Sabtu, 6 Julai 2013

ANTARA - Hiburan

ANTARA - Hiburan


Superhero Indonesia hanya soal waktu

Posted: 06 Jul 2013 06:42 AM PDT

Surabaya (ANTARA News) - Komikus "Gundala Putra Petir" Hasmi mengatakan ketertarikan masyarakat terhadap Superhero Indonesia hanya soal waktu, karena kecintaan masyarakat pada karya sendiri belum terbentuk.

"Masalahnya, character building yang dicita-citakan Bung Karno belum terbentuk, padahal sekarang banyak komikus Indonesia yang tidak kalah dengan komikus dunia," katanya dalam talkshow di Universitas Surabaya, Sabtu.

Hasmi mencontohkan "Anak Betawi" karya Rano Karno yang sempat tidak laku.

"Hanya karena sungkan pada Rano Karno, maka Anak Betawi pun dilirik. Buktinya, karya itu ternyata banyak diminati masyarakat. Jadi, karakter di dalam diri kita sendiri yang belum terbentuk, sehingga kita masih sulit menerima karya sendiri," katanya.

Tidak hanya soal waktu, tapi juga faktor bisnis akan menentukan, apalagi karya komikus Indonesia sekarang banyak dilirik dunia, seperti Ardiansyah yang terikat kontrak dengan DJ Comics di AS.

"Jadi, saya kira, superhero Indonesia itu harus dicari, dicari, dan dicari. Di Indonesia, inspirasi itu banyak, saya sendiri menemukan Gundala dari inspirasi alam berupa petir, tapi saya coba menemukan figur superhero yang membumi," katanya.

Karakter Gundala Putra Petir yang memiliki kecepatan berlari 800.000 kilometer/jam itu diciptakannya sebagai tokoh pembela kebenaran yang suka makan di pinggir jalan, nonton wayang, main-main ke pasar burung, dan sebagainya.

"Dengan cara membumi itu, maka Gundala banyak disukai, karena masyarakat merasa Gundala merupakan bagian dari kehidupan mereka. Tapi, inspirasi tidak hanya bisa didapat dari alam, melainkan juga dari pengalaman, peristiwa, dan bahkan karya orang lain," katanya.

Sedangkan Ardiansyah yang terikat kontrak dengan DJ Comics mengaku merindukan komik Indonesia sehingga dia berusaha menyelipkan unsur Indonesia dalam komik rancangannya.

"Saya terikat kontrak dengan pihak AS, tapi saya berusaha menyelipkan unsur Indonesia di dalamnya, misalnya baliho Jokowi. Atau, saya sedang menggarap komik Superman lagi, nanti saya selipkan gereja dan masjid di dalamnya," katanya.

Sementara itu, Hendri dari Studio "Neo Paradigma" mengaku merancang superhero dengan menampilkan desain dayak, selendang, dan sebagainya. "Untuk cerita, kami melakukan diskusi dengan penulis cerita," kata Hendri.

Hatta: karya seniman jangan dibatasi selera pasar

Posted: 06 Jul 2013 05:04 AM PDT

Jakarta (ANTARA News) - Menteri Koordinator Perekenomian, Hatta Rajasa menyatakan sebaiknya seorang seniman bebas mengeluarkan ekspresi, kreativitas dan inovasi dalam membuat karya, tanpa dibatasi pangsa pasar.

"Untuk menciptakan kreativitas dan inovasi, kebebasan berekspresi seniman tidak terpasung tekanan pasar," kata Hatta dalam keterangan pers di Jakarta, Sabtu.

Hatta diundang pelukis, Nasurin, dalam acara diskusi pameran seni "Art Jog" di Yogyakarta, dihadiri juga para kurator dan pecinta seni kelas dunia, seperti Direktur Artstage Singapura Lorenzo Rudolf dan mantan Direktur Pameran Seni "Art Basel"; Tony Ellwood, Direktur National Gallery of Victoria, Australia, Kenneth Choe (Board of Advisors Singapore Art Museum).

Selain itu, kurator Jason Yeap (National Gallery of Victoria), Bryan Collie (Melbourne Asia Pacific Contemporary Art) dan kurator dalam negeri, seperti Oei Hong Djien dan Deddy Kusuma.

Hatta mengungkapkan karya terbaik seorang seniman ketika mengekspresikan kekuatan diri sesuai keinginan, sehingga muncul inovasi.

"Bangsa tidak akan besar karena ekonomi saja, namun bangsa akan besar penuh martabat ketika seni dan budaya juga mengalami kemajuan," ujar Hatta.

Hatta mendukung penuh para seniman Yogyakarta menggelar "Art Jog", karena tanpa campur tangan galeri, meski tidak terlepas dari sisi komersial.

Terkait kiat meningkatkan minat terhadap kesenian, Hatta menyatakan pertama pemerintah harus menyiapkan museum sebagai penanda kemajuan peradaban sebuah bangsa.

Kedua menyediakan gedung kesenian, sebagai cermin ketinggian cita rasa seni sekaligus sarana konektivitas antarwarga negara dan ketiga perpustakaan.

Sementara itu, Direktur Artstage Singapura, Lorenzo Rudolf menyebutkan Yogyakarta merupakan kota kesenian dan menjadi barometer perkembangan kesenian di Indonesia.

"Tak mungkin bicara seni rupa Indonesia tanpa Yogyakarta," ujar Rudolf.(*)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan