Isnin, 13 Februari 2012

KOMPAS.com - Nasional

KOMPAS.com - Nasional


Kubu Antasari Kecewa Novum Tidak Dipertimbangkan MA

Posted: 13 Feb 2012 12:08 PM PST

Kubu Antasari Kecewa Novum Tidak Dipertimbangkan MA

| Tri Wahono | Senin, 13 Februari 2012 | 23:24 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Kuasa hukum mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, Maqdir Ismail, kecewa terhadap Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) kliennya. Kekecewaan Maqdir lantaran MA seakan tidak mempertimbangkan novum (bukti baru) yang diajukan pihaknya saat mengajukan PK.

"Saya kecewa, argumen mereka apa? Karena ada beberapa novum mengenai foto almarhum (Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran). Ketika dilakukan forensik, dan dihadirkan di persidangan foto mobil, bisa kita lihat bekas tembakan pada mobil vertikal dari atas ke bawah. Sementara luka pada korban horizontal," ujar Maqdir, Senin (13/2/2012).

Novum lainnya yang diajukan pihaknya, terang Maqdir, adalah mengenai anak peluru yang menewaskan Nasrudin. "Mengenai anak peluru, di pengadilan seolah dua anak peluru dari satu senjata. Kami hadirkan ahli balistik, itu ternyata dari dua senjata yang berbeda. Apa itu dipertimbangkan atau tidak?" tanya Maqdir.

Kendati demikian, pihaknya menyatakan tetap menerima dan menghormati putusan yang dikeluarkan oleh MA tersebut.

Hari Senin (13/2/2012), MA menolak permohonan PK Antasari. Putusan itu dijatuhkan oleh majelis yang terdiri dari Harifin A Tumpa, Komariah E Sapardjaja, Djoko Sarwoko, Hatta Ali, dan Imron Anwari.

Dengan penolakan PK ini, maka Antasari Azhar tetap divonis 18 tahun sesuai putusan pengadilan tingkat pertama, yakni PN Jakarta Selatan, dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, serta diperkuatkan oleh kasasi MA. Antasari divonis terbukti merencanakan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen. (Tribunnews.com/Samuel Febriyanto)

Tak Punya Uang, Umar Patek Jualan Senjata

Posted: 13 Feb 2012 12:08 PM PST

Tak Punya Uang, Umar Patek Jualan Senjata

Maria Natalia | Erlangga Djumena | Senin, 13 Februari 2012 | 23:41 WIB

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Terdakwa tindak pidana terorisme, Hisyam bin Ali Zein alias Umar Patek, menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (13/2/2012). Umar Patek terlibat dalam sejumlah aksi teror di Indonesia, seperti Bom Bali I tahun 2002, Bom Natal tahun 2000, terlibat dalam pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh Besar dan menyembunyikan keberadaan pelaku teroris, Dulmatin pada Juni 2009 sampai Maret 2010. Buronan yang ditangkap polisi Pakistan awal Maret 2011, ini dijerat dengan pasal berlapis yaitu Pasal 9, Pasal 13 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pasal 340 KUHP, UU Darurat Tahun 1951, Pasal 266 KUHP, dan Pasal 55 UU Imigrasi.

JAKARTA, KOMPAS.com — Umar Patek alias Umar Syeh alias Zacky alias Mike sempat berjualan senjata api dalam pelariannya di Filipina selatan. Saat itu, ia tengah melarikan diri dari kejaran Detasemen Khusus 88 Antiteror seusai terlibat dalam Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 silam. Penjualan senjata ini dilakukannya untuk mengumpulkan dana agar bisa hijrah dari Filipina ke Afganistan. Uang itu diperlukan karena ia harus ke Indonesia terlebih dahulu sebelum menuju Afganistan.

Senjata yang dijualnya antara lain dua pucuk senjata api M16 dan 16 magazen berisi penuh amunisi dengan harga 170.000 peso. "Ia juga meminta dukungan dana dari petinggi kelompok Abu Sayaf sebesar 970.000 peso," ujar jaksa penuntut umum saat membacakan dakwaan Patek di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (13/2/2012).

Setelah menjual senjata, ternyata persediaan senjata Umar Patek tidak berkurang. Dalam perjalanannya bersama istrinya Ruqayyah binti Husen Luceno ke Indonesia melalui jalur pintas Filipina-Tarakan, ia membawa empat senjata api, tiga di antaranya pistol FN dan satu revolver. Senjata FN, menurut jaksa, didapat dari hasil rampasan perang yang terjadi ketika kontak senjata melawan tentara Filipina di Pulau Sulu tahun 2007. "Tiga senjata lainnya didapat dari rekannya Hasan Noer alias BlackBerry. Hasan mendapatnya setelah merampas dari tentara Filipina dan dari teman mujahidnya di Filipina," jelas jaksa.

Akhirnya, Patek beserta istrinya keluar dari Indonesia setelah tahu rekannya Dulmatin, Hasan Noer, dan Ridwan tewas saat digerebek polisi di Pamulang. Mereka memutuskan ke Pakistan dengan menggunakan paspor palsu yang dibuat di Kantor Imigrasi Klas I Jakarta Timur. Saat itu Patek mengganti namanya dengan Anis Alawi Jafar, sedangkan istrinya berganti nama menjadi Fatimah Zahra.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan