Isnin, 13 Jun 2011

KOMPAS.com - Regional

KOMPAS.com - Regional


Bus Terjungkal ke Laut, Penumpang Luka-luka

Posted: 13 Jun 2011 04:12 AM PDT

Kecelakaan Bus

Bus Terjungkal ke Laut, Penumpang Luka-luka

K25-11 | Inggried | Senin, 13 Juni 2011 | 11:12 WIB

Foto:

POLEWALI MANDAR, KOMPAS.com - Sebuah bus Piposs jjurusan Makassar-Majene, Sulawesi barat, terjungkal ke laut, Senin (13/6/2011) pagi. Peristiwa ini terjadi di Desa Silopo, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar. Puluhan penumpang bus tersebut dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Polewali Mandar untuk menjalani perawatan karena menderita luka-luka.

Belum diketahui apa penyebab terjadinya kecelakaan, namun diduga akibat sopir mengantuk dan rem blong saat bus berbelok di tikungan tajam. Menurut informasi, sebelum terjun ke laut, bus sempat terguling di jalan. Salah seorang saksi mata, Ruslan, mengatakan, bus tersebut melaju kencang dari arah Makassar sehingga tak mampu dikendalikan saat melewati tikungan tajam. Keberadaan sang supir belum diketahui. Ia tidak ditemukan diantara korban yang tengah menjalani perawatan di rumah sakit.

Kapolres Polewali Mandar AKBP I Gusti Ngurah Rai Mahaputra yang meninjau lokasi kejadian, mengatakan, sang sopir bus hingga kini masih dalam pengejaran polisi. Identitasnya sudah dikantongi pihak kepolisian. Ia diduga melarikan diri sesaat setelah kejadian.

"Saya kira tak akan lari kemana karena identitas sopirnya sudah dikantongi polisi," ujar Gusti.

Penumpang yang menjadi korban luka-luka, Barlian, mengaku kesal dan mengancam akan memperkarakan pihak bus karena dinilai tidak bertanggungjawab mengurus korban dalam kecelakaan ini. "Kita kesal karena sejak tadi pagi sampai siang ini tidak satu pun perwakilan Pipos yang datang. Saya minta polisi mennagkap sopirnya, dan meminta Pipos bertanggungjawab atas kejadian ini" ujar Barlian.

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Mardy Darau, Setia "Manetek" Kayu

Posted: 13 Jun 2011 04:01 AM PDT

KOMPAS.com - Di hutan Kelurahan Petuk Katimpun, Kecamatan Jekan Raya, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, seorang pencari kayu berjalan cepat tanpa alas kaki. Lebih cepat dan nyaman jika tak menggunakan sandal atau sepatu menjadi alasan meski bukannya tidak beresiko.   

"Beberapa kali saya terluka karena potongan kayu atau duri. Tak apa-apa, tinggal dicabut," ujarnya enteng saja seraya tersenyum.

Pencari kayu itu, Mardy Darau (53), harus menempuh jarak sekitar lima kilometer dari rumahnya sebelum mencapai hutan. Perjalanan masih harus ditempuh lagi dengan perahu kecil sekitar 10 menit melalui Sungai Rungan. Di dalam hutan, tak hanya risiko terluka yang harus dihadapi.

"Kekhawatiran dihadang hewan-hewan berbahaya seperti ular, kalajengking, dan lebah juga sering menghinggapi saya. Untung, saya tak pernah terluka parah karena hewan-hewan itu," katanya, Senin (13/6/2011).

Mardy adalah satu dari sedikit masyarakat Dayak yang kini masih setia menyusuri hutan untuk mencari kayu bakar. Potongan-potongan kayu dari pohon yang ditebang kemudian dibawa ke rumah untuk disusun. Kayu dikemas berbentuk kotak dengan panjang dan lebar masing-masing sekitar 60 sentimeter (cm) dan tinggi 80 cm.

Setiap kotak cukup untuk bahan bakar memasak selama satu minggu. Dalam masyarakat Dayak, tradisi itu disebut maneweng (menebang), manetek (memotong), manyila (membelah) kayu. Sudah sejak pindah ke Palangkaraya pada tahun 1983 ia masih setia dengan tungku sederhananya yang berbahan bakar kayu.  

"Di kampung saya, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng juga begitu. Saya sudah biasa mencari kayu bakar sejak umur 10 tahun," kata Mardy. Meski gempuran teknologi kian deras mengikis tradisi lokal, sebagian kecil masyarakat Dayak tetap mempertahankan memasak dengan kayu bakar.

Akan tetapi, kesetiaan Mardy terhadap tradisi itu bukannya tak terganggu kebimbangan. Ia sebenarnya ingin mengganti tungkunya dengan kompor gas. Peralatan memasak lebih cepat kotor kalau menggunakan tungku. Peralatan masak pun kian cepat rusak karena harus sering digosok, tuturnya.

Namun, penghasilan Mardy yang hanya sekitar Rp 1,5 juta per bulan belum memungkinkan untuk membeli kompor gas. Sehari-hari, Mardy bekerja serabutan seperti menyadap karet, menangkap ikan, dan berburu babi hutan. Di rumahnya, Mardy membuka warung kecil untuk sekadar menambah penghasilan.

Sesungguhnya, maneweng manetek manyila kayu semakin jarang dilakukan masyarakat Dayak. Isu berkurangnya luas hutan semakin mempersempit ruang gerak para pelaku tradisi tersebut. Padahal, kearifan lokal suku Dayak telah menjaga kelestarian hutan dengan mengambil kayu seperlunya saja sesuai kebutuhan.

"Apalah artinya kalau saya butuh satu-dua pohon untuk sekadar membuat dapur berasap dibandingkan pembalakan liar yang dibiarkan terus dan membuat hutan hancur," ujarnya.

 

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan