Jumaat, 4 November 2011

KOMPAS.com - Internasional

KOMPAS.com - Internasional


Tak "Noda" Khadafy, Dosen Itu Pimpin Libya

Posted: 05 Nov 2011 04:12 AM PDT

TRIPOLI, KOMPAS.com — Lepas dari kekuasaan Kolonel Moammar Khadafy, rakyat Libya kini memiliki seorang pemimpin baru. Dewan Transisi Nasional (NTC) akhirnya memilih Abdurrahim el-Keib sebagai Perdana Menteri Libya.

Dalam pemungutan suara di NTC pada Senin (31/10/2011), El-Keib mendapat 26 dari total 51 suara. Dia diberi waktu dua minggu untuk membentuk sebuah pemerintahan baru, yang bertugas melancarkan jalan untuk membuat rancangan konstitusi dan menggelar pemilihan umum.

Siapakah sebenarnya Abdurrahim el-Keib?

Profesor bidang teknik elektro lulusan Amerika Serikat itu memiliki sedikit pengalaman politik. Namun terpilihnya dia sebagai Perdana Menteri Libya (PM Libya) bisa meyakinkan bangsa Barat dan rakyat Libya mengingat banyak petinggi Dewan Transisi Nasional (NTC) yang "ternoda" karena pernah menjadi bagian dari rezim Khadafy.

El-Keib, yang kini tinggal di ibu kota Libya Tripoli, mengatakan dia akan memastikan bahwa Libya menghormati hukum. "Kami menjamin akan menjadi negara yang menghormati hak asasi manusia dan tidak akan menoleransi pelanggaran atas hak asasi manusia. Namun, kami memerlukan waktu," katanya sesaat setelah terpilih.

Dia menggantikan PM sementara, Mahmoud Jibril, yang pernah berjanji akan turun dari jabatan begitu rezim Khadafy tumbang.

El-Keib meraih gelar doktor teknik elektro dari Universitas North Carolina dan akhirnya menjadi dosen di Universitas Alabama pada 1985, seperti yang ditulis dalam data pribadi di tempat dia bekerja sebelumnya, Petroleum Institute di Uni Emirat Arab.

Jibril yang juga teknokrat lulusan AS menjadi sasaran serangan dalam beberapa bulan selama memimpin NTC. Serangan itu datang dari kalangan Islamis yang menyebutnya terlalu sekuler.

Sementara itu, pihak lain menyerangnya karena dia pernah menjadi penasihat di rezim lama dan lebih banyak berada di luar Libya selama pergolakan delapan bulan itu berlangsung.

Namun, Jibril juga berjasa besar karena berhasil mengamankan dukungan internasional pada revolusi, khususnya dari NATO yang memperkuat pemberontakan terhadap rezim Khadafy dengan serangan udara.

Pemerintahan sementara Libya dengan cepat memilih sekelompok orang yang terdiri dari para aktivis dan mantan pejabat Libya yang membelot ketika pemberontakan terhadap Khadafy pecah pada Februari lalu.

NTC menunjuk sebuah "Kantor Eksekutif" yang bertindak sebagai kabinet de facto. Bahkan sebelum kejatuhan Khadafy, NTC menyatakan bahwa setelah perang usai, sebuah pemerintahan dengan anggota yang dipilih dengan hati-hati akan bekerja dalam masa transisi ini, yang ditargetkan berlangsung selama delapan bulan.

El-Keib, yang anggota NTC dari Tripoli, bebas dari 'kelemahan' Jibril. Tidak seperti Jibril yang menjadi penasihat ekonomi di rezim Khadafy, El-Keib menghabiskan karier profesionalnya di luar Libya dan dia juga tidak "ternodai" ikatan dengan Khadafy.

Mohammad al-Harizi, juga anggota NTC dari Tripoli, menyambut baik terpilihnya El-Keib. Al-Harizi memuji koleganya itu berada di Libya selama pergolakan berlangsung sehingga "mengetahui yang terjadi di lapangan".

"Dia cukup lama berada di sini (Libya), jadi dia tahu betul apa yang harus diperbaiki, tidak seperti Mahmoud Jibril, yang hanya datang ke Libya sebagai pengunjung dan tidak tinggal terlalu lama," kata Al-Harizi.

Selama revolusi Libya berlangsung, Jibril berada di luar negeri, berkonsultasi dengan para pemimpin dunia untuk mengumpulkan dukungan internasional.

El-Keib juga mendapat dukungan Barat ketika keberhasilan revolusi Libya dinodai dengan berbagai laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia oleh para milisi revolusioner dan video penangkapan Khadafy hingga kematiannya yang menimbulkan pertanyaan.

Pernyataan Ketua NTC Mustafa Abdul-Jalil yang akan menerapkan hukum Islam juga menimbulkan kekhawatiran Barat.

Catatan soal El-Keib setidaknya cukup melegakan bagi Barat. Berbagai dokumen online menunjukkan bahwa El-Keib berkarier selama 20 tahun di Universitas Alabama. Di perguruan tinggi AS itu, El-Keib terlibat dalam senat fakultas dan menjadi pembicara mewakili umat Muslim dalam komunitas lintas agama di kota Alabama setelah Serangan 11 September di New York dan Washington.

Dia menjadi pembicara di sebuah gereja di Tuscaloosa tentang Islam pada Januari 2002.

Seorang sahabatnya, Mirza Beg, mengatakan bahwa El-Keib membantu penggalangan dana bagi sebuah pusat kegiatan Islam di Tuscaloosa lebih dari 10 tahun lalu.

"Dia menjadi tokoh pendorong di balik pembangunan itu. Beberapa orang memang memiliki kemampuan manajemen yang hebat. Dia mengumpulkan dana dari teman-temannya, dari warga di sini, dan dari berbagai tempat," kata Beg, seorang ahli kimia dari Survei Geologi Alabama.

Beg yang keturunan India mengatakan, dia tahu El-Keib memiliki "kemampuan politik". Namun, temannya itu jarang berbicara tentang Libya. "Alasannya jelas, kediktatoran (Khadafy). Dia merasa tidak nyaman membicarakan Libya karena keluarga besarnya masih tinggal di sana," ucap Beg.

Keduanya jarang berkomunikasi setelah El-Keib meninggalkan Universitas Alabama pada 2005. El-Keib kemudian menjadi dosen dan kepala jurusan teknik elektro di Petroleum Institute, berdasarkan resume perguruan tinggi di Uni Emirat Arab itu.

El-Keib berjanji akan mendengarkan dengan baik kehendak rakyat. "Kami ini prajurit yang melayani rakyat Libya," katanya.

Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Victoria Nuland, memuji terpilihnya El-Keib. Nuland juga meminta Libya menjunjung hak asasi manusia dan membentuk satu komando untuk mengendalikan gerilyawan bersenjata yang sampai saat ini masih bertebaran di seluruh Libya.

Full content generated by Get Full RSS.

Suriah: Amnesti bagi yang Serahkan Senjata

Posted: 05 Nov 2011 03:20 AM PDT

DAMASKUS, KOMPAS.com - Kementerian Dalam Negeri Suriah mengumumkan amnesti, Jumat (4/11/2011), bagi warganya yang menyerahkan senjata pada 12 November sebagai kelonggaran untuk menandai perayaan Idul Adha, kata televisi negara dalam siaran berita.

"Kementerian dalam negeri telah mengundang orang-orang yang membawa senjata, yang menjualnya, mendistribusikannya, membelinya atau membiayai pembeliannya dan yang tidak melakukan pembunuhan, untuk menyerahkan senjata mereka ke pos-pos polisi terdekat di distrik mereka ... mulai Sabtu, 5 November, hingga 12 November," kata laporan itu.

Orang-orang yang mengindahkan permintaan itu "akan berjalan bebas ... dan menerima amnesti", katanya menambahkan.

Pemerintah Suriah telah menggunakan kekuatan untuk menghancurkan demonstrasi anti-rezim hampir tiap hari sejak pertengahan Maret lalu, dan menurut perkiraan PBB, lebih dari 3.000 orang telah tewas dalam kekerasan itu.

Para demonstran pro-demokrasi bersikeras bahwa demonstrasi mereka damai, sementara pemerintah mengatakan mereka telah memerangi "kelompok teroris bersenjata".

Pengumuman amnesti itu dibuat hanya beberapa hari setelah Suriah menyetujui cetak biru perdamaian Liga Arab untuk mengakhiri pertumpahan darah, berjanji untuk menarik tank-tank dari jalanan, membebaskan tawanan dan mengadakan pembicaraan dengan para penentang rezim.

Presiden Bashar al-Assad telah dua kali menawarkan amnesti umum sejak konflik meletus, yang pertama kali pada 31 Mei bagi semua tawanan politik, termasuk Ikhwanul Muslimin atau Persaudaraan Muslim yang dilarang.

Pada Juni lalu presiden itu mengeluarkan dekrit kedua yang "memberi amnesti umum bagi kejahatan yang dilakukan sebelum 20 Juni 2011", kata kantor berita milik negara SANA dalam laporannya pada waktu itu.

Televisi negara dan SANA melaporkan, Jumat (4/11/2011), bahwa amnesti terakhir itu dibuat saat umat Islam bersiap merayakan hari raya Idul Adha yang jatuh pada  Minggu (6/11/2011).

Media pemerintah menyatakan, amnesti diberikan bertepatan pada Idul Adha sebagai upaya untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum serta demi orang-orang yang telah terperdaya dan yang membawa senjata.

Full content generated by Get Full RSS.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan