Selasa, 15 Februari 2011

ANTARA - Hiburan

ANTARA - Hiburan


Pejabat Sewot Nama Daerahnya Dipakai Judul Film

Posted: 15 Feb 2011 06:02 AM PST

Demi Allah saya tidak mengetahui penggunaan nama Karawang pada judul film itu

Berita Terkait

Karawang (ANTARA News) - Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Acep Jamhuri, bersumpah tidak pernah memberikan izin penggunaan nama "Karawang" untuk film "Arwah Goyang Karawang".

Sumpah itu disampaikan Acep di depan para seniman jaipong, ormas, LSM, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan para anggota organisasi perempuan, menyusul ada kecurigaan kalau pihaknya telah mengizinkan penggunaan nama "Karawang" pada judul film tersebut.

"Demi Allah saya tidak mengetahui penggunaan nama Karawang pada judul film itu," katanya di sela pembahasan strategi penolakan peredaran film "Arwah Goyang Karawang", Selasa.

Dia mengatakan, pemerintah daerah serius menolak peredaran film yang dibintangi Dewi Persik dan Julia Perez itu, karena pembuat film itu telah "mencatut" nama "Karawang" dan tari jaipong.

Dia berjanji untuk mengkaji secara hukum pencatutan nama "Karawang" dan tari jaipong itu, termasuk menghadirkan praktisi dan akademisi hukum.

Pencatutan nama "Karawang" pada judul film tersebut dikhawatirkan membuat citra Karawang menjadi negatif.

Ketua LSM Lodaya Karawang, Nace Permana, mengaku masih mencurigai pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Karawang yang mengetahui penggunaan nama "Karawang" pada judul film yang dirilis10 Februari 2011 itu.

"Karena menurut kabar, ada pengambilan gambar di salah satu grup jaipong di Karawang beberapa bulan lalu," kata Nace.

Dia setuju peredaran film "Arwah Goyang Karawang" itu ditolak karena akan membuat citra negatif terhadap Karawang. (*)

KR-MAK/J006

Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Pentas Ngelawang di Bali Hampir Punah

Posted: 14 Feb 2011 09:01 PM PST

Foto Dokumentasi memperlihatkan sejumlah bocah melakukan tradisi "Ngelawang" (mementaskan barong keliling desa) di kawasan Ubud, Gianyar, Bali, Kamis (24/1). Tradisi yang semakin jarang dijumpai itu biasanya dilakukan pada hari-hari besar agama Hindu, seperti Galungan dan Kuningan. ( ANTARA/Ismar Patrizki/ama/08.)

Penduduk yang dapat memungut bulu-bulu Barong atau Rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah

Berita Terkait

Video Terkait

Denpasar (ANTARA News) - Eksotisme  pentas seni komunal, Ngelawang, yang dulu dapat disimak dalam rangkaian hari suci Galungan, hari kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) di Bali secara perlahan-lahan jumlahnya berkurang, bahkan hampir punah.

"Pentas seni nomaden yang dikenal dengan ngelawang pada era 1970-an, memang pernah mengkristal menjadi peristiwa kesenian yang mewarnai Galungan selama sepuluh hari hingga ritual Kuningan," kata Dosen Program Studi Seni Kerawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Kadek Suartaya, SS Kar, MSi di Denpasar, Selasa.

Ia mengatakan, dalam beberapa tahun belakangan ini, pertunjukan keliling yang menyuguhkan puspa ragam seni tradisi Bali itu telah digerus perubahan zaman.

"Begitu sulit memergoki sekaa-sekaa seni pertunjukan tampil penuh keintiman di tengah masyarakat, walaupun ada anak dilakukan oleh-anak usia sekolah dasar (SD) di wilayah lingkungannya masing-masing," ujar Kadek Suartaya.

Kadek menjelaskan, Ngelawang memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya ngelawang adalah sebuah ritus sakral magis yang disangga oleh psiko-relegi yang kuat.

Benda-benda keramat seperti Barong dan Rangda misalnya diusung ke luar pura berkeliling dalam lingkungan banjar atau desa yang dimaknai sebagai bentuk perlindungan secara niskala kepada seluruh masyarakat.

"Kehadiran benda-benda yang disucikan itu ditunggu dan disongsong dengan takzim oleh komunitasnya. Penduduk yang dapat memungut bulu-bulu Barong atau Rangda yang tercecer, dengan penuh keyakinan, menjadikannya obat mujarab atau jimat bertuah," ujar Suartaya.

Ia menjelaskan, tradisi ngelawang dalam konteks sakral magis sebagai persembahan penolak bala itu juga bermakna sama pada pentas ngelawang Galungan.

Namun,  dalam perjalanannya, masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya ngelawang mengusung benda-benda tiruannya pun dibuat menjadikan  ngelawang sebagai tontonan.

Dalam tradisi ngelawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni balih-balihan seperti arja, janger, atau joged juga dapat disaksikan masyarakat sebagai hiburan. Masyarakat yang haus hiburan menstimulasi pentas ngelawang menjadi wahana berkesenian yang konstruktif dan apresiatif.

Sebagai seni tontonan, ngelawang menurut Suartaya adalah suguhan seni pentas yang serius, namun santai.

Untuk mengapresiasinya penonton tidak harus duduk kaku, namun bisa jongkok, berdiri atau bergelayutan, bersentuhan dan bergesekan sembari menikmati alam bebas.

Hampir tak ada jarak antara pelaku seni dengan penonton, semua lebur dan menyatu. Kehadiran seni pentas ini tidak terikat oleh tempat, ruang dan waktu. Pertunjukan tari Topeng misalnya bisa terjadi di bawah pohon besar yang rindang, pementasan Barong bisa digelar di tepi sungai, drama tari arja bisa hadir di jalan umum , bahkan di tengah keramaian pasar.

"Atmosfer pentas seni tontonan nan komunal kini telah sayup-sayup. Begitu pula ngelawang dalam konteks sakral-magis agaknya semakin redup. Pada tahun 1970-an, aura magis ngelawang itu masih berbinar. Rumah-rumah penduduk sekonyong-konyong didatangi misalnya oleh Barong Kedingkling. Figur-figur topeng yang bersumber dari cerita pewayangan Ramayana ini disongsong dengan antusias oleh seisi rumah," ujarnya.

Diawali dengan sepotong tembang, misalnya tokoh punakawan Malen dan Merdah, lalu disusul tokoh Subali dan Sugriwa menari semenit dua menit di halaman merajan, tempat suci keluarga. Kendati singkat, umumnya masyarakat senang dan percaya aura ritual-magis yang dipancarkan ngelawang Galungan itu akan memberikan keselamatan dan perlindungan.

Hasrat hidup damai dan terlindung dari segala bencana tersebut itulah kiranya yang menjadi akar ngelawang. Diduga, ngelawang berkiblat dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa. Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan waktunya, harmoni terguncang.

Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Sadar dari khilaf, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk menenangkan dan menenteramkan kembali seisi alam.

Setiba di bumi, para dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat kasih pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai.

"Makna ruwatan dalam mitologi Siwa Tatwa tersebut juga senafas dengan kandungan tolak bala dalam legenda hancurnya keangkaramurkaan Mayadanawa yang kemudian disyukuri atau jadi pijakan awal Galungan, perayaan kemenangan dharma atas adharma," tutur Kadek Suartaya.
(I006/E001)

Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan