Jumaat, 15 Jun 2012

Republika Online

Republika Online


Protes, Warga Lokal Duduki Lokasi Bendungan Brasil

Posted: 15 Jun 2012 11:24 PM PDT

REPUBLIKA.CO.ID, RIO DE JANEIRO - Sekitar 300 warga pribumi dan para aktivis lingkungan hidup Jumat menduduki lokasi bangunan satu pembangkit listrik tenaga air di Sungai Xingu. Sungai itu ialah salah satu anak sungai Amazon Brazil, kata para penyelanggara protes.

Unjuk rasa di bendungan Belo Monte bertujuan untuk mendapat perhatian dari konferensi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro. "Kami menyeru dunia uuntuk membiarkan sungai kami hidup," kata Antonio Melo, ketua Gerakan Hidup Abadi Sungai Xingu, dalam satu pernyataan.

Para pemrotes mengatakan mereka menggali satu terusan di lokasi konstruksi itu dengan menggunakan sekop-sekop dan cangkul-cangkul untuk memulihkan secara simbolis arus alami sungai itu. Sementara beberapa orang menggunakan tubuh-tubuh mereka untuk menyampaikan satu pesan bertuliskan "Pare Belo Monte" (Hentikan Belo Monte).

Bendungan terbesar ketiga di dunia itu, dengan daya listrik 11.200 megawat, adalah salah satu dari beberapa pusat listrik tenaga air (PLTA) yang dibiayai Brazil untuk membantu energi bersih bagi ekonomi yang bertumbuh pesat.

Pekerjaan dimulai setahun lalu, kendatipun ada penentangan keras dari penduduk lokal dan para aktivis lingkungan hidup. Kelompok-kelompok warga pribumi khawatir bendungan itu akan merusak jalan hidup mereka sementara para pencinta lingkungan hidup memperingatkan bahwa proyek itu akan mengakibatkan penggundulan hutan, emisi-emisi rumah kaca dan kehancuran yang tidak dapat diperbaiki pada ekosistem.

Belo Monte diperkirakan akan menggenangi satu daerah seluas 500 kilometer persegi di sepanjang Sungai Xingu dan menyebabkan sekitar 16.000 orang, kata pemerintah, kendatipun beberapa lembaga swadaya masyarakat menyebutkan setidaknya 40.000 orang, terlantar.

Konferensi PBB itu, yang dibuka Rabu dan akan mencapai puncaknya dalam satu KTT yang akan dihadiri 116 pemimpin dunia pada 20-22 Juni.

Batik dan Perjuangan Pedagang Muslim (1)

Posted: 15 Jun 2012 11:19 PM PDT

REPUBLIKA.CO.ID, Secara filosofis, motif batik memiliki fungsi dan kegunaan masing-masing sesuai dengan kebudayaan daerah di mana motif tersebut muncul dan berkembang. Termasuk batik Jawa yang menyebar dan mengalami perkembangan di berbagai daerah di Indonesia, pada akhirnya memiliki nilai filosofis yang beragam.

Di Surakarta dan Yogyakarta, motif batik berhubungan dengan makna filosofis dalam kebudayaan Hindu-Jawa dan juga Budha-Jawa. Yuni Sugandini dalam "Batik Warisan Budaya Indonesia yang Bernilai Luhur" (museumtekstiljakarta.com) menuliskan, beberapa motif dianggap sakral dan hanya dipakai di lingkungan Keraton dan pada kesempatan tertentu.

Motif sida mukti (yang secara harfiah berarti "menjadi berkecukupan") dan motif wahyu tumurun (turunnya wahyu) misalnya, digunakan hanya pada upacara jumenengan (perayaan ulang tahun naik tahta). Motif parang yang bernuansa ramai dipakai pada saat pesta atau perayaan. Sedangkan untuk melayat, digunakan warna yang lebih lembut yaitu motif kawung.

Selain pengaruh agama masyarakat lokal, batik juga mendapat pengaruh dari luar. Motif megamendung adalah contoh motif batik Cirebon yang mendapat pengaruh dari Cina. Konon, budaya Cina tersebut dibawa oleh Ratu Ong Tien yang menikah dengan Sunan Gunung Jati pada abad ke-16 M.

Selain semua kebudayaan tersebut, dalam perkembangannya batik juga menerima pengaruh yang besar dari Islam. Menurut Komaruddin dan Putut (2008), batik Indonesia merupakan hasil interaksi dari sedikitnya tiga macam etnik di Indonesia, serta melalui perdagangan dan aktivitas penyebaran agama Hindu, Budha, dan Islam.

Andil Islam pada seni budaya batik Indonesia terutama terjadi di Pulau Jawa. Banyak di antara daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri. Misalnya daerah Tegalsari, Ponorogo, di mana sebuah pesantren yang diasuh Kiai Hasan Bisri berada.

Kiai yang dikenal dengan sebutan Kiai Agung Tegalsari itu kemudian menjadi menantu raja Keraton Solo. Kepergian putri Keraton Solo mengikuti sang Kiai ke Ponorogo bersama sejumlah pengiringnya akhirnya membawa batik keluar dari lingkungan Keraton. Sehingga berkembanglah batik di lingkungan tersebut.

Selain itu, berkembang pula batik pesisiran yang berkembang di daerah pelabuhan seperti Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Pacitan, Ponorogo, Tulungagung, Blitar, dan Kediri yang terletak agak terpencil di sepanjang pantai Tenggara Jawa (Oss [1996] dalam Komaruddin dan Putut [2008]).

Tiada ulasan:

Catat Ulasan