Ahad, 5 Ogos 2012

KOMPASentertainment

KOMPASentertainment


Tiga Masa Lalu dalam Satu "Belenggu"

Posted: 04 Aug 2012 10:19 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com -- Penonton Korea memang beda. Setiap hari gedung bioskop di CGV Mall di kota Bucheon, Korea Selatan, selalu dipadati penonton. Mereka juga termasuk kelas penonton yang kritis. Sutradara film Belenggu, Upi (Sartri Dania Sulfiati), termasuk yang kewalahan meladeni hujan pertanyaan.

Film Belenggu menjadi satu-satunya film Indonesia yang lolos seleksi untuk mengikuti kompetisi tingkat internasional dalam 16th Puchon International Fantastic Film Festival (Pifan), 19-29 Juli 2012. Festival ini menyertakan film-film berjenis thriller, misteri, horor, animasi, dan fantasi dari 42 negara. Lebih dari 200 film diputar selama 10 hari. "Pifan termasuk satu festival besar dalam jenis film fantastis di tingkat Asia dan dunia," ujar produser Belenggu, Federica, dari Falcon Pictures di Korea Selatan.

Kendati tidak berhasil menyabet penghargaan, Belenggu tetap pantas diapresiasi tidak saja karena keberanian produsernya yang akan membawa film ini ke beberapa festival internasional, tetapi juga karena film ini menyuguhkan sesuatu yang "berbeda" dalam konteks film-film nasional.

Belenggu secara cerdik mengiris domain psikologis berbalut mitos kemudian menyuguhkannya menjadi persoalan yang "khas" Indonesia. Secara ilmiah, Prof dr LK Suryani pernah meneliti tentang kedekatan mitos dengan unsur-unsur penyebab gangguan kejiwaan. Ia melihat bahwa gangguan kejiwaan tidak hanya persoalan psikologis, tetapi juga berakar dalam tradisi yang diwarisi seseorang. Suryani mengetengahkan bebainan (biasanya diderita perempuan) sebagai satu contoh gangguan kejiwaan yang memiliki akar jauh di dalam kultur seseorang.

Belenggu bermain di wilayah itu. Tokoh Elang (Abimana Aryasatya), Jingga (Imelda Therinne), dan Ibu Kebaya (Jajang C Noor) adalah tiga tokoh yang terbelenggu masa lalu. Mereka dipertemukan oleh tautan alur yang rumit sampai akhirnya terurai satu demi satu. Ibu Kebaya terobsesi kepada Laras, anaknya yang tewas pada usia 15 tahun akibat kecelakaan. Akan tetapi, kemudian ia bertemu Jingga, seorang pelacur yang tak jelas asal-usulnya. Jingga mirip dengan Laras dalam persepsi Ibu Kebaya. Pada peristiwa lain, Elang masuk rumah sakit jiwa gara-gara membunuh anak dan istrinya. Ia terobsesi memerankan profesi pemain akrobatik yang selalu berpakaian kelinci. Sementara Jingga ingin balas dendam kepada tiga pemuda yang telah memerkosanya.

Semuanya bertemu di rumah sakit jiwa. Ibu Kebaya "menyelundupkan" Jingga sebagai suster untuk mencari seorang pembunuh. Mereka bertemu Elang yang sedang sekarat dalam gangguan kejiwaan akut. Ibu Kebaya menancapkan pengaruhnya dengan "menghipnosis" Jingga dan Elang dengan perangkat ilmu yang ia warisi dari kultur Jawa. Ketiganya adalah orang-orang yang obsesif, terutama Elang. Ia selalu merekonstruksi peristiwa di dalam kepalanya sehingga realitas tercampur baur dengan imajinasi.

Relasi kultural
Upi mengaku tidak melakukan riset mendalam sebelum menulis skenario dan menyutradarai Belenggu. "Saya cuma sering menonton dan senang banget dengan film-film thriller serta misteri," katanya.

Mungkin film ini akan menjadi lebih kuat jika diikuti dengan riset mendalam seputar pengaruh kultural dalam membentuk "struktur" kejiwaan seseorang. Tradisi, dalam pandangan Suryani, tidak selamanya menjadi kanal bagi kesumpekan kehidupan kejiwaan seseorang atau satu komunitas masyarakat. Pada titik tertentu, tradisi secara perlahan "menekan" bahkan "menindas" yang berkibat pada gangguan kondisi kejiwaan seseorang.

Tokoh Ibu Kebaya cuma memainkan secuplik peran yang berbasis akar kultur, di mana ia melantunkan tembang dalam bahasa Jawa sebagai medium hipnosis. Upi tidak sampai pada pengertian yang lebih sublim dalam memahami anasir-anasir mozaik kebudayaan tradisi. Ia hanya meminjam tembang, itu pun lirik yang ia ciptakan sendiri. Padahal, tradisi menyediakan begitu banyak perangkat yang bisa dieksplorasi sehingga menjadi suguhan yang kontemporer atau bahkan populer. Ia harus lebih dalam menyelidik soal relasi kultural antarpribadi yang kemudian melahirkan satu ketersendatan komunikasi, sebagaimana kemudian disajikan dalam Belenggu.

Lepas dari itu semua, film ini seperti berjalan sendirian dalam ranah perfilman nasional. "Mungkin baru diputar tahun depan di Tanah Air," ujar Federica. Belenggu bisa menjadi pemicu bagi upaya untuk merumuskan secara lebih serius dan intelek film yang benar-benar Indonesia. Film yang tidak sekadar menyuguhkan hiburan atau menyodorkan mimpi, tetapi menyajikan sepiring keindahan yang diracik dari ranah kultural Nusantara. (Putu Fajar Arcana)

Afgan: Menu Ramadhan dengan Nuansa Padang

Posted: 04 Aug 2012 10:19 PM PDT

JAKARTA, KOMPAS.com -- Puasa atau tidak puasa bagi penyanyi Afgan Syah Reza atau biasa disapa Afgan tetap sama saja.  Sebab  Afgan mengaku termasuk orang yang susah makan.

"Puasa sama nggak puasa tetap sama aja buat saya karena saya termasuk orang yang jarang makan," kata Afgan saat ditemui di Central Park, Jakarta Barat, Kamis (2/8) malam .

Meski demikian, ternyata ia memiliki menu makanan favorit di bulan Ramadhan penuh berkah ini. Apa itu?

"Rendang, pokoknya tetep ada nuansa padangnya," tambah Afgan. "Dan saya paling nggak bisa makan, kalau nggak ada sambel," tuntas pria kelahiran Jakarta, 27 Mei 1989 ini.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan