Khamis, 14 Jun 2012

Republika Online

Republika Online


Inilah Mereka yang Dilarang Jadi Vegetarian

Posted: 14 Jun 2012 07:44 PM PDT

REPUBLIKA.CO.ID,  Gaya hidup vegetarian atau tidak mengonsumsi bahan-bahan makanan yang berasal dari hewan kini sedang menjadi tren. Untuk beberapa kondisi tertentu, menurut ahli gizi dari departemen gizi masyarakat IPB, Prof dr Hardinsyah, vegetarian dibolehkan.

Vegetarian, menurutnya, bisa diterapkan untuk orang-orang yang mengalami kelainan dalam pencernaan, atau menderita penyakit tertentu sehingga tidak disarankan mengonsumsi bahan hewani.

Namun, untuk kondisi lain, menjadi vegan, yaitu orang yang tidak mengonsumsi bahan hewani, tidak disarankan. ''Terutama dalam masa pertumbuhan,'' ujarnya.

Dalam masa pertumbuhan, ada kandungan dari protein hewani yang sangat diperlukan oleh tubuh, yaitu vitamin B12. ''Vitamin ini sama sekali tidak bisa ditemukan di bahan nabati,'' ujarnya.

Jika kekurangan vitamin B12 ini, tubuh tidak akan bisa tumbuh secara maksimal. Padahal tubuh hanya punya kemampuan untuk tumbuh hingga manusia beranjak remaja.

''Jika  sekarang ini banyak anak-anak yang vegetarian, itu sangat salah kaprah,'' katanya. Karena jika tubuh sudah tidak mengalami pertumbuhan lagi, asupan vitamin B12 sebanyak apapun tidak akan terlalu bermanfaat lagi.

Kalangan yang menurutnya sangat dilarang menjadi vegetarian ini, menurutnya adalah anak-anak, remaja, ibu hamil, juga calon ibu hamil. ''Jika ibu hamil kekurangan vitamin B12, anaknya juga tidak akan tumbuh maksimal,'' paparnya.

Anak Sering Ngamuk, Ini Dia Pendekatan yang Tepat (2)

Posted: 14 Jun 2012 06:46 PM PDT

REPUBLIKA.CO.ID, Perasaan yang tidak terekspresikan dan tidak ditanggapi dengan empati bersamaan perjalanan waktu akan tersimpan dalam tubuh dalam bentuk ketegangan. Ketegangan melindungi anak dari luka di hati, tapi sekaligus juga mencegah kemampuannya untuk merasakan cinta dan kegembiraan.

Ketika anak menahan perasaannya, ia akan membutuhkan dukungan lain selain empati. Yakni, bantuan mengekspresikan perasaan itu. Membantu anak menangis atau mengeluarkan amarahnya memungkinkan tubuhnya melepas ketegangan otot dan stres. Mekanisme pelepasan stres secara alamiah ini diteliti dan diungkap Aletha Solter PhD dalam tiga bukunya: The Aware Baby, Tears and Tantrums, dan Helping Young Children Flourish.

Ketika kita dekat dengan anak yang melindungi dirinya dari perasaannya, kata Rose, kedekatan itu menghubungkan anak dengan rasa sakit hatinya. Ia mengutip saran psikolog John Breeding. Berusahalah menjalin kedekatan. Ini khususnya penting bagi anak laki-laki (yang) tak mau didekati dan mengasingkan diri dalam tekanan yang mereka hadapi. Biarkan mereka menunjukkan rasa terluka mereka. Tapi, jangan pernah percaya bahwa mereka tak ingin kedekatan. Mereka ingin, sangat ingin! Teruslah berusaha.

Karena itu, saran Rose, bila kita mendekati anak dan hanya mendengar penolakannya, itu hanya menunjukkan satu arti, kebutuhan untuk kedekatan dengan ayah bunda dan penyembuhan luka hatinya mungkin belum nyambung.

Sejumlah masalah sebenarnya bisa terdeteksi dari perilaku anak. Rose menyebut, di antaranya anak lengket yang berlebihan kepada ayah atau ibunya, merengek, agresif, atau menolak didekati. Gejala itu menunjukkan kebutuhan anak untuk melepaskan emosi. Alih-alih langsung menyelesaikan masalahnya, Rose menyarankan ayah bunda membiarkan anak mengungkapkan perasaannya dengan cara aman yang bisa diterima. 

 Mengantisipasi Luapan Emosi

Bilakah saatnya anak ingin menangis atau marah? Anak perlu melepaskan perasaan tertekan dan terlukanya setelah: 

Hari yang meletihkan atau merangsang emosinya.

Konflik dengan anak lain atau anggota keluarga.

Perceraian orang tuanya.

Pernikahan kembali orang tuanya.

Pindah ke rumah atau sekolah baru.

Kelahiran adik, dan melihat peristiwa menakutkan di TV atau dalam kehidupan nyata.

Semakin kecil anak, semakin banyak rangsangan itu memengaruhinya, semakin besar pula kebutuhannya mengungkap perasaannya melalui tangis, amarah, atau tawa. 

Tiada ulasan:

Catat Ulasan