Khamis, 1 Disember 2011

Republika Online

Republika Online


Pengobatan HIV Sama Dengan Darah Tinggi dan Diabetes

Posted: 01 Dec 2011 01:08 AM PST

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dokter spesialis penyakit dalam Universitas Indonesia, Zubairri Djoerban, mengatakan pengobatan HIV kini sudah sama seperti mengobati darah tinggi dan diabetes. "Dengan minum obat yang teratur penularan HIV bisa dicegah," kata dia saat menjadi pembicara dalam peringatan hari AIDS sedunia di Jakarta, Kamis (1/12). Ia mengatakan obat anti retroviral (ARV) dapat mencegah penularan HIV. ARV juga bisa menurunkan penyebaran virus hingga 92 persen.

Pernah suatu ketika dokter, perawat, dan pasien HIV melakukan pendakian gunung. Pasien yang rutin minum ARV justru memiliki daya tahan tubuh yang kuat hingga bisa membantu pendaki nonpasien.

ARV disediakan gratis di 273 rumah sakit di Indonesia. Mengkonsumsi ARV secara rutin bisa memulihkan pasien HIV hingga tampak seperti nonpenderita. Yang lebih penting, menurut Evy Yunihastuti, dokter spesialis penyakit dalam RSCM, adalah kesadaran untuk memeriksakan atau uji HIV sedini mungkin.

HIV merupakan virus yang menyerang sustem kekebalan tubuh. Dari luar tampek sehat, namun sebenarnya seorang tidak pernah tahu apakah ia mengidap HIV. Jika sudah ada kesadaran untuk uji HIV sudah ada, maka untuk mengobatinya akan lebih mudah.

Full content generated by Get Full RSS.

Ke Austria, Mampir ke Salzburg!

Posted: 30 Nov 2011 09:45 PM PST

Oktober lalu, wartawan Republika Elba Damhuri berkesempatan mengunjungi Austria guna menghadiri Kongres Surat Kabar Internasional di Wina. Berikut laporan perjalanannya:

Belum pas rasanya ke Austria jika tidak mengunjungi ke Salzburg. Karena itu, di tengah jadwal padat Kongres Surat Kabar Internasional di Wina, Austria, Oktober lalu, kami mencuri-curi kesempatan untuk bisa melihat-lihat keindahan dan keramaian kota yang terletak di utara Pegunungan Alpen itu.

Kami berangkat dari Stasiun Kereta Wina pukul 07.30 waktu setempat. Di musim semi jelang musim dingin, angin kencang berhembus, dan rintik hujan menjadi teman perjalanan. Kami berharap, hari itu cuaca bisa bersahabat dengan kami, setelah beberapa hari didera hujan dan kedinginan hebat.

Perasaan kami mulai was-was ketika hujan turun di luar sana sementara kereta melaju dengan rata-rata kecepatan 100 km per jam. Baru lima belas menit kereta jalan, cuaca gelap dan hujan turun. Di perjalanan berikutnya, hati kami mulai senang saat udara berubah menjadi cerah dan matahari bersinar hangat. Di kereta, kami yang tadinya memakai jaket, akhirnya terpaksa membuka, dan menggantungnya di pojok kursi, sambil berdoa semoga tidak hujan di Salzburg.

Sepanjang perjalanan, di sebelah kiri kanan tampak tanah-tanah pertanian, tanah-tanah peternakan, rumah-rumah pedesaan yang kebanyakan terbuat dari kayu, area-area industri, kota-kota kecil, dan jalan raya yang menghubungkan kota-kota di Austria. Sesekali melintas bis-bis atau mobil-mobil pribadi di jalan itu.

Sehari sebelum berangkat ke Salzburg, kami sudah membeli tiket kereta PP di mesin penjualan tiket kereta api seharga 40 euro untuk satu orang. Kami bisa memilih tempat duduk yang berada di dalam ruangan atau tempat duduk biasa seperti kebanyakan kereta di Tanah Air. Bagi anak-anak, ada gerbong khusus yang di dalamnya ada tempat permainan seperti tempat mandi bola dan perosotan kecil. Gerbong anak hanya memiliki dua kursi panjang masing-masing untuk dua orang.

Dua jam perjalanan berlalu, kami semakin khawatir dengan cuaca yang tiba-tiba berubah lagi menjadi hujan. Di langit kami lihat awan tebal menggelayut dan rintik hujan tak terelakkan. Matahari pun tampak samar-samar dalam warna putih benderang. Rasanya, percuma saja pergi ke Salzburg di lereng Alpin jika hujan tetap turun. Tapi kami masih merasa yakin cuaca bisa berubah lagi, mengingat masih ada satu jam lebih lagi perjalanan menuju Salzburg.

Tepat pukul 10.25 kami sampai di Stasiun Salzburg, dan cuaca di luar saat itu lima derajat Celcius. Jaket menjadi sangat rapat. Dan syukurlah, cuaca cukup bersahabat meski sepoi angin membuat kami terus menggigil. Matahari bersinar cerah, hujan sudah berhenti.

Menuju Kota Tua

Di Stasiun Salzburg, kami mampir di kantor turis untuk meminta peta. Kami lebih memilih jalan kaki menuju wilayah kota tua, pusat wisata di kota kelahiran pemusik klasik yang mati muda, Wolfgang Amadeus Mozart. Kami lebih suka berjalan kaki sambil melihat-lihat seisi kota meski berisiko tersesat. Bagi traveler ataupun backpacker, ini tentu menjadi sesuatu yang sangat biasa.

Sungai Salzach menjadi patokan pertama kami untuk sampai di pusat kota dan kota tua. Sungai ini membelah kota terbesar keempat di Austria itu antara area kota tua dan kota modern. Jarak dari stasiun kereta ke pusat kota hanya sekitar 3-4 km. Kata orang Austria, jarak yang masih bisa direkomendasikan untuk berjalan kaki asalkan tidak bablas nyasar ke arah berlawanan.

Jangan khawatir tersesat. Bertanya adalah kunci sukses tidak salah arah di perjalanan. Untuk sampai ke pusat kota, kami sempat sekali bertanya ketika melintasi sebuah sekolah. Seperti dugaan kami, orang Austria yang memberi info jalan itu menunjukkan arah sesuai dengan yang kami jalani.

Kami sempat mampir di sekolah musik Mozart dan diajak masuk oleh siswa di sana. Terdengar suara paduan suara ketika kami berada di lobi gedung sekolah itu. Bangunan itu terlihat tidak terlalu luas dari luar, tetapi cukup besar di dalamnya. Hanya lima menit di sana, kami pun melanjutkan jalan kaki menuju pusat kota.

Sungai Salzach dan Jalan Getreidegasse

Hanya dalam sepuluh menit, kami pun sampai di jembatan Sungai Salzach. Ratusan turis dari Eropa Timur, Jepang, Cina, dan negara-negara lain terlihat menikmati pemandangan kota tua yang tampak dari kejauhan. Foto-foto pun tak bisa dilewatkan.

Sungai Salzach berwarna biru dan bersih, tak ada sampah mengalir di atasnya. Di sisi kanan kiri sungai, terbentang jalan sekitar dua meter yang biasa digunakan pejalan kaki dan pesepeda. Seperti kebanyakan kota-kota di Eropa, bersepeda pun ramai di sini. Banyak orang berlalu lalang dengan sepeda-sepeda dengan berbagai jenis dan model.

Sejumlah kursi panjang berdiri di pinggir jalan kecil itu, menghadap ke sungai. Melepas lelah sambil mencuci mata menyaksikan pemandangan di sekitar sungai menjadi pilihan banyak turis. Jangan lupa, minuman harus terus tersedia agar terhindar dari dehidrasi.

Tujuan berikutnya, Getreidegasse. Ini adalah salah satu jalan tertua di Austria yang di kiri kananya berjejer toko-toko suvenir. Tidak sampai lima menit dari Sungai Salzach, kami pun sampa di jalan pusat turis beli oleh-oleh itu. Beragam barang dijual di sini, mulai dari stiker, kaos, jaket, patung, coklat, gantungan kunci, tempelan kulkas, sampai pernak-pernik suvenir yang kecil-kecil.

Kafe-kafe dan restoran juga melengkapi pusat belanja itu, plus ada satu gereja yang terletak di ujung jalan. Getreidegasse jika berjalan ke ujung kanannya, berakhir di gereja itu yang terletak di bawah bukit kecil. O ya, saat makan siang kami memilih restoran Jepang, masing-masing per orang kena 20-30 euro.

Warisan Dunia UNESCO

Dari sini, kami berjalan ke arah kota tua yang dijadikan situs warisan sejarah dunia oleh UNESCO. Sebelum sampai di monumen UNESCO tersebut, kami sempat singgah di rumah kelahiran Mozart yang kini menjadi museum. Cukup bayar 10 euro, sudah bisa masuk di rumah yang depannya penuh warna kuning itu. Kami bisa melihat kamar tidur, dapur, tempat mandi, sampai ruangan di mana Mozart biasa belajar piano. Dan, ada toko suvenir di museum itu.

Dari Museum Mozart dan akhirnya tahu sedikit tentang masa kecilnya, kami pun bergerak ke pusat kota tua itu, ingin melihat plakat UNESCO. Ada patung di depan plakat UNESCO yang menandai bahwa kota tua Salzburg memang merupakan bagian dari warisan dunia. Juga, banyak gedung dicat warna-warni di sekitar sana. Anda bisa keliling kota tua dengan delman, membayar 15 euro per orang.

Puas menikmati kota tua, kami kembali memilih jalan kaki menuju stasiun. Tentu, dengan arah yang berbeda dengan ketika kami berangkat. Pilihan kami ternyata tepat. Di sepanjang jalan kembali ke stasiun, mengejar kereta pukul 16.00, kami menemukan tempat-tempat wisata lainnya, di antaranya Istana Mirabell, Universitas Mozart, dan beberapa museum kecil.

Di sekitar Universitas Mozart, kami terbiasa dengan pemandangan di mana anak-anak dan remaja berjalan sambil membawa beragam alat musik. Ada yang bawa biola, gitar, organ kecil, maupun terompet. Maklum, selain Universitas Mozart yang fokusnya studi musik, masih banyak sekolah dan tempat kursus musik di Salzburg.

Kami sempat ngopi sebentar di sebuah kafe di pinggir jalan. Kemudian, lima belas menit sebelum kereta menuju Wina berangkat, kami sudah tiba di Stasiun Salzburg. Kembalilah kami ke Hotel Novotel tempat kami menginap selama di Wina. Tentu saja, esoknya, kami harus berkutat lagi dengan jadwal padat Kongres Surat Kabar Dunia.

Full content generated by Get Full RSS.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan