Ahad, 27 Mac 2011

Sindikasi welcomepage.okezone.com

Sindikasi welcomepage.okezone.com


PBNU: Serangan AS & Sekutu ke Libya Biadab

Posted: 27 Mar 2011 01:27 AM PDT

YOGYAKARTA - Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengutuk tindakan Amerika Serikat dan sekutunya yang menyerang Libya. Said Aqil bahkan menyebut serangan tindakan itu sebagai tindakan biadab.

Hal itu disampaikan seusai membukan rapat pleno atau Rakernas di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

"Tindakan sekutu yang mengempur Libya bisa dikatakan tindakan biadab. Cara-cara seperti itu tidak menunjukkan negara demokratis yang menjunjung perbedaan. Penyerangan itu tidak bisa dibenarkan," tegas Said Aqil, Minggu (27/3/2011).

PBNU, kata dia, juga mengajak Pemerintah Indonesia untuk menengahi konflik Libya yang telah memakan banyak korban jiwa ini.

"PBNU mengajak supaya Pemerintah Indonesia dan negara-negara non-blok untuk menyelesaikan krisis di Libya," ucapnya.

Dia menduga serangan ini sangat erat kaitannya dengan minyak. Libya merupakan negara Arab penghasil minyak dengan kualitas terbaik.

"Kita semua tau, minyak di sana kualitasnya bagus. Penyerangan sekutu ke Libya dengan dalih kemanusian itu tidak bisa dibenarkan," tegasnya.

(ton)

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Daya Saing Industri Nasional Masih Lemah

Posted: 27 Mar 2011 01:20 AM PDT

JAKARTA - Kalangan pengusaha menilai, daya saing industri nasional masih lemah. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Erwin Aksa mengatakan, untuk menghadapi perdagangan bebas Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA), industri nasional harus bisa bersaing dengan industri negara lain untuk memasok kebutuhan dunia.

"Industri kita hanya memasok kebutuhan satu negara. Tentu akan sulit bersaing,"kata Erwin di Jakarta akhir pekan lalu.

Industri di China, lanjut Erwin,  mendapatkan insentif berupa suku bunga yang murah dan pemotongan pajak. Akibatnya, kata Erwin, biaya produksi mereka jauh lebih murah ketimbang Indonesia. Sehingga, ujarnya, China bisa menghasilkan produk yang lebih murah.

"Padahal,produk-produk konsumsi seperti telepon genggam, elektronika, dan pakaian jadi yang lebih murah, yang mengontrol adalah mekanisme pasar,"ujar Erwin.

Pada saat ini, menurut Erwin, kalangan pengusaha nasional memiliki kecenderungan perilaku untuk lebih memilih dan menikmati menjadi pedagang importir ketimbang pelaku industri sektor manufaktur. Pasalnya, ujar Erwin, resiko bisnis untuk membangun industri manufaktur jauh lebih tinggi.

"Mulai dari modal, beban produksi, hingga masalah buruh. Kalau menjadi importir pedaga, dengan omzet serupa, dia tidak harus menanggung risiko bisnis. Perilaku ini harus diubah,"imbuhnya.

Sehingga, ujarnya, sektor Industri manufaktur harus didukung dengan insentif. Erwin mencontohkan, untuk industri yang belum ada di Indonesia dan sektor produk yang importasinya mudah, harus ditarik investasinya dengan diberikan paket insentif yang diminta. "Pasti benefit-nya luar biasa,"ucap Erwin.

Selain itu, kata Erwin, pemerintah China, sejak awal telah menetapkan arah yang tegas dan jelas. Yakni, kata dia, untuk menciptakan industri terintegrasi yang kuat, mulai dari hulu hingga hilir. Sehingga, ujar dia, kebutuhan bahan baku industri juga harus terjamin. Yang paling penting, lanjut Erwin, adalah infrastruktur yang memadai mampu meningkatkan nilai tambah yang dinikmati oleh industri di China.

Sehingga, Erwin berharap, pemerintah Indonesia harus tegas dan fokus dalam menentukan arah dari industri nasional.

"Sebab, persoalannya sebenarnya adalah terletak pada jaminan pasokan bahan baku, yang kemudian mempengaruhi jaminan akses permodalan, suku bunga bank, serta infrastruktur,"terang Erwin.

Pihak perbankan, kata Erwin, tentu saja tidak mau membiayai industri yang pasokan bahan bakunya tidak terjamin. "Misalnya, saat ini, industri yang berbahan baku dan menggunakan energi gas sangat sulit mendapat akses modal dari bank. Industri di China maju karena pemerintahnya turut campur dan tegas," papar Erwin.

Persoalan lain, kata dia, tingkat suku bunga di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterapkan di China. Seharusnya, ujar Erwin, tingkat suku bunga yang ideal untuk industri adalah single digit.

"Pengusaha tidak minta banyak. Infrastruktur, jaminan bahan baku, dan suku bunga rendah," kata Erwin.

Selain itu, Erwin menambahkan, industri  juga membutuhkan jaminan pasar. Erwin mencontohkan, seharusnya pemerintah tegas dan berkomitmen dalam menggunakan anggaran belanja pengadaan barang untuk membeli produk dalam negeri. Kontrak pengadaan tersebut, ujar dia, juga harus dengan jaminan keberlanjutan pasar yang multi years, jadi bukan jangka pendek setiap tahun seperti saat ini.

"Acuan menentukan kontrak pengadaan jangan harga yang murah. Sebab, kalau fokusnya harga murah, ujung-ujungnya menggunakan barang China lagi. Sementara itu, untuk produk-produk konsumsi seperti pakaian, itu sudah dikontrol mekanisme pasar. Konsumen tentu mencari barang murah,"jelas Erwin.

Maka dari itu, menurut Erwin, kampanye program cinta produk Indonesia, jangan hanya terbatas pada produk-produk art, tapi juga konsumsi massal. "Kalau makanan dan minuman (mamin) sudah pasti masih menang produk lokal karena masalah rasa dan selera,"tandas Erwin.(Sandra Karina/Koran SI/wdi)

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan