Khamis, 18 Oktober 2012

Sindikasi news.okezone.com

Sindikasi news.okezone.com


Kafe Bunga Tanggal 25

Posted: 18 Oct 2012 12:14 AM PDT

UNDANGAN itu sungguh mirip pizza. Sangat menggoda. Simak saja suara perempuan yang meneleponku siang itu. Empuk sekali.
 
"Kenalin, saya Alia. Saya panitia penyelenggara Pekan Bahasa yang akan diadakan bulan depan oleh fakultas saya, Fakultas Sastra. Seperti biasa, salah satu agendanya adalah bedah novel. Jika Anda tidak keberatan, kami bermaksud mendiskusikan novel Anda, Sang Penulis. Dan jika jadwal Anda masih kosong pada tanggal 25 bulan depan, kami harap Anda bersedia mengisinya dengan menjadi pembicara dalam acara kami ini."
 
Hmm, permintaan izin yang sungguh-sungguh ramah, batinku. Disertai undangan yang santun pula! Sehingga agak keterluan jika aku tidak berterimakasih terlebih dahulu. "Tapi ngomong-ngomong, sebagai apa saya diundang?" gurauku di tengah rasa bangga sekaligus gugup.
 
"Maaf?" "Panitia mengundang saya sebagai apa; sebagai penulis atau pembaca novel itu. Kaidah anak sastra 'kan begini, ketika sebuah karya selesai ditulis, otomatis pengarangnya mati. Kalau begitu, saya bukan lagi penulis novel itu, kan?"
 
Di seberang, Alia tertawa. Gurih sekali. Segurih keju mozarella yang ditabur di atas senampan pizza. "Bagaimana kalau saya mengundang Anda sebagai Roni saja?"
 
Kali ini aku yang tertawa. Roni adalah tokoh utama dalam novel yang kutulis. "Tapi Roni tak pernah benar-benar jadi penulis lho! Tidak ada satu cerpen pun yang selesai dibuatnya meski dia ke sana-kemari mengaku cerpenis. Jadi bersiap-siaplah kecewa mengundang cerpenis gadungan ke acara Pekan Bahasa!"
 
Tawa Alia berderai-derai lagi. Seperti gerimis yang jatuh kecil-kecil pada hari pertama aku menggarap "novel" itu. Sumpah mati, kala itu aku tidak menyangka jika kelak apa yang kutulis mewujud jadi karya sastra bernama novel. Karena aku bukan novelis. Bukan pula cerpenis. Menjadi sastrawan tidak pernah masuk dalam daftar cita-citaku. Buku-buku sastra hanya satu-dua yang pernah kubaca. Itu pun lebih disebabkan propaganda seseorang. Roni, nama orang itu, cinta setengah mati pada dunia sastra. Dialah yang rajin menganjurkanku membaca karya-karya yang menurutnya bagus dan pantas diberi predikat "edan tenan".
 
"Coba deh baca buku ini! Kamu pasti suka, pasti terkaget-kaget, pasti terguncang-guncang," katanya suatu ketika sambil mengacung-acungkan buku kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati. Gayanya mengingatkanku pada masa kecil, pada tingkah Bapak jika sedang mengiming-imingi coklat asal aku mau tidur siang.
 
"Kamu mungkin akan bertanya-tanya: kok bisa ya nulis cerita kayak gini? Istimewa sekali. Gila. Edan. Saking edannya, jangan-jangan, nanti kamu malah ingin jadi cerpenis juga!"
 
Aku masih ingat betapa aku bergegas menyambut buku itu. Bukan karena termakan promosinya. Bukan karena terpikat omongannya yang sarat majas hiperbola. Aku justru tidak suka caranya beriklan. Kurasa dia tidak berbakat jadi salesman. Rayuannya kurang "maut". Tidak meyakinkan. Terlalu tergesa-gesa. Jadi, sebelum mulutnya tambah berbuih-buih, kuputuskan untuk menyerobot buku itu.
 
Seharian aku membaca buku yang Roni jamin akan membuatku terguncang-guncang itu. Dan, okay, dalam beberapa hal, Roni mungkin benar. Aku memang terpukau dengan kecerdikan si penulis meracik kenyataan dengan imajinasi, mengaduk fakta dalam fiksi hingga terhidang ramuan yang menyegarkan. Aku memang terguncang-guncang waktu harus membayangkan alangkah pedihnya menjadi warga keturunan Tionghoa di saat kerusuhan Mei 1998 meletus di negeri ini. Alangkah sakitnya menjadi Clara, perempuan yang oleh sejumlah orang dianggap pantas dipukuli, dibakar mobilnya, bahkan diperkosa, semata-mata karena dia keturunan China!
 
Namun, itu tidak serta-merta membuatku tertarik untuk ikut-ikutan mengarang cerpen seperti yang Roni perkirakan. Bagiku, puisi, prosa, atau sastra secara umum tetaplah sebuah dunia yang gelap nan asing, dan karenanya enggan kugeluti. Satu-satunya hal yang selalu menggelitik untuk terus kukuntit justru tentang Roni. Tentang minatnya pada dunia sastra. Tentang nafsu mengarangnya yang luar biasa. Juga tentang cita-citanya yang (ternyata) memang cuma satu: menjadi penulis!
 
Kalau ditanya kenapa ingin begitu, kurang lebih jawabannya begini. "Aku tidak mau kelak jadi pegawai. Mau pegawai negeri atau swasta, sama saja. Sama tidak enaknya. Bayangkan! Betapa bosannya berangkat pagi pulang malam, mengerjakan tugas yang itu-itu saja. Otak kita bisa jadi tong kosong kalau terus-terusan mengurusi hal-hal rutin yang tidak penting bagi kualitas kemanusiaan kita. Aku lebih suka kerjaan yang fleksibel, yang bikin kita mikir, yang bisa dilakukan kapan aja, sambil tiduran, sambil nongkrong di balkon."
 
Maka jangan heran jika obrolan-obrolannya melulu soal tulis-menulis, soal sastra. Kalau siang ini dia bicara panjang lebar mengenai Seratus Tahun Kesunyian, malam nanti mungkin giliran Saman. Kalau Minggu pagi dia berulang-ulang memuji cerpen Danarto yang baru dibacanya di sebuah koran nasional, boleh jadi sorenya dia datang ke tempatku sambil membawa halaman koran lain yang memuat cerpen Eka Kurniawan.
 
"Edan tenan! Dahsyat benar cerpen ini! Coba lihat!" begitu puja-puji yang biasa dia lontarkan. "Kalau cerpen kamu yang dimuat di situ, baru aku bilang edan tenan," itulah komentar yang biasa meluncur dari mulutku. Dan, inilah kalimat yang biasa dia timpalkan. "Minggu depan, kamu bakalan lihat cerpenku nongol di situ. Tunggu saja."
 
Tapi rupanya, menunggu cerpen Roni dimuat di koran sama saja dengan menunggu Godot yang tak datang-datang. Karena kenyatannya, dia tidak pernah berhasil menulis satu cerpen pun! Semuanya gagal di tengah jalan. Pretel-pretel. Serupa motor kehabisan bensin. Seperti mobil terendam banjir. Tulisan-tulisannya selalu mogok kehabisan energi penciptaan. Ada yang hanya tersusun tiga paragraf. Ada yang hanya tertulis separuh gagasan. Bahkan tidak sedikit yang cuma berisi judul ditambah satu baris pertama!
 
Aih-aih, ada apa sebenarnya dengan Roni? "Inilah celakanya kalau jadi penyair duluan sebelum menulis cerpen," ujarnya membela diri setiap kali kutertawakan.
"Oya?"
 
"Begini, jauh-jauh hari sebelum jatuh cinta pada cerpen, aku sudah terbiasa menulis puisi. Berbeda dengan prosa, puisi itu 'kan harus padat. Hemat. Pelit kata-kata. Sebisa mungkin menghindar dari ungkapan-ungkapan yang biasa, sekaligus tertib ber-aa-ii."
"Ber-aa-ii?"
 
"Berima, maksudku. Mengandung unsur bunyi. Nah, mindset kepenyairan inilah yang selalu menggangguku. Setiap kali mulai menulis, baru selesai satu paragraf, aku sudah gatal untuk mengeditnya. Terkadang cuma untuk memastikan, sudah cantik apa belum bahasanya. Sudah indah apa belum kedengarannya. Begitu seterusnya."
 
Ya, begitulah seterusnya! Dari hari ke hari, Roni berpusing dengan proses kreatifnya yang tak rampung-rampung. Padahal telah dicobanya segala cara. Mulai dari yang bersifat teknis sampai non-teknis. Mulai dari membaca lebih banyak lagi buku-buku cerita, berpartisipasi aktif dalam komunitas-komunitas sastra, berkunjung ke rumah-rumah sastrawan, sampai mondar-mandir bawa laptop ke kafe-kafe layaknya penulis-penulis masa kini. Untuk menebalkan motivasinya, ia bahkan bernazar untuk tidak menikah sebelum novelnya terbit! Tapi tetap saja tak terlahir apa-apa dari laptop-nya itu. Jangankan novel, cerpen yang cuma sebanyak enam halaman, pun tidak!
 
Berjuta kenangan tentang Roni itulah yang terus-menerus bergentayangan dalam pikiranku. Lalu lama-lama menjelma jadi hantu. Hantu yang tak bosan-bosan menggodaku untuk duduk berminggu-minggu di depan komputer, menulis cerita perihal Roni.
 
Awalnya kupikir, apa yang kutulis itu cuma semacam kesaksian. Atau paling banter, biografi seorang (calon) penulis yang malang. Tapi tiba-tiba kawan-kawan bilang, ini novel! Tiba-tiba ada yang berinisiatif menerbitkan. Tiba-tiba sudah jadi buku. Dan, tiba-tiba aku diundang Alia untuk jadi pembicara di acara Pekan Bahasa.
 
Sebuah undangan yang, seperti kubilang sejak awal, sungguh mirip pizza. Sangat menggoda. Bukan semata-mata karena (hhmm, yummy!) bisa dijadikan ajang promosi demi "menarik" lebih banyak royalti. Bukan semata-mata karena jumlah honornya yang lumayan menggiurkan. Melainkan juga karena acara ini bakal diselenggarakan di kota di mana aku dan Roni pernah tinggal, di mana seluruh ide novelku berawal.
 
Nah! Itulah sebabnya, ketika Alia menanyakan kesediaanku menghadiri acaranya itu, aku cuma bisa bilang, "Saya tidak punya alasan untuk menolaknya." "Terima kasih. Sampai jumpa tanggal 25."
♦♦♦


TANGGAL 25. Aku tiba di terminal kota menjelang magrib. Angin dingin segera menyergap. Dasar pegunungan! Tidak bosan-bosan bikin orang menggigil. Atas saran Alia, aku langsung menuju hotel yang sudah dipesankannya atas namaku. Tak lama kemudian, ia muncul mengajakku makan.
 
"Saya ingin mengajak Anda makan di tempat spesial."
"Oya? Di mana?"
"Maaf, kejutan selalu muncul belakangan."
 
Aha, nakal juga anak ini rupanya! Dan terasa semakin nakal saja ketika ternyata, "tempat spesial" yang dimaksudnya adalah Kafe Bunga. Kafe yang kuceritakan berulang-ulang dalam novelku sebagai tempat di mana aku dan Roni biasa minum kopi sembari menulis meski—ya, lagi-lagi—tulisannya tak jadi-jadi.
 
"Masih kenal tempat ini?"
Aku tersenyum. "Terima kasih kejutannya."
"Anda pesan apa? Double Bitter?"
 
Aku tersenyum untuk kesekian kali. Double Bitter yang ia maksud pastilah kopi superpahit yang biasa dipesan Roni di kafe ini dan kucantumkan agak sering dalam novelku. Agaknya gadis ini benar-benar pembaca yang khusyuk. Setiap detil ia pahami, ia selidiki, ia cocokkan dengan lingkungan sekitar. Dan lihatlah, betapa ia amat sumringah melihatku senyum-senyum dihajar kenangan!
 
Namun senyumku mendadak tercekat begitu melihat seseorang di pojok ruangan. Duduk sendirian. Cuma berteman secangkir minuman. Roni? Si penulis malang itu? Aku ingin membantah. Agar suasananya tidak senostalgik film-film drama. Tapi semakin kutatap semakin kupandang, kenyataan bahwa laki-laki itu adalah Roni semakin tak terbantahkan. Muka tirus. Hidung bangir. Rambut keriting. Tidak salah lagi, itu dia!
 
Seketika aku merasakan diriku terbelah jadi dua. Kaki kananku ingin sekali beranjak menemuinya. Tapi kaki kiriku mati-matian menahannya. Meja di pojok kafe itu… Ah! Kenapa tidak pernah mudah melumat kekecewaan? Kenapa selalu susah melupakan apa-apa yang pernah dikatakannya di meja di pojok kafe itu?
 
"Aku capek menjawab pertanyaanmu yang itu-itu saja," ujarnya waktu itu dengan wajah beku dan senyum kaku. Pandangan matanya mengarah entah ke mana. Yang pasti bukan ke arahku, perempuan yang saat itu, hampir dua tahun dipacarinya.
 
"Aku kan sudah bilang, aku baru akan menikah kalau novelku sudah terbit. Titik. Jadi kenapa kamu masih menanyakan kapan kita tunangan sementara kamu sendiri tahu novelku baru bab satu!"
 
Aku menggeram. Ingin menampar. Ingin menerjang. "Kamu bilang bab satu sejak lima bulan lalu!" "Kamu pikir mudah menulis novel?"
 
"Kamu pikir mudah pacaran dengan orang tidak jelas macam kamu? Sampai kapan aku harus menunggu? Aku sudah 27. Sudah sarjana sejak tiga tahun lalu. Wajar dong kalau ibuku bolak-balik tanya kapan aku menikah. Aku orang kampung, Ron! Ingat itu! Umur 20 saja sudah dibilang perawan tua."
 
"Bilang saja kamu belum dapat laki-laki yang pas."
"Celakanya, ibuku sudah tahu aku serius sama kamu."
"Tapi sialnya, novelku belum selesai juga."
"Maumu aku menunggu sampai novelmu selesai, padahal bab satu saja baru tiga halaman!"
"Itu kalau kamu mau."
"Kalau tidak?"
 
Aku tidak pernah bisa menceritakan kelanjutan jawabannya. Bahkan hingga sekarang. Jawaban itu masih menggantung di ujung lidahku, tanpa pernah terceritakan pada siapa pun. Yang bisa kuceritakan padamu hanyalah bahwa usai mendapat jawaban itu, aku bergegas pergi. Bukan semata-mata dari kafe ini. Lebih dari itu: dari kota ini!
 
Banyak hal yang berkaitan dengan Roni yang berhasil kubuang, memang. Kartu ponselku kugunting jadi dua sepulang dari kafe malam itu juga. Sehingga ia tidak punya lagi akses untuk menghubungiku. Buku-buku yang dihadiahkannya padaku kuhibahkan ke teman-teman. Dan, harapanku yang membubung tinggi untuk menikah dengannya telah kusingkirkan jauh-jauh sejak malam itu juga.
 
Tinggal satu hal yang tak bisa kubuang: kenangan. Semakin keras usahaku menyingkirkan semakin kuat ia mencengkeram. Maka ketika aku benar-benar sadar bahwa mustahil mengelabui ingatan, kulumat saja kenangan-kenangan itu. Kukunyah pelan-pelan. Sari-sarinya kutulis diam-diam. Sampai mewujud jadi novel. Novel yang mengantarkanku kembali ke kota ini. Ke kafe ini. Ke reuni ini.
 
Reuni? Ah, tidak! Tidak akan pernah ada reuni antara aku dan Roni. Meski terkadang aku ingin. Meski mungkin ia mau. Meski sebetulnya aku selalu terobsesi untuk menunjukkan padanya bahwa aku bisa menulis novel seperti yang ia perjuangkan, seperti yang ia cita-citakan. Meski sebenarnya aku ingin bertanya: sudah selesaikah novelmu, Ron?
 
"Mbak Shinta," tiba-tiba Alia mengetuk meja. "Anda pesan apa?"
"Kita balik ke hotel saja."


Oleh Hammad Riyadi
 
Penulis lahir di Situbondo, 7 September 1980. Mulai belajar menulis sejak duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah, Gulukguluk Sumenep (Madura). Pada 1998, salah satu cerpennya menjuarai lomba menulis cerpen tingkat SLTA se-Madura. Beberapa tulisannya yang lain pernah dimuat di Horison, Santri, MPA, Banjarmasin Post. Saat ini bekerja sebagai buruh pabrik sepatu di Mojokerto, Jawa Timur.


(Bagi Anda yang memiliki cerita pendek dan bersedia dipublikasikan, silakan kirim ke alamat email: news@okezone.com)  

(//ful)

Mubarok: Mulut Ruhut Mulut Sinetron

Posted: 18 Oct 2012 12:00 AM PDT

JAKARTA- Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok mengungkapkan, wacana tentang penggulingan Anas Urbaningrum dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hanyalah omong kosong. Mubarok mengatakan posisi Anas Urbaningrum hingga saat ini masih aman.

Sebelumnya, Ketua Divisi Kominfo DPP Partai Demokrat, Ruhut Sitompul mengatakan Partai Demokrat  akan segera mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk mencopot Anas.  Ruhut menambahkan, SBY sudah melakukan pembahasan dan menyiapkan pengganti Anas, jika terbukti menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Terkait hal itu, Mubarok mengungkapkan pernyataan tersebut sangatlah tidak benar. "Mulut Ruhut itu mulut sinetron, sinetron politik," kata ahmad Mubarok kepada okezone, Kamis (18/10/2012).

Mubarok meyakini Anas akan tetap menjadi Ketua Umum Demokrat. "Tidak ada itu KLB," katanya
 
Selain itu Mubarok yakin Anas  tidak terlibat dalam kasus korupsi yang sering dituduhkan kepada mantan Ketua PB HMI itu. "Dari kasus Wisma Atlet dia juga disebut, tapi mana buktinya, dari dulu dia disebut-sebut, tapi, ternyata tidak, " katanya.

(ugo)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan