Isnin, 22 April 2013

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Polri Usut Keterlibatan Oknum Polisi pada Kasus Penimbunan BBM

Posted: 22 Apr 2013 03:25 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com – Kepolisian juga mengusut dugaan keterlibatan oknum anggotanya dalam kasus penimbunan 45 ton bahan bakar minyak (BBM) jenis solar di Semarang, Jawa Tengah. Kepolisian telah menurunkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri untuk menyelidiki hal tersebut.

"Ini masih kita kembangkan. Propam sudah diturunkan kalau ada indikasi keterlibatan. Jadi semua informasi kita respon dan Propam mencari kebenaran info itu," ujar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Suhardi Alius di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (22/4/2013).

Namun menurut Suhardi, sejauh ini belum ada indikasi keterlibatan anggotanya. Tim Propam diturunkan untuk merespon tudingan masyarakat yang menyebutkan kegiatan penimbunan BBM tersebut dilindungi oleh oknum kepolisian setempat. Suharadi menegaskan, jika anggotanya terbukti terlibat akan ditindak tegas.

"Siapa pun, dari hulu yang terlibat, baik dari anggota dan sebagainya akan diperiksa, karena kalau tidak begini, akan terjadi lagi," terang Suhardi.

Sebelumnya tim Badan Reserse Kriminal Polri menyita 45 ton solar di tempat penimbunan bahan bakar minyak ilegal di Jalan Sawah Besar XII, Kelurahan Kaligawe, Kecamatan Gayamsari, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (16/4/2013). Dalam penggerebekan tersebut, polisi menangkap 5 tersangka.

Salah satu yang diamankan yakni SW alias P sebagai pemilik dan empat pekerjanya. Hasil penyelidikan sementara, BBM didapat dari PT Logam Mulia yang berlokasi di Desa Peleng Batang. Penampungan per hari mencapai 50 ton. Setelah itu BBM akan didistribusikan ke sejumlah industri di daerah Jawa Tengah.

"Jadi ada korelasi antara penimbunan BBM dan PT resmi yang mungkin bersertifikat dari Pertamina yang berlokasi di Desa Peleng Batang," kata Suhardi.

Suhardi menambahkan, tersangka memiliki izin transportir dan izin niaga terbatas atas nama PT Pontas Anugerah Khatulistiwa. Pengakuan tersangka, pembelian BBM seharga Rp 5.900 itu kemudian dijual dengan harga Rp 9.700 hingga Rp 10.000. Hal ini diduga telah berlangsung selama dua tahun. Pihak kepolisian, lanjut Suhardi, akan menelusuri distribusi BBM tersebut ke sejumlah tempat.

Tersangka dikenakan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas yaitu menyalahgunakan pengangkutan dengan ancaman pidana 6 tahun penjara dan denda paling tinggi Rp 60 miliar.

Perwakilan Masyarakat Aceh Sedih Hutannya Terancam

Posted: 22 Apr 2013 03:11 PM PDT

Perwakilan Masyarakat Aceh Sedih Hutannya Terancam

Penulis : Ariehta Eleison Sembiring | Senin, 22 April 2013 | 22:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Perwakilan masyarakat Aceh, Kabupaten Aceh Tamiang, Faisal, mengungkapkan kesedihannya karena hutan tempat mereka sering mencari nafkah terancam oleh perluasan area pertambangan dan perkebunan sawit. Tahun 2012, dia bersama anggota masyarakat lainnya dibantu akademisi dan lembaga swadaya masyarakat pernah melakukan inventarisasi pengurangan luas hutan.      

"Dari inventarisasi kami, ada 6.000 hektar hutan berubah menjadi kebun sawit. Selain itu, ditemukan 23 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tidak mengantongi izin dan enam lagi memiliki Hak Guna Usaha (HGU) namun menggunakan hutan melampaui luas hutan yang ditentukan dalam izin HGU," katanya dalam dialog Selamatkan Hutan Aceh yang diadakan untuk memperingati Hari Bumi, di Jakarta, Senin (22/4/2013).         

Ia bersedih mengingat masyarakat sering menerima ancaman dan kriminalisasi dari aparat keamanan ketika menuntut diberi hutan untuk berkebun. Faisal mengaku, masyarakat tidak menuntut untuk menguasai hutan yang sangat luas. "Kami hanya minta maksimal 1-2 hektar. Itu juga untuk berkebun konsumsi. Bukan untuk dialih-fungsikan. Tidak jarang kami dikriminalisasi," katanya.           

Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch Donal Fariz mengatakan, tidak heran jika masyarakat mendapat ancaman dari aparat keamanan. Menurutnya, legalisasi aktivitas ilegal di hutan dapat terjadi karena regulasi kehutanan yang tidak benar, izin yang diobral, dan aparat keamanan yang digunakan untuk mengamankan jalannya usaha ilegal di hutan.           

"Tidak perlu heran. Begitulah ilegalisasi berlangsung. Silang sengkarut yang dimulai dari regulasi untuk melegitimasi aktivitas yang merusak hutan. Kemudian, regulasi ini menjadi dasar diterbitkannya izin. Jika masyarakat melawan, dibuatlah stigma melawan hukum. Pastinya, aparat keamanan bergerak menindak mereka," katanya.  

Tiada ulasan:

Catat Ulasan