Selasa, 11 Jun 2013

ANTARA - Peristiwa

ANTARA - Peristiwa


Kadin: pembangunan jalan nasional diduga tak sesuai bestek

Posted: 11 Jun 2013 07:05 AM PDT

Pandeglang (ANTARA News) - Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kabupaten Pandeglang, Banten, Sebatul Hamdi menduga pembangunan jalan nasional di daerah tersebut tidak sesuai dengan bestek.

"Dari pantauan kita, pekerjaan hotmix jalan nasional yang berlokasi di Kampung Kadumerak hingga Picung tidak sesuai bestek," katanya di Pandeglang, Selasa.

Terkait dengan temuan itu, ia mengharapkan pemerintah daerah dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Banten segera melakukan evaluasi terhadap pekerjaan dan audit pada penggunaan anggaran pembangunan infrastruktur tersebut.

"Jika tidak ada tanggapan dari pemerintah daerah dan BPK, kita segera membuat laporan pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," ujarnya.

Menurut dia, berbagai pelaksanaan pembangunan infrastruktur jalan yang ada di wilayah Kabupaten Pandeglang, baik jalan kabupatan, provinsi maupun nasional harus dilakukan pengawasan oleh berbagai pihak, agar anggaran negara yang telah dialokasikan terserap dengan baik.

Ia menjelaskan, hotmix jalan nasional yang diduga tidak sesuai dengan bestek berlokasi di jalur jalan Ahmad Yani-Kadu Merak sampai jalan Raya Labuan-Cikupa tersebut anggarannya cukup besar dan dikerjakan PT. Farhan Banten Kontraktor.

"Kami meminta pihak BPK untuk melakukan audit dan turun ke lapangan, begitu juga dengan pihak dinas teknis harus benar-benar melakukan pengawasan," ujarnya.

Dijelaskannya, dalam proses pengerjaannya di lokasi tersebut tak terlihat sepotong pun petunjuk papan nama proyeknya, sehingga masyarakat tidak mengetahui alokasi anggaran serta pelaksana dari pekerjaan tersebut.

"Ketiadaan papan proyek tersebut juga sudah merupakan pelanggaran terhadap Keppres No. 70 tahun 2012, yang di dalamnya mengatur kewajian pelaksana proyek memasang plang papan nama proyek," ujarnya.

Dalam pekerjaan fisik, kata dia, ketebalan hotmix tidak mencapai 10 centimeter dan itu jelas tidak sesuai dengan bistek, karena seharusnya ketebalan berkisar 10-15 centimeter.  (S031/KWR)

Laksamana Sukardi dimintai keterangan terkait BLBI

Posted: 11 Jun 2013 06:41 AM PDT

Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi dimintai keterangan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan obligor atau pengutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Tadi ada masalah tentang obligor BLBI, jadi lebih banyak ditanya tentang sidang kabinet," katanya seusai pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Selasa malam.

Laksamana dimintai keterangannya oleh penyidik KPK guna penyelidikan pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Laksamana menjelaskan bahwa dia banyak dicecar pertanyaan seputar sidang kabinet yang memutuskan untuk memberikan kepastian hukum para obligor yang menerima SKL, karena Laksamana dianggap dapat membantu memberikan klarifikasi mengingat dia turut hadir dan mengikuti sidang itu.

"Tapi kan yang ikut sidang banyak, bukan hanya saya saja jadi yang lain juga akan ikut dimintai keterangan," jelas dia.

Dalam kasus ini, KPK sebelumnya juga meminta keterangan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 dan mantan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie.

KPK pada 2008 telah membentuk empat tim khusus untuk menyelesaikan kasus BLBI yang sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Salah satu tim bertugas untuk menangani perkara yang dihentikan kejaksaan karena telah menerima SKL, termasuk kasus Sjamsul Nursalim yaitu mantan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mempunyai utang sebesar Rp28,4 triliun.

Juru Bicara KPK Johan Budi menjelaskan pengusutan pemberian SKL pada kasus BLBI ini merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan kasus tersebut disamping pengusutan tindak pidana kasus ini dan perihal pengembalian aset.

"Ini beberapa hal yang diselidiki oleh KPK adalah berkaitan dengan kewajiban si penerima SKL itu," ujar Johan di gedung KPK Jakarta, pada Selasa.

Johan menjelaskan bahwa menurut KPK ada beberapa perihal yang perlu diselidiki terutama perihal kewajiban penerima SKL sudah sesuai atau belum, sehingga perlu diselidiki karena dicurigai ada dugaan tindak pidana korupsi.

"Namun belum ada kesimpulan sampai ke situ," jelas Johan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.

Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-Djakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Kwik dalam pemeriksaan di kejaksaan, mengaku dalam setiap rapat kabinet ia selalu memprotes rencana penerbitan SKL tapi kalah dengan menteri lain.

Alasannya menolak penerbitan SKL adalah karena ada campur tangan International Monetary Fund (IMF) terkait penyelesaian BLBI sehingga berdampak pada proses penjualan aset bekas pengutang BLBI yang tergesa-gesa, bahkan tanpa tender, misalnya, kejanggalan penjualan Bank BCA pada 2004.

Kwik mengatakan, penjualan BCA disebabkan Salim tidak mampu melunasi BLBI Rp53 triliun, BCA termasuk salah satu dari 108 aset Salim yang diserahkan yang saat dijual hanya laku Rp20 triliun karena proses penjualan BCA lebih banyak ditekan IMF.

Proses penjualan dilaksanakan tanpa tender dan calon pembeli BCA sudah ditunjuk yaitu lembaga keuangan Farallon dan Standard Chartered padahal selang tiga tahun kemudian aset BCA meningkat berkali-kali lipat.

Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara, namun baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.

Dari 16 orang tersebut, tiga terdakwa dibebaskan pengadilan, 13 orang yang yang telah divonis hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara, dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke penjara dan sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri. (M048/R021)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan