan. Simbolisasi itu ada sejak 6.000 tahun yang lalu.

Selain masjid, Balai Arkeologi Ambon juga menemukan makam kuno penyiar Islam Upuka Pandita Mahu di Desa Kailolo. Dalam beberapa referensi nama tersebut dikaitkan dengan nama tokoh penyebar Islam bernama Ma Huang yang merupakan pengawal Laksamana Cheng Ho.

Namun tidak ditemukan bukti-bukti pendukung apakah Pandita Mahu adalah Ma Huang, pengawal Laksamana Cheng Ho.

Ia mengatakan, Pulau Haruku telah menerima pengaruh Islam antara lain yang dibawa para mubalig berasal dari Arab, Kerajaan Samudra Pasai, dan Pulau Jawa sekitar abad ke-15.

Umumnya, katanya, mereka datang melalui Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah.

"Di antara penyiar-penyiar itu, ada seorang yang keturunan China bernama Ma Hwang. Penduduk setempat menyebutnya dengan Upuka Pandita Mahuang artinya Tuanku Mubaligh Ma Hwang " katanya.

Ia mengemukakan, berdasarkan berbagai data yang ditemukan dan informasi menyangkut Pandita Mahu atau Ma Huang, besar kemungkinan merupakan antitesis dari penjelasan sejarawan barat sebelumnya yang salah satunya Anthony Reid.

Anthony, katanya, menjelaskan bahwa ekspedisi Cheng Ho dari 1371-1435 M tidak pernah mencapai Maluku.

Dalam penjelasannya, katanya, Reid juga mengatakan hubungan perdagangan langsung China dengan Maluku hanya terwujud hingga pertengahan abad ke 14 Masehi, sedangkan data-data di Pulau Haruku, ditemukan adanya pengaruh China, setidaknya pertengahan abad 16 Masehi.

"Kajian terhadap adanya unsur-unsur China dalam khazanah kebudayaan Islam agak sulit dilakukan, karena minimnya data-data arkeologi sejarah dan situs-situs kepurbakalaan yang ada. Masyarakat muslim lebih meyakini bahwa proses islamisasi di nusantara, terutama di Pulau Jawa dilakukan oleh pedagang dan mubalig Arab atau minimal dari Timur Tengah, bukan China," kata Wuri Handoko.
(T.KR-IVA/M029)

Editor: Ruslan Burhani

COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Ratusan sapi berkalung ketupat meriahkan tradisi Syawalan

Posted: 07 Sep 2011 05:40 AM PDT

Boyolali (ANTARA News) - Ratusan ekor sapi milik warga Desa Sruni, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Rabu, diarak keliling desa dengan dikalungi ketupat untuk memeriahkan upacara tradisi Syawalan atau disebut "Bakdo Kupat".

Masyarakat setempat melakukan tradisi unik pada Syawalan tersebut dengan mengeluarkan seluruh ternaknya yang sebagian besar jenis sapi perah.

Sapi tersebut selain dikalungi ketupat juga diberikan minyak wangi untuk digembalakan keliling desa setempat.

Tokoh masyarakat Desa Sruni, Hadi Sutarno, menjelaskan, tradisi Syawalan tersebut sudah dilakukan warga setempat sejak nenek moyang mereka.

Warga setempat, katanya, hingga saat ini melestarikan tradisi tersebut sebagai simbol atas kemurahan rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Ia menjelaskan, tradisi Syawalan itu oleh warga juga disebut "Bakdo Kupat" atau "Kupatan".

Setiap warga yang memiliki ternak sebagai sumber penghasilan kehidupan keluarga mereka, katanya, wajib dimanjakan.

Warga memberikan makan ketupat kepada semua ternaknya, sebelum digembalakan keliling desa. Ternak itu dimanjakan oleh pemiliknya karena selama ini sebagai sumber penghasilan mereka.

"Tradisi ini sudah turun-temurun sejak zaman nenek moyang, yang dilakukan warga pada puncak acara Lebaran atau hari ketujuh perayaan Hari Raya Idul Fitri," katanya.

Menurut dia, bukan hanya sapi yang diarak keliling kampung atau desa, tetapi juga ternak kambing.

Ratusan ekor sapi dan kambing milik para warga tampak memenuhi jalan-jalan desa setempat sedangkan suasana berlangsung meriah.

Acara tradisi Kupatan tersebut, kata dia, diawali dengan kegiatan kenduri sekitar pukul 06.00 WIB yang digelar di setiap rukun tetangga.

Setelah itu, warga mengeluarkan ternaknya ke jalan-jalan kampung untuk diberikan makanan ketupat.

"Setelah diberikan makanan ketupat, ternak kemudian dibawa keliling desa," katanya.

Seorang warga setempat, Zaini (56), mengatakan, tradisi tersebut sudah berlangsung turun temurun sebagai wujud syukur warga kepada Allah SWT, karena melalui ternak tersebut warga mendapatkan rezeki.

"Sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Saya bersyukur atas limpahan rezeki yang diberikan Tuhan melalui hewan ternak," katanya.

Selain itu, kata dia, tradisi Syawalan itu juga untuk melestarikan kebudayaan sejak nenek moyang dan hingga saat ini sudah berjalan turun-temurun.

Setiap Lebaran Ketupat atau Syawalan, warga melakukan kenduri yang kemudian melanjutkan dengan menggembala sapi untuk dibawa keliling kampung atau desa.

Selain itu, kata dia, adanya kepercayaan yang selama ini berkembang di masyarakat setempat, bahwa Nabi Sulaiman AS pada hari ketujuh Lebaran, memeriksa sapi-sapi.

Warga kemudian membawa sapinya keluar rumah untuk keliling kampung dan dijemur di luar kandang.

"Saya dengan ternak sapi perah ini, hasilnya mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan dapat menyekolahkan anak," katanya.
(U.B018/M029)

Editor: Ruslan Burhani

COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Tiada ulasan:

Catat Ulasan