Jumaat, 18 Januari 2013

Republika Online

Republika Online


Banjir Masih akan Terjang Jakarta Hingga 2023

Posted: 18 Jan 2013 11:08 PM PST

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar politik perkotaan Irwansyah mensinyalir banjir masih akan melanda Ibu Kota DKI Jakarta dalam kurun waktu 10 tahun mendatang jika pembangunan infrastruktur tidak diimbangi dengan perbaikan pertumbuhan alam.

"Banjir tidak akan hilang dalam 10 tahun ke depan, melihat begitu parahnya ketidakseimbangan antara pertumbuhan bangunan infrastruktur dan faktor-faktor yang sifatnya memperbaiki pertumbuhan alam," kata dosen Politik Perkotaan, Ilmu Politik, Universitas Indonesia (UI), di Jakarta, Sabtu 919/1).

Pertumbuhan pembangunan kota yang mengabaikan risiko penataan kota secara ekologis, kata dia, dapat berdampak pada semakin rentannya Ibu Kota terhadap bencana banjir.

"Kalau kanal saja sudah tidak cukup, kemudian penyerapan air dan ruang terbuka hijau minim, sudah pasti Jakarta menyatakan diri sebagai 'Kota Banjir', mengkondisikan diri sebagai kota yang rentan banjir," katanya.

Oleh karena itu, pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta, bersama dengan masyarakat, katanya, harus segera membentuk mekanisme penanganan banjir. Penanganan banjir tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan sejumlah perkembangan teknis dan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat.

"Misalnya penggunaan teknologi informasi dengan menyosialisasikan peta banjir Jabodetabek supaya warga waspada terhadap banjir dan kemacetan. Itu bisa menjadi paradigma ke depan bagi pemerintah kota," jelasnya.

Selain itu, dia menambahkan, pemerintah bisa memaksialkan penyampaian informasi kepada masyarakat untuk mengatasi berbagai masalah ketika banjir menyerang. 

"Ketika ada mobil terjebak genangan air, mayoritas warga tidak tahu bagaimana menggunakan kendaraan, karena ada cara khusus yang harus dilakukan ketika melintasi genangan air," tambahnya.

Masyarakat Jakarta lebih memerlukan sistem penanganan bencana banjir, di samping juga pembenahan terhadap infrastruktur perkotaan. Selain itu, kata Irwansyah, yang perlu diperhatikan adalah peningkatan penanganan pascabencana, agar kemungkinan masyarakat terjangkit penyakit dan sebagainya dapat diminimalisir.

Hujan deras yang melanda Jakarta dan sekitarnya selama beberapa membuat saluran banjir Kanal Banjir Barat tidak kuat menampung debit air. Akibatnya, pada Kamis (17/1) air meluap hingga mebanjiri kawasan jantung Ibukota, seperti Bundarah Hotel Indonesia, Dukuh Atas, Thamrin, Tanah Abang, Grogol dan terakhir di Pluit pada Jumat (18/1).

Saluran banjir Kanal Barat, yang dibangun mulai 1922, berawal dari daerah Manggarai ke arah barat melewati Pasar Rumput, Dukuh Atas, lalu membelok ke arah barat laut di daerah Karet Kubur. Selanjutnya ke arah Tanah Abang, Tomang, Grogol, Pademangan, dan berakhir di sebuah "reservoar" di muara, di daerah Pluit. 

'Pindah Ibu Kota, Bukan Solusi untuk Jakarta'

Posted: 18 Jan 2013 11:07 PM PST

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta menuai pro dan kontra. Ketua Umum DPP Penegak Amanat Reformasi Rakyat (PARRA) Indonesia, Rusli Halim Fadli menilai pemindahan ibu kota bukan solusi untuk Jakarta.

''Saat Jakarta tertimpa bencana banjir seperti saat ini wacana itu muncul kembali dan seolah menjadi jawaban tunggal untuk masalah banjir,'' ujar Rusli kepada Republika Online, Sabtu (19/1).

Menurut dia, persoalan banjir dan macet adalah persoalan manajerial dan kepemimpinan, bukan semata persoalan geografis.

''Dengan APBD yang sangat besar Pemprov Jakarta semestinya lebih berani untuk mengalokasikan anggarannya pada sektor infrastruktur,'' ungkap mantan ketua umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah itu.

Rusli menegaskan, macet dan banjir bukan hanya persoalan Jakarta, tetapi persoalan regional. ''Harus dilakukan pembicaraan dengan beberapa kepala daerah seperti Jabar dan Banten,'' tuturnya.

Ia mendesak agar Gubernur DKI Jakarta Jokowi segera berkordinasi dengan gubernur dan kepala daerah yang berada  di sekitar Kakarta. ''Mengapa demikian, karena selain hujan, banjir Jakarta adalah kiriman dari daerah sekitar.''

Menurut Rusli, gagasan tentang megapolitan yang sempat menguat pada era kepemimpinan Sutiyoso perlu diseriusi dan didalami. ''Saya optimistis konsep megapolitan bisa menjadi jalan keluar dan biayanya lebih ringan dari pada sekadar pindah kota yang sudah pasti akan berbiaya tinggi,'' ungkapnya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan