Ahad, 18 September 2011

Republika Online

Republika Online


Polka Dots Kembali Jadi Tren, Tapi Tahukah Anda darimana Kata Itu Berasal?

Posted: 18 Sep 2011 06:03 PM PDT

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Motif polka dot mengalami kebangkitan besar dalam lingkaran mode. Tak hanya pada pakaian, motif bintik-bointik itu juga ditemui di dompet, celana, bahkan sepatu.

"Ada dua hal yang terjadi sekarang dalam budaya pop yang memberikan ruang kembali bagi polka dot," kata Mary Alice Stephenson, pengamat mode New York. "Pertama adalah Katy Perry dan yang kedua adalah 'Mad Men."

Ketika penyanyi Perry difoto menuju sebuah acara di sebuah rok polkadot biru tua, yang dipadankannya dengan bros mawar dan ikat pinggang tipis, katanya, disitulah era kembalinya polka dot dimulai. Banyak publik figur tampil dengan balutan busana itu, tak terkecuali ibu negara AS,  Michelle Obama. Ia mengenakan gaun lengan panjang polka dot selama wawancara dengan Matt Laurer pada "Today Show," dan langsung menghiasi berita utama industri fashion.

Kapan pertama kali istilah polka dot untuk motif bintik-bintik pada kain mengemuka? Menurut situs e-How, istilah polka dot pertama kali terlihat di majalah-majalah Amerika sekitar tahun 1800-an, nama sebuah tarian Eropa Timur yang populer pada saat itu.

Polka dot dengan cepat menyebar dalam revolusi budaya pop. Seabad kemudian, polka dot sudah menyerbu dan 'menginfeksi' siapa saja, mulai dari Minnie Mouse hingga Frank Sinatra yang pada 1940 mengangkat judul Polka Dots and Moonbeams. Polka Dot kembali menjadi tren tahun 1950-an. Saat  Brian Hyland pada tahun 1960 meluncurkan hits-nya berjudul "Itsy Bitsy Teeny Weeny Yellow Polka Dot Bikini", motif ini kembali mengemuka.

Tentu saja, seperti apapun dalam budaya populer, selalu ada update dan perbaikan dari tren masa lalu. Polka dot hari ini adalah gema kenangan kolektif dari berbagai era dalam sejarah mode.

"Ketika saya memikirkan polka dot saya terutama memikirkan pakaian dari tahun 1930, 1940, dan 1950-an," kata Wanda Soileau, pemilik Playclothes, sebuah butik vintage di Burbank, California, yang mengkhususkan diri dalam koleksi pakaian dari tahun 1940-1960-an. "Kini Anda hanya perlu mencari cara untuk membuatnya tampil lebih segar, bersenang-senang dengan tren, dan membuat sejarah sendiri," ujarnya.

Anak Sekolah di Indonesia Kurang Gizi

Posted: 18 Sep 2011 01:04 AM PDT

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Jajanan anak sekolah Indonesia ternyata kurang memperoleh perhatian. Baik dari orang tua maupun lingkungan sekitar.

"Karena perhatian masyarakat untuk kebutuhan gizi lebih tercurah pada bayi, balita, dan ibu hamil," kata DR Saptawati Bardosono M.Sc dari Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) Jaya, Ahad (18/9).

Menurutnya, pertumbuhan fisik anak sekolah terutama SD, memang cenderung terlihat lambat. Padahal tetap dibutuhkan zat gizi lengkap untuk belajar, sekolah, dan bermain. "Zat gizi lengkap juga dibutuhkan untuk perlindungan dari penyakit. Anak usia sekolah yang kurang pemenuhan gizinya menjadi kurus, pendek, tidak aktif bergerak," jelasnya.

Data dari Riskesdas 2007 menunjukkan, sebesar 35 persen anak usia Sekolah Dasar (SD) pendek. Hal ini berarti pada usia enam sampai 12 tahun, tiga dari 10 anak SD pendek. "Sepuluh sampai 20 tahun kemudian, anak-anak ini beresiko lebih tinggi terkena diabetes, kolesterol, maupun darah tinggi. Karena dengan lebih pendek menjadi mudah gemuk," ujarnya.

Selain itu, anak usia SD juga cenderung kurus. Jika pada usia SD sudah kurus, maka cenderung tidak ada perubahan sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Tubuh yang lebih kurus mengindikasikan asupan gizi yang kurang. Akibatnya, anak menjadi tidak aktif bergerak.

Menurut data Riskesdas 2010, sekitar 70 persen anak usia sekolah kurang mendapat asumsi energi yang dibutuhkan. Anak usia sekolah juga mengkonsumsi protein kurang dari yang dibutuhkan. Prosentase kurang protein kira-kira 80 persen.

Asupan gizi yang kurang mengakibatkan penyerapan ilmu selama sekolah tidak maksimal. Anak menjadi susah konsentrasi, cenderung malas, sering menguap, dan tidak kreatif mencari pemecahan masalah. "Kondisi ini tentu harus segera diperbaiki. Jika tidak, masa depan cerah yang ingin dicapai Indonesia masih harus dipertanyakan," tegas Saptawati.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan