Ahad, 10 April 2011

KOMPAS.com - Regional

KOMPAS.com - Regional


Malang Bersiap "Sambut" Ulat Bulu

Posted: 10 Apr 2011 06:37 AM PDT

MALANG, KOMPAS.com — Walaupun Kabupaten Malang, Jawa Timur, belum terserang ulat bulu seperti yang terjadi di Kabupaten Probolinggo dan daerah lainnya di Jawa Timur, pihak Dinas Pertanian Kabupaten Malang sejak dini sudah melakukan antisipasi agar jika ada serangan ulat bulu, bisa langsung teratasi.

Bentuk antisipasi yang dilakukan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian hama terpadu (PHT). "Apa yang kami lakukan itu atas instruski Gubernur Jawa Timur Soekarwo," kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Malang Purwanto, dihubungi melalui telepon, Minggu (10/4/2011).

Menurut Purwanto, penerapan sistem PHT akan lebih aman dibandingkan dengan penggunaan insektisida. Kalau menggunakan insektisida, dikhawatirkan berdampak buruk bagi lingkungan yang ada. "Secara tertulis kami memang belum menerima surat edaran dari Gubernur Jawa Timur. Namun, kami sudah mendapat informasi dari Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur via telepon agar menerapkan sistem PHT itu," katanya.

PHT dilaksanakan dengan menggunakan predator alami untuk ulat bulu. "Sampai sekarang, pihak Dinas Pertanian Kabupaten Malang masih terus melakukan penelitian. Sebab, informasi yang diterima pihak kami, ulat bulu yang menyerang Kabupaten Probolinggo itu adalah spesies baru," katanya.

Penelitian dilakukan dengan mengambil ulat bulu yang terserang penyakit. Sampel itu dibawa ke laboratorium hama untuk dikembangkan virusnya. Dalam melakukan pemantauan, Dinas Pertanian Kabupaten Malang mengerahkan 33 petugas yang disebar di setiap kecamatan di Kabupetan Malang.

Mereka bertugas mengamati jangkauan penyebaran serangan ulat bulu. "Sejak hari ini, 33 petugas itu sudah menyebar di lapangan. Namun, sampai detik ini belum juga ada laporan kalau di kabupaten ada ulat bulu seperti di Probolinggo itu," tuturnya.

Sementara itu, Sirojudin (43), seorang petani di Dusun Tulusayu, Desa Tulusbesar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, mengaku sudah khawatir terhadap ancaman serangan ulat bulu itu. "Saya sudah khawatir serangan ulat bulu itu akan merusak lahan pertanian kami. Kabarnya, ulat bulu itu juga menyerang lahan pertanian," ujarnya.

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Malapetaka Petani Kubis di Kota Batu

Posted: 10 Apr 2011 06:15 AM PDT

BATU, KOMPAS.com — Malapetala kini menimpa para petani kubis yang ada di Kota Batu, Jawa Timur. Hampir semua petani mengeluhkan harga kubis anjlok. Tragisnya lagi, anjloknya harga tepat terjadi saat masa panen raya.

Tekanan jiwa akibat masalah itu salah satunya diungkapkan Supeno (45), seorang petani kubis asal Desa Sumberbrantas, Kota Batu. Ia memilih untuk "membunuh" tanaman yang telah dirawatnya sekian lama. "Kami tak bisa berbuat apa-apa melihat harga kubis yang anjlok. Semua panen kubis milik saya, saya beri obat herbisida (zat pembunuh tanaman)," kata Supeno, Minggu (10/4/2011), saat ditemui di lahannya.

Supeno nekat memberi obat herbisida karena kesal, usaha yang sudah dilakukannya dengan merawat dan memberi obat agar kubis tumbuh subur terasa sia-sia. "Tak lama lagi setelah diberi obat herbisida, kubis itu akan kuning dan langsung mati. Satu hektar saya beri obat semua," kata petani yang memiliki lahan kubis seluas 1 hektar ini.

"Hal ini bukan hanya dialami saya, tetapi semua petani kubis juga melakukan yang sama. Stres semua petani di sini," keluhnya.

Kalau dalam kondisi normal, harga kubis Rp 1.500-Rp 2.000 per kilogram. Namun, saat ini harga kubis terjun bebas, menjadi Rp 200 hingga Rp 300 per kilogram. "Kalau harganya demikian, bagaimana kami bisa mengeruk keuntungan," katanya.

Jika harga masih Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per kilogram, kata Supeno, petani masih bisa mendapatkan penghasilan, senilai Rp 50 juta hingga Rp 60 juta per hektar. "Kalau harga kubis menjadi Rp 300 per kilogram, dalam 1 hektar lahan kubis hanya mampu mendapatkan Rp 2 juta. Bahkan, ada yang malah rugi," ujarnya.

Dalam 1 hektar lahan, biaya yang harus dikeluarkan oleh petani kubis Rp 20 juta hingga Rp 25 juta. Biaya tersebut dikeluarkan untuk membeli bibit kubis. Selain itu, juga ada biaya perawatan dan upah para buruh tani.

Ditanya apa yang menyebabkan harga kubis di kota wisata itu anjlok? Supeno menduga karena panen raya yang serentak terjadi se-Indonesia. Hasilnya, suplai berlebih untuk komoditas tersebut. "Kubis di sini dibuang seperti sampah. Tak ada artinya," cetus Supeno berdana kesal.

Keluhan yang sama juga dialami Abdullah, petani Kubis asal Wajak, Kabupaten Malang. "Semua petani kubis sekarang stres akibat harga kubis anjlok. Harganya sangat tidak menguntungkan petani. Modalnya puluhan juga, setelah panen harganya turun drastis. Katanya akibat panen raya se-Indonesia," katanya.

Sementara itu, menurut pengakuan Sukarman (46), salah satu pedagang Kubis asal Kota Batu, harga sayur kubis memang masih rendah, terutama sayur yang berasal dari Kota Batu. "Bukan hanya petani yang dirugikan dan mengalami stres. Pedagang juga stres dan harus gigit jari. Bukan hasil yang di dapat, tetapi rugi yang menimpa," katanya saat dihubungi via telepon, sore ini.

Sukarman mengaku hanya bisa meratapi nasibnya. "Terpaksa harus sabar menerima nasib ini. Tak ada jalan lain. Saya puluhan juta modal yang tak jelas akan kembali apa tidak," akunya.

Di tempat berbeda, Kepala Dinas Pertanian Kota Batu Himpun mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Karena kondisi tersebut merupakan bagian dari mekanisme pasar. "Kami tak bisa intervensi harga pasar. Begitulah harga pasar. Kadang untung kadang juga harus rugi," jawabnya singkat.

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan