Selasa, 18 Disember 2012

KOMPAS.com - Regional

KOMPAS.com - Regional


Ikan Mati di Teluk Lampung Bukan karena Virus

Posted: 18 Dec 2012 08:14 AM PST

Perikanan

Ikan Mati di Teluk Lampung Bukan karena Virus

Penulis : Yulvianus Harjono | Selasa, 18 Desember 2012 | 16:14 WIB

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com — Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Lampung memastikan bahwa kematian ribuan ikan di Teluk Lampung bukan karena penyakit atau virus.

"Kami sempat turun dan mengambil sampel ikan yang mati. Setelah diteliti di laboratorium, hasilnya ternyata negatif dari bakteri, parasit, jamur, atau virus. Bukan karena penyakit," tutur Herman dari Stasiun Karantina Ikan Kelas I Lampung, Selasa (18/12/2012).

Menurut dia, ada penyebab lain dari kematian ribuan ikan secara tidak wajar di sejumlah tempat budidaya di Teluk Lampung. Hal ini semakin menegaskan bahwa ikan-kan itu mati akibat fenomena red tide atau meledaknya populasi plankton.

Ledakan populasi plankton mengakibatkan ikan sulit bernapas. pasalnya, plankton itu menempel di insang dan mengambil oksigen dalam jumlah besar.

"Kematian ikan-ikan itu kemungkinan besar karena ledakan alga (plankton)," ujar Herman.

Biaya Operasional Bukan Penghasilan

Posted: 18 Dec 2012 08:08 AM PST

SURABAYA, KOMPAS.com - Pemerintah Kota Surabaya menilai biaya operasional bukan termasuk penghasilan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan, Wali Kota Surabaya berpenghasilan Rp 194,1 juta per bulan, padahal realitanya sangat berbeda.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeko) Surabaya Hendro Gunawan mengatakan, penyampaian informasi tentang penghasilan kepala daerah memang sah-sah saja, namun perlu dipahami penggunaannya agar tidak terjadi salah persepsi. Seperti diungkap FITRA penghasilan Risma sebesar Rp 194,1 juta per bulan dengan rincian Rp 139 juta di antaranya merupakan biaya operasional.

Pelaksana Tugas Kabag Bina Program Ery Cahyadi menekankan, bahwa biaya operasional tidak sama dengan take home pay, artinya tidak masuk ke kantong pribadi wali kota melainkan digunakan untuk keperluan operasional. Pandangan ini sudah disampaikan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) beberapa waktu lalu.

"Dan mereka setuju dan sepakat bahwa biaya operasional tidak bisa dikatakan penghasilan," ujar Ery, melalui rilis yang diterima Kompas di Surabaya, Selasa (18/12/2012). Menyangkut besaran biaya operasional, kata Ery, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam pasal 9 dikatakan, besarnya biaya penunjang operasional ditetapkan berdasarkan klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

"PAD Surabaya sebesar Rp 1,7 triliun sehingga masuk kategori di atas Rp 150 miliar. Jadi operasionalnya paling rendah Rp 600 juta dan paling tinggi 0,15 persen dari PAD," terangnya.

Ery melanjutkan, adapun penggunaan operasional meliputi pakaian dinas Rp 2.736.278, pemeliharaan kendaraan dinas Rp 9.390.405, pemeliharaan kesehatan Rp 10.000.000 dan yang terbesar untuk keperluan belanja rumah tangga Rp 91.666.667. Kebutuhan yang termasuk belanja rumah tangga antara lain, pengisian tabung gas, juru masak, kebutuhan dapur, kebersihan rumah dinas, konsumsi tamu, dan lain sebagainya.

Jika biaya operasional tidak terserap maka akan kembali ke kas daerah. "Semua angka tersebut adalah beban per bulan, jadi total biaya operasional dalam sebulan sebesar Rp 113.793.350. Angka ini berbeda dengan apa yang diliris oleh FITRA yang menyebutkan sebesar Rp 139 juta. Saya tidak tahu penyebabnya, yang pasti ini data rill dan semua ada buktinya," papar Ery.

Ketika ditanya penghasilan wali kota sebenarnya, Ery menjawab, secara aturan komponen penghasilan wali kota terdiri dari gaji pokok, tunjangan, pendapatan lain-lain, atau istilahnya saat ini insentif dari sektor pajak, dan operasional yang bukan berupa uang tetapi pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Dia mengungkapkan, gaji pokok Wali Kota sebesar Rp 2,2 juta per bulan. Jika ditambah tunjangan menjadi Rp 6,2 juta per bulan. Mengenai pendapatan dari insentif pajak, Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan (DPPK) Surabaya Suhartojo menerangkan, insentif tersebut berlaku jika target pajak tercapai. Perhitungannya, maksimal mencapai 6 kali dari gaji pokok dan berlaku per jenis pajak. "Itu maksimal, tergantung hasilnya bagaimana, kalau yang diperoleh hanya cukup 3 kali gaji ya itu yang akan diterima," jelasnya.

Tahun 2012 ini, Suhartojo mengungkapkan, ada enam pajak yang telah mencapai target. Pajak yang dimaksud yakni Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), pajak reklame, pajak restoran, pajak hotel, parkir, dan hiburan. Sedangkan sisanya masih belum memenuhi target. "Insentif pajak diberikan per tri wulan," ujarnya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan