Khamis, 17 Mac 2011

KOMPAS.com - Internasional

KOMPAS.com - Internasional


Suara Memanggil-manggil Itu Lenyap

Posted: 18 Mar 2011 02:03 AM PDT

DI pelabuhan perikanan Ofunato yang porak poranda, jarak setiap jengkal besar artinya. Tanyakan saja kepada Masako Sawasato. Rumahnya sama sekali tak disentuh oleh tsunami raksasa yang menghancurkan pesisir timur laut Jepang menyusul gempa terkuat di negara itu.

Namun, puing-puing dari rumah para tetangga bertumpuk tinggi di kebun sayurnya, hanya beberapa jengkal dari pintu rumahnya. "Rumah saya selamat sehingga keluarga saya bisa terus tinggal di sini. Namun, teman-teman saya sangat sulit untuk memulai kehidupan dari awal," kata Sawasato.

Ketika bencana menimpa pada Jumat (11/3), dia sedang berkendara, tetapi segera menyadari bahwa dia memerlukan rencana penyelamatan. "Gelombang laut ada di belakang saya dan lalu lintas macet sehingga saya keluar dari mobil dan lari," kata ibu setengah baya itu.

Suaminya, di rumah, menyaksikan dengan kengerian saat air yang bergelora maju ke arahnya. Air itu mencapai sisi rumah mereka, tetapi menjilat hanya beberapa sentimeter sebelum air surut.

Tiga jenazah ditemukan di dekat situ, salah satunya seorang perempuan lansia, sahabat Sawasato dan yang tidak bisa melarikan diri dari gelombang yang menerjang.

Lebih dari 600 orang dibawa ke rumah sakit di Ofunato sejak bencana. Dari jumlah itu, banyak di antaranya lansia yang cedera. Namun, yang dirawat di rumah sakit itu juga termasuk mereka yang jatuh sakit di pusat evakuasi.

Warga Ofunato mempunyai sekitar 13 menit untuk menyelamatkan diri dari gelombang besar itu—waktu yang lebih panjang dibanding tempat-tempat lain yang lebih dekat dengan pusat gempa. Namun, besar dan kecepatan gelombang membuat banyak orang tak sempat lari.

Tak terdengar lagi

Ketika gempa mengguncang hari Jumat di Tagajo, Masashi Imai memeluk sekuat tenaga kursi roda di mana istrinya yang cacat duduk. Rumah mereka bergoyang-goyang. Listrik padam.

Imai menyalakan radio dan mendengar peringatan itu. Kemudian datanglah tsunami itu. Imai mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke lantai atas rumah mereka.

"Ayah! Ayah!" teriak seorang gadis dari rumah tetangganya. Banyak tetangga Imai tak bisa menyelamatkan diri karena rumah mereka hanya satu lantai. Suara gadis itu tak terdengar lagi.

Dalam gempa terkuat yang pernah tercatat di Jepang itu, garis antara hidup dan mati terbukti sangat tipis—dalam kasus Imai hanya satu lantai. Bahkan, di zona bencana di pesisir timur laut, beberapa bangunan dan lingkungan selamat, sedangkan gedung dan lingkungan lain lenyap.

Pada Jumat itu, Ayumi Osuga sedang berlatih origami dengan tiga anaknya, berusia 2 sampai 6 tahun, di rumah mereka yang satu lantai di kota pesisir Sendai. Pada pukul 14.46, bumi mulai berguncang. Cangkir dan piring jatuh dari lemari dan pecah, tetapi kerusakan tampaknya kecil saja.

Kemudian suami Osuga menelepon. "Keluar dari situ sekarang!" teriaknya.

Karena peringatan dengan nada keras itu, pekerja pabrik berusia 24 tahun tersebut segera membawa anak-anaknya ke mobil. Osuga bergegas mengemudikan mobil ke sebuah rumah di puncak bukit milik keluarga suaminya dengan jarak 20 kilometer. Dia berhasil mengalahkan gelombang yang bergerak dengan kecepatan sebuah jumbo jet itu.

Hari Minggu, dia kembali bersama suami dan kerabatnya ke sebuah rumah yang sudah tidak ada lagi. Benda yang selamat, antara lain, hanya tiga pak popok. Dengan berlinang air mata, Osuga memasukkan popok itu ke ransel. Dia tahu dia beruntung bisa selamat. "Keluarga saya, anak-anak saya.... Saya menyadari apa yang penting dalam hidup," katanya.

Sementara itu, Imai, yang masih penuh emosi, berjalan bolak-balik sepanjang Sungai Sunaoshi yang mengalir melalui kota Tagajo. Sepatu botnya yang setinggi lutut menimbulkan bunyi setiap dia melangkah. Para korban selamat lain yang masih linglung menjelajahi jalan-jalan yang porak poranda.

Saat teringat tetangga-tetangganya yang lebih tua dan kemungkinan besar tewas di rumah mereka, Imai mencucurkan air mata. "Sungai ini telah memberi kami begitu banyak, tetapi pada Jumat itu dia membawa bencana," kata mantan pekerja hotel berusia 56 tahun itu. Beberapa hari lewat, dia masih merasa bumi berguncang. (AFP/AP/DI)

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Tsunami Itu Datang Sebelum Sakura Mekar

Posted: 18 Mar 2011 01:47 AM PDT

Oleh: Ahmad Arif

Suhu dua derajat di bawah nol. Tanpa listrik, tanpa pemanas ruangan. Namun, Sekolah Menengah Atas Torio, Kesennuma, Prefektur Miyagi, Jepang, yang dijadikan barak pengungsian itu terasa hangat oleh kasih dan rasa hormat kepada kemanusiaan yang tak mengenal batas suku, bangsa, dan agama.

Di antara harapan untuk segera pulang ke Tanah Air, terasa betul bahwa 33 remaja putri asal Indonesia yang menjadi korban tsunami itu berat meninggalkan Kesennuma.

Demikian juga sebaliknya, orang-orang Jepang di pengungsian seperti tak rela melepas kepergian anak-anak Indonesia. Beberapa di antara mereka naik ke bus penjemput dan menyalami anak-anak itu hingga saat terakhir sebelum keberangkatan. Bahkan, sebelumnya, penanggung jawab pengungsian meminta kepergian itu ditunda hingga keesokan paginya.

Setelah bernegosiasi sekitar sejam, Kepala Atase Pendidikan Budaya Kedutaan Besar RI di Jepang Edison Munaf akhirnya berhasil mengevakuasi para korban malam itu juga ke Tokyo. Anak-anak ini adalah lulusan sejumlah sekolah menengah kejuruan di Indonesia yang tengah magang sekaligus bekerja di empat perusahaan pengolahan hasil laut di Kesennuma.

Sebelum bus pergi, Mikasa-san, salah seorang pengungsi, menyerahkan kantong plastik penuh berisi roti kepada anak-anak itu sebagai bekal perjalanan menuju Tokyo sejauh sekitar 330 km dari Kesennuma.

"Mereka selalu baik kepada kami. Bahkan, tetap baik saat bencana," kata Marlina, remaja asal Brebes, Jawa Tengah, yang sudah 2,5 tahun tinggal dan bekerja di pabrik pengolahan telur ikan salmon di Kesennuma.

Menurut dia, orang-orang Jepang di Kesennuma sering menyambangi rumah kontrakan anak-anak Indonesia dan membagikan makan. "Kami bukan siapa-siapa, tetapi mereka menerima kami seperti saudara, bukan hanya melihat kami sebagai pendatang," katanya.

Bahkan, menurut rekan Marlina, Yulianti (19), asal Cirebon, pada hari pertama setelah gempa dan tsunami, ketika hanya tersisa sebuah jeruk di pengungsian, orang-orang Jepang itu membagi satu ruas jeruk untuk satu orang. "Tak peduli asli Jepang atau tidak. Semua mendapat bagian," kata Yulianti.

Karena itu, bagi Yulianti, bus jemputan itu terlalu cepat datangnya. "Kami belum sempat berpamitan dengan mereka semua," ucapnya.

Ketegaran yang menular

Kesennuma termasuk salah satu daerah yang terparah diamuk tsunami. Dari 75.000 warga, 20.000 orang di antaranya menjadi pengungsi. "Banyak korban di sini. Yang hilang masih 1.500 orang," kata Mikasa.

Selain rumah, pelabuhan dan pabrik-pabrik pengolahan hasil laut tempat magang ke-33 remaja putri asal Indonesia itu juga hancur. Perempuan Kesennuma itu mengisahkan bencana tersebut dengan tegar. Tak ada tangis ataupun keluh kesah. "Semua cukup di sini. Ada air, ada makanan. Hanya listrik yang padam," katanya.

Ketegaran itu menjalar pada remaja-remaja putri Indonesia. "Saya belajar banyak dari mereka, seperti kerja keras, disiplin, dan tak banyak mengeluh," kata Marlina.

Saat gempa mengguncang pada Jumat (11/3), Marlina dan kawan-kawannya tengah bekerja di pabrik sekitar 100 meter dari tepi laut. "Lima menit setelah gempa, ada peringatan akan ada tsunami 6 meter," kata Sofiah (21), asal Jepara, Jawa Tengah.

Segera para pekerja pabrik ini berlari ke arah bukit yang berada tepat di belakang pabrik. "Saat baru datang di Kesennuma, kami diajari apa yang harus dilakukan saat terjadi gempa dan tsunami," katanya.

Dari atas bukit itu, dia melihat pabrik tempatnya bekerja hancur dihantam tsunami. Demikian juga rumah kontrakan mereka luluh lantak, menghanyutkan seluruh barang pribadi mereka. "Kami beruntung di belakang pabrik ada bukit tinggi. Semua karyawan di pabrik selamat," ujarnya.

Marlina mengisahkan bencana yang nyaris merenggut nyawanya itu dengan tenang. Demikian juga Sofiah, yang terdengar sangat tenang saat menelepon pacarnya untuk pertama kali setelah gempa dan mengabarkan bahwa dia serta teman-temannya selamat.

"Semua barang pemberian 'Aa' hilang. Hanya yang tersisa di badan. Saya juga masih memakai seragam perusahaan dan sepatu bot," kata Sofiah kepada keluarganya di seberang telepon.

"Jadi, jangan kaget kalau nanti pulang kami masih pakai sepatu bot dan seragam kerja. Kami juga bau ikan. Tetapi, yang terpenting kami semua di sini selamat," tuturnya.

Namun, remaja-remaja ini sedikit resah dalam perjalanan di bus menuju Tokyo itu. Mereka mendiskusikan masa depan sekembali pulang ke Indonesia. "Di Indonesia ada pekerjaan apa, ya? Kami tidak mau hanya menunggu datang orang 'membawa lemari' (dilamar)," kata Irma (19), yang juga asal Jepara.

Yulianti menimpali, dia baru sembilan bulan, belum cukup mengirim uang ke rumahnya. "Belum ada modal untuk buka usaha sendiri. Maunya balik kembali ke sini nanti," ucapnya.

Apakah tidak takut terhadap gempa dan tsunami lagi? "Urusan gempa dan tsunami wallahualam (saya serahkan kepada Tuhan). Di Indonesia juga sama saja, banyak bencana," kata Yulianti.

Sakura di Kesennuma

Marlina, Sofiah, Yulianti, dan kawan-kawannya seharusnya menyelesaikan magang tiga tahun di Kesennuma. Marlina sedikit lebih beruntung karena telah menjalani 2,5 tahun di Kesennuma. Marlina dua kali melihat bunga sakura bermekaran. Banyak kawannya yang baru mengalami masa tinggal di Kesennuma dalam hitungan bulan dan itu yang membuat mereka sedikit "iri" kepada Marlina.

Misalnya, Fida Aisyah (19) dan Irma (19), yang baru tinggal di Kesennuma sembilan bulan. Mereka termasuk yang menyesal karena belum pernah melihat bunga sakura bermekaran. "Saya belum berfoto di bawah pohon sakura," kata salah seorang di antara mereka.

Tahun ini, sakura belum lagi mekar di Kesennuma. Salju masih menyelimuti sebagian besar daratan Jepang bagian utara. Namun, sebentar lagi salju itu sepertinya akan meleleh. Setidaknya malam itu, kehangatan suasana telah melelehkan rasa dingin yang membekukan. Andai "sakura" bisa bermekaran di Indonesia, tentu remaja-remaja putri itu tak akan jauh-jauh datang ke Kesennuma....

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan