Ahad, 30 Disember 2012

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Tak Produktif, Anggota Dewan Tak Mampu Buat UU

Posted: 30 Dec 2012 06:57 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menduga anggota dewan tidak mampu membuat undang-undang. Sebab, menurut pengamatannya, selama tiga tahun terakhir wakil rakyat di Senayan itu sedikit membuat undang-undang.

"Itu juga dikuatkan dari undang-undang yang mereka buat yang mana dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Itu menguatkan dugaan selama ini kalau mereka memang tidak dapat membuat undang-undang," kata Lucius di kantornya, Jakarta, Minggu (30/12/2012).

Dalam pembuatan undang-undang, kata Lucius, anggota dewan telah kehilangan keberpihakan pada rakyat. Pasalnya, hampir semua undang-undang yang DPR sahkan bertentangan dengan konstitusi. MK sendiri telah mengamini hal itu dengan banyak menerima pengajuan uji materi penggugat undang-undang bentukan DPR.

"Dalam Prolegnas 2012 sendiri DPR mengajukan 10 undang-undang yang tidak sesuai dengan prioritas nasional. Prioritas nasional nomor satu adalah tata kelola pemerintahan tapi itu tidak ada dalam Prolegnas," katanya.

Lucius menyebut, hanya undang-undang pangan yang termasuk dalam prioritas nasional. Selebihnya, lanjutnya, tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat. Hal itu, terangnya, DPR telah kehilangan orientasi dalam membuat undang-undang.

"Mereka karena hal ini juga seperti robot-robot. Tidak punya semangat dan motivasi," katanya.

Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD sempat mengemukakan kualitas perundang undangan yang dibuat DPR menurun. Hal itu, katanya, dilihat dari jumlah perkara uji materi undang-undang yang dikabulkan MK sepanjang 2012.

Mahfud membeberkan, perkara uji materi yang dikabulkan MK selama tahun 2012 berjumlah 30 undang undang. Sementara itu, keseluruhan undang-undang yang diujimaterikan dalam kurun 2012 sebanyak 97. Seluruh pengujian undang-undang di MK terjadi sejak 2003 sampai 2012.

Mahfud memaparkan, sebanyak 11 persen undang-undang bermasalah dalam kurun waktu 2003 hingga 2012. Namun, jika persentase tahun 2012 berdiri sendiri, sebanyak 29 persen undang-undang bermasalah. "(UU dibatalkan MK) bervariasi; ada undang-undang yang tahun 2012, tapi ada yang tahun sebelumnya," kata Mahfud.

Editor :

Hertanto Soebijoto

DPR Kantongi Rapor Merah di 2012

Posted: 30 Dec 2012 06:41 AM PST

JAKARTA, KOMPAS.com - Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat mengantongi rapor merah sepanjang tahun 2012. Hal tersebut membuktikan kinerja lembaga legislatif tidak optimal dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Indikator buruknya kinerja lembaga legislatif tercermin dari empat aspek, yaitu kinerja legislasi, anggaran, pengawasan dan Badan Kehormatan.

Hal tersebut disampaikan oleh koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang dalam pemaparan evaluasi kinerja DPR tahun 2012 di kantornya, Jakarta, Minggu (30/12/2012).

"Kinerja pelaksanaan tiga fungsi utama yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan secara prosedural administratif berjalan. Namun, secara fungsional substansialnya mengalami kemerosotan bahkan cenderung merusak citra lembaga dewan," kata Sebastian.

Menurut Sebastian, kinerja legislasi buruk tercermin dari produktivitas dan kualitas undang-undang rendah. Target legislasi 2012 sebesar 64 RUU, terangnya, hanya 10 RUU yang merupakan prioritas tahun 2012. Pencapaian dari hal itu juga minim dengan 1 RUU dari prioritas 2012 sementara 9 RUU dibahas di tahun 2011.

"Empat undang-undang (UU Pemilu, UU APBN, UU Penanganan Konflik Sosial, dan UU Pendidikan Tinggi) dari pencapaian DPR di tahun 2012 juga telah digugat di Mahkamah Konstitusi karena mengandung sejumlah persoalan. Itu artinya secara kualitas buruk," ujarnya.

Sedangkan, aspek anggaran di DPR, menurut Sebastian, justru menjadi lahan korupsi. Hal itu, katanya, terlihat dari kinerja DPR yang berhasil mendorong tambahan penerimaan negara APBN 2012 kurang lebih Rp 18 triliun. Namun, anggaran tersebut tidak untuk menambah belanja publik tetapi untuk belanja rutin pemerintah pusat.

"Politik anggaran yang dijalankan DPR masih berorientasi pada proyek dan kepentingan sendiri serta pemerintah," katanya.

Sebastian mengatakan, politik anggaran tersebut mengakibatkan wakil rakyat terlibat korupsi. Selama 2012, ada empat wakil rakyat yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi, yaitu Angelina Sondakh dari Fraksi Demokrat, Wa Ode Nurhayati dari Fraksi PAN, Emis Moeis dari Fraksi PDIP, dan Zulkarnaen Djabar dari Fraksi Golkar. Hal tersebut memperjelas bahwa praktik politik anggaran di DPR dimanfaatkan untuk memperkaya diri dan kroni.

"Masih banyak anggota dewan yang diduga terlibat korupsi, ada yang dipanggil KPK dan namanya disebut oleh sejumlah saksi. Namun status mereka belum jelas," katanya.

Sedangkan, dalam aspek pengawasan terlihat DPR bekerja dengan tidak efektif. Menurut Sebastian, pengawasan pelaksanaan perundangan dan penggunaan keuangan negera jauh dari harapan. Hal itu terlihat dari banyaknya kasus korupsi pengawasan penggunaan anggaran negara. Terbongkarnya kasus korupsi itu bukan oleh kinerja DPR namun KPK.

Selain itu, DPR sepanjang tahun 2012 tidak menggunakan hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Padahal, hak itu adalah hal penting dalam mengawasi kinerja pemerintah. "Itu membuktikan perangkat pengawasan yang digunakan tidak mencapai 50 persen. Bahkan, tidak berhasil sampai tuntas dan berakhir tidak jelas," katanya.

Sementara, mengenai kinerja BK sendiri dinilainya tidak tegas. Sepanjang tahun 2012, DPR banyak disorot publik karena dugaan pelanggaran etika wakil rakyat. BK, lanjutnya, memberikan sanksi ringan dan tidak memiliki efek jera.

"Bahkan BK banyak yang menilai membela rekan sejawat. Namun intinya, BK belum efektif menegakkan citra dan kehormatan DPR," katanya.

Sebastian menyarankan, pada 2013 nanti DPR harus lebih efektif menjalankan keempat aspek tersebut. Dalam aspek lagislasi, DPR harus mengevaluasi secara serius dan komprehensif Program Legilasi Nasional (Prolegnas). Menurut dia, Prolegnas harus mengutamakan perundangan yang berpihak pada rakyat dan tidak terjebak pada keinginan legislatif maupun eksekutif sendiri.

"Agar efisien dan efektif, proses pembahasan RUU langsung dibahas oleh komisi terkait tanpa harus melalui proses pembahasan di Baleg yang memakan waktu, energi dan biaya yang sangat besar," ujarnya.

Dalam peran pengawasan, menurut Sebastian, DPR perlu membuat indikator yang jelas menilai kinerja pemerintah. Hal tersebut untuk mencegah praktik korupsi di DPR dan Pemerintah. Sementara, BK menurutnya harus lebih tegas. Sanksi berat harus dijatuhkan pada wakil rakyat yang melanggar etika dan perundangan.

Editor :

Hertanto Soebijoto

Tiada ulasan:

Catat Ulasan