Khamis, 16 Mei 2013

ANTARA - Peristiwa

ANTARA - Peristiwa


Indonesia hadapi paradoks demokrasi-ekonomi

Posted: 16 May 2013 07:01 AM PDT

Jakarta (ANTARA News) - "Indonesia menghadapi paradoks dalam demokrasi karena sistem itu dijadikan pemilik modal untuk berkuasa," kata Dewan Direktur Sabang Merauke Circle, Syahganda Nainggolan, di Jakarta, Kamis. 

Di beberapa provinsi, kata dia, paradoks demokrasi berujung politik kekuasaan kental terjadi. Di Banten, sebagai contoh, demokrasi menjadi alat dari pemilik modal untuk berkuasa karena ada beberapa keluarga menjadi penguasa di sana. 

Padahal partisipasi masyarakat untuk berdemokrasi --melalui pemilu dan pilkada-- cukup tinggi. 

Menurut Nainggolan, seharusnya esensi demokrasi merupakan keterlibatan publik dalam setiap pembangunan ekonomi, politik, dan hukum. Namun dia menilai saat ini partisipasi publik dikesampingkan dan digunakan alat bagi pemilik modal.

"Menurut saya, selama ini kekuasaan republik ada di tangan pemilik modal. Mereka memberi uang untuk mengamankan bisnis," ujarnya.

Dia menilai supremasi hukum harus ditegakkan, sehingga tidak runcing kepada masyarakat bawah tetapi tumpul ke atas. Menurut dia, apabila saat ini banyak koruptor yang ditangkap dibandingkan era Orde Baru kemungkinan karena diperlukan banyak dana untuk demokrasi.

"Keberadaan KPK menggetarkan penyelenggara negara, namun semakin banyak koruptor seperti virus. Mungkin karena dalam pelaksanaan demokrasi memerlukan banyak uang," katanya.

Satu paket dengan berdemokrasi, dia menilai paradoks pertumbuhan ekonomi juga terjadi. "Pertumbuhan ekonomi saat ini menganut prinsip trickle down effect yang membuat kaya orang sudah memiliki harta banyak namun menyengsarakan masyarakat kelas bawah," katanya.

Yang paling mengagetkan adalah praktik perbudakan atas buruh di satu pabrik kuali aluminium di Tangerang. 


"Indonesia harus tegas dalam penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi. Kita dihadapkan pada pilihan ekstrem, apakah kejaksaan dan kepolisian tidak mengurusi korupsi lalu diberikan kepada KPK," kata dia. 

(I028/H-KWR) 

PBNU: Ditjen Pajak belum serius benahi aparatnya

Posted: 16 May 2013 06:50 AM PDT

Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan belum serius membenahi aparatnya sehingga praktik penyelewengan masih saja terjadi.

"Penangkapan oknum petugas pajak oleh KPK kali ini membuat kami jadi bertanya, apa benar Direktorat Jenderal Pajak sudah berbenah," kata Wakil Sekjen PBNU Sulton Fatoni di Jakarta, Kamis.

Sulton mengemukakan hal itu menanggapi penangkapan oknum pegawai pajak dari Kantor Wilayah Pajak Jakarta Timur oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap dari wajib pajak, Rabu (15/5).

Menurut Sulton, upaya menyelamatkan uang pajak di Direktorat Jenderal Pajak tidak cukup hanya mengandalkan sistem yang canggih dan memamerkan bahwa penerimaan pajak sudah langsung di Bank Indonesia.

"Kan sudah lama diketahui titik lemah dan celah yang dapat dimanfaatkan untuk korupsi. Lalu perbaikannya dimana?" kata Sulton.

PBNU menaruh perhatian besar terhadap persoalan pengelolaan pajak karena menilai pajak sebagai uang rakyat yang harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan dan dijaga dengan benar agar tidak diselewengkan atau digunakan oleh orang atau kelompok tertentu.

Bahkan, dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Cirebon, Jawa Barat, pada September 2012 muncul wacana untuk menolak pembayaran pajak jika pemerintah tidak bisa menjamin pemanfaatan dan pengamanan uang hasil pajak.

Secara resmi Munas dan Konbes NU itu akhirnya merekomendasikan kepada Pemerintah untuk lebih transparan dan bertanggung jawab terkait dengan penerimaan dan pengalokasian uang pajak, serta memastikan tidak ada kebocoran dan mengutamakan kemaslahatan warga negara terutama fakir miskin dalam penggunaan pajak.

PBNU akan mengkaji dan mempertimbangkan mengenai kemungkinan hilangnya kewajiban warga negara membayar pajak ketika pemerintah tidak dapat melaksanakan rekomendasi tersebut.

"Delapan bulan sudah rekomendasi Munas dan Konbes NU soal pajak itu diberikan kepada Presiden," kata Sulton.

Sulton mengatakan sampai saat ini PBNU terus mencermati perkembangan perbaikan di Ditjen Pajak, dan kasus penangkapan oknum aparat pajak oleh KPK akan menjadi catatan tersendiri.

"Pajak itu dana Allah untuk rakyat, bukan untuk oknum. Tentu kasus yang masih terus terulang ini jadi agenda penting bagi PBNU," katanya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan