Ahad, 31 Julai 2011

ANTARA - Hiburan

ANTARA - Hiburan


"Lampu Pendem" Sambut Malam Ramadan di Pemalang

Posted: 31 Jul 2011 06:51 AM PDT

n sekarang hanya beberapa rumah yang memasang lampu tradisional tersebut,"

Berita Terkait

Video

Pemalang (ANTARA News) - Warga Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, sejak Minggu sore mulai memasang "lampu pendem" aneka warna di halaman rumah masing-masing untuk menyambut dan menyemarakkan malam Ramadhan 1432 Hijriah.

"Pemasangan `lampu pendem` di halaman rumah sudah menjadi tradisi turun temurun sejak puluhan tahun silam, dan berlangsung hingga malam Lebaran," kata seorang warga Desa Purwosari, Kecamatan Comal, Kabupaten Pemalang, Hadi (43), di Pemalang, Minggu.

Hadi yang sesepuh masyarakat desa setempat itu mengatakan, lampu aneka warna itu disebut "lampu pendem" karena pemasangan lampu minyak tersebut tidak digantung atau ditempatkan di atas meja, namun ditimbun di halaman rumah sebagai lampu penerang sekaligus hiasan menyambut malam Ramadhan.

Selain proses pembuatannya mudah, katanya, bahan pembuatan lampu tradisional tersebut juga sederhana dan banyak terdapat di sekitar rumah, yakni dari botol bekas, sepotong kain berukuran sekitar 2x10 centimeter, tutup minuman ringan, minyak tanah sebagai bahan bakar, dan tempat sabun bekas atau wadah lainnya berbahan plastik.

"Prosesnya sama dengan membuat lampu minyak pada umumnya, yakni botol kaca yang sudah tidak terpakai diisi minyak tanah dan diberi sumbu menggunakan kain, kemudian ditanam hingga leher botol, setelah badan botol tertimbun tanah selanjutnya sumbu dinyalakan lalu tutup minuman ringan yang berbahan aluminium yang sudah diberi lubang pada bagian tengahnya ditutupkan pada bagian atas botol," katanya.

Jika api sudah menyala dan berkedip-kedip karena ditimpa tutup botol, katanya, kemudian bekas tempat sabun yang bagian bawahnya telah dihilangkan, kemudian ditutupkan di lampu tersebut, sehingga selain cahaya yang memacar dari lampu tersebut berubah warna sesuai dengan warna benda plastik yang menutup sekelilingnya, "lampu pendem" juga berkedap-kedip terlihat indah saat malam hari.

"Kalau `lampu pendem` sudah menyala dan kedap-kedip, suasana Ramadhan semakin menjadi semakin semarak," katanya.

Ia mengatakan, lampu khas warga pesisir pantai utara tersebut biasanya dibuat oleh anak-anak menjelang malam Ramadhan, mereka beramai-ramai mencari bahan dan membuatnya bersama-sama.

Seorang warga Kecamatan Ampelgading, Pemalang, Rito (45), mengatakan, sejak lima tahun terakhir tradisi memasang "lampu pendem" di kecamatan tersebut semakin berkurang, karena warga sekarang beralih memasang lampu listrik aneka warna yang lebih praktis.

"Sekitar lima tahun silam, hampir semua rumah warga memasang `lampu pendem` saat malam Ramadhan, namun sekarang hanya beberapa rumah yang memasang lampu tradisional tersebut," katanya.

Ia mengemukakan, selain praktis, warga lebih memilih memasang lampu listrik beragam warna untuk menyemarakan malam bulan suci Ramadhan karena harga minyak tanah mahal.

"Sekarang warga tidak ingin repot menyalakan, mematikan, mengisi minyak tanah jika botol telah kosong, dan menutup lampu dengan plastik jika hujan turun," katanya.
(ANT281/M029)

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by Used Car Search.

Seniman Yogyakarta-Australia Berkolaborasi Gelar Pameran

Posted: 31 Jul 2011 06:44 AM PDT

Setiap seniman sebelumnya juga tidak diberitahu kepada siapa atau karya siapa yang akan direspons.

Berita Terkait

Yogyakarta (ANTARA News) - Seniman dari Yogyakarta dan Australia berkolaborasi menggelar pameran bertajuk "To Know the Unknown" di Sewon Art Space Yogyakarta.

"Pameran yang merupakan respons budaya yang diwujudkan dalam berbagai media itu menampilkan sembilan karya seni hasil kolaborasi enam seniman dua negara tersebut," kata koordinator pameran "To Know the Unknown", Dyah Soemarno, di Yogyakarta, Minggu.

Menurut Dyah, enam seniman yang terlibat dalam pameran kolaborasi itu adalah Arya Sukapura Putra, Baskoro Latu, dan Nurul Hayat "Acil" dari Yogyakarta, dan Karel Dudesek, Lukas Birk, dan Marbod Fritsch dari Australia.

"Mereka bereksperimen dengan kata-kata, warna, bentuk, waktu, dan ruang. Jika dibandingkan dengan seni musik, film atau pertunjukan, kerja sama dalam seni visual adalah hal yang jarang dan tidak biasa," katanya.

Ia mengatakan, untuk meningkatkan ketidaknyamanan, para seniman yang berkolaborasi tidak saling mengenal satu sama lain atau mengenal karya antarmereka.

"Setiap seniman sebelumnya juga tidak diberitahu kepada siapa atau karya siapa yang akan direspons, seperti karya Lukas Bird yang kemudian direspons oleh Baskoro Latu," katanya.

Menurut dia, karya-karya foto Lukas, yang menurut Baskoro banyak berbicara tentang politik dan sejarah manusia, direspons dengan menggunakan figur anak-anak dalam rangkaian bentuk meja dan kursi.

"Mereka belum saling mengenal, tetapi dengan bahasa kalbu masing-masing karya yang direspons dapat tersampaikan. Mereka juga baru mengetahui karya hasil responnya setelah ditampilkan," katanya.

Ia mengatakan, pameran yang berlangsung hingga 12 Agustus 2011 itu sekaligus sebagai tanda dibukanya sebuah ruang budaya baru di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yaitu Sewon Art Space.

"Selain pameran, ruang itu juga memfasilitasi kolaborasi dan wacana seniman Indonesia, Australia, dan Eropa. Ruang itu menjadi akses terbuka terhadap perkembangan seni kontemporer dan kebudayaan Australia dan Eropa kepada masyarakat DIY," katanya.

(B015*H010)(/H008)

Editor: Ella Syafputri

COPYRIGHT © 2011

Ikuti berita terkini di handphone anda di m.antaranews.com

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by Used Car Search.

1 ulasan:

  1. bukan australia mbak, tapi AUSTRIA. salah huruf tapi maknanya udah bergeser jauuhh sekali. makasih.

    BalasPadam