Jumaat, 11 Mac 2011

KOMPAS.com - Internasional

KOMPAS.com - Internasional


Miyagi Sering Mengalami Tsunami

Posted: 12 Mar 2011 01:11 AM PST

JAKARTA, KOMPAS — Gempa dan tsunami sudah berkali-kali menghantam Provinsi Miyagi di Pulau Honshu, Jepang. Gempa dan tsunami setinggi 10 meter, Jumat (11/3/2011), adalah yang kelima kali tercatat. Tsunami tersebut merambat ke sebagian wilayah timur Indonesia, tetapi tidak berdampak. Sebab, ketinggiannya hanya sekitar 0,1 meter.

Menurut Direktur Pesisir dan Lautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Subandono Diposaptono, "Daerah Miyagi sudah beberapa kali terjadi tsunami, sekurangnya tercatat sejak tahun 1700."

"Setelah itu terjadi tsunami Meiji Sanriku tahun 1896, tsunami Showa Sanriku 1933, dan pada tahun 1968 terjadi lagi tsunami akibat gempa bumi Tokachi-Oki. Semua tsunami near-field (tsunami yang terjadi di dekat pantai)," kata Subandono yang meraih gelar doktor dari Tohoku University, Tohoku, Provinsi Miyagi. Tahun 1960 tsunami far-field (jauh dari pantai) menghantam Miyagi akibat gempa besar di Cile.

Setelah tsunami tahun 1933, Dewan Pencegahan Gempa Bumi Jepang menerbitkan buku metode pencegahan tsunami. Selanjutnya terus dikembangkan teknologi prakiraan tsunami, juga ilmu pengetahuan dan teknologi sistem perlindungan pantai. "Jepang juga membangun pemecah gelombang agar dapat meredam tsunami setinggi 6 meter." tulis Subandono dalam bukunya, Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami.

Ke Indonesia

Mengenai penjalaran tsunami itu, Riyadi, pengamat di Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (PGN BMKG), mengatakan, "Ketika sampai di Omaizaki, sekitar dua jam kemudian, ketinggian air sudah menurun jadi 2,1 meter."

Pusat Gempa Nasional merupakan salah satu simpul dari jejaring PTWC (Pacific Tsunami Warning Center) yang memantau tsunami di kawasan Samudra Pasifik.

Dalam jejaring PTWC, penjalaran tsunami Honshu sebelum sampai ke Papua akan terpantau oleh beberapa alat pengukur gelombang pasang (tide gauge) di Taiwan dan Guam. Tide gauge di Indonesia ada di pesisir utara Jayapura.

Bayu Pranata, yang juga pengamat di PGN BMKG, mengatakan, tsunami dapat meningkat lagi ketinggiannya karena kondisi geografi. "Daerah yang berupa kepulauan memungkinkan terjadinya akumulasi energi gelombang ketika masuk ke selat-selat yang dilaluinya," kata Bayu.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Fauzi mengatakan, kerentanan tertinggi justru dialami para nelayan yang sedang di tengah laut atau di tepi pantai karena mereka akan terbawa tsunami ke arah pantai.

"Dorongan gelombang tsunami dengan gelombang laut berbeda. Gelombang tsunami akan terus-menerus membawa perahu ke pantai. Adapun gelombang laut biasa hanya membuat perahu nelayan berayun," ujarnya.

Ditentukan region

Tentang kaitan gempa satu daerah dengan daerah lain pada satu lempeng yang sama, menurut peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Bandung, Jawa Barat, Danny Hilman Natawijaya, saat dihubungi dari Jakarta, menyatakan gempa di suatu daerah ditentukan kondisi masing-masing sumber gempa.

Pergerakan Lempeng Pasifik di Selandia Baru dan Jepang tidak akan memengaruhi pergerakan Lempeng Pasifik di Papua karena lokasinya yang jauh.

Setelah gempa 6,3 skala Richter melanda Christchurch, Selandia Baru, 22 Februari, kemarin terjadi gempa 8,9 skala Richter yang mengguncang Sanriku Oki, Jepang—keduanya berada di sisi barat Lempeng Pasifik. Meski demikian, di wilayah Indonesia yang juga terdapat Lempeng Pasifik, seperti Papua dan Maluku Utara, tidak otomatis akan terjadi gempa.

Kondisi berbeda terjadi pada gempa di Aceh, Nias, Mentawai, dan Padang beberapa waktu lalu. Daerah-daerah itu terletak pada lempeng yang sama dan jaraknya sangat berdekatan.

"Aturan umumnya, makin jauh jarak antarsumber gempa, pengaruhnya akan semakin berkurang," katanya.

Lempeng Pasifik terbentang dari Jepang dekat Kutub Utara hingga ke dekat Kutub Selatan bumi. Meski berada dalam satu lempeng, lempeng ini memiliki banyak bagian yang masing-masing bergerak sendiri dengan arah berbeda-beda. Lempeng Pasifik di dekat Papua bergerak ke arah barat daya dengan kecepatan 12 sentimeter per tahun.

"Pergerakan Lempeng Pasifik di Selandia Baru atau Jepang tidak akan membuat pergerakan Lempeng Pasifik di Papua menjadi lebih cepat atau melambat," katanya.

Fauzi juga menjelaskan, wilayah Papua menyimpan potensi gempa besar, sama seperti pesisir barat Sumatera. Namun, kapan waktu pasti terjadinya gempa belum bisa diprediksi dengan teknologi yang ada.

Potensi gempa diprediksi sesuai dengan intensitas gempanya yang dinyatakan dengan skala Richter. Semakin tinggi skalanya, semakin kecil potensi terjadinya gempa karena energinya besar sehingga butuh waktu lebih lama untuk mengakumulasikan energi. Gempa yang diprediksi akan sering terjadi adalah yang berkekuatan 5 skala Richter ke bawah. (ISW/MZW/YUN)

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Greenpeace: Jepang Alami Krisis Nuklir

Posted: 12 Mar 2011 12:31 AM PST

DAMPAK GEMPA

Greenpeace: Jepang Alami Krisis Nuklir

Penulis: Egidius Patnistik | Editor: Egidius Patnistik

Sabtu, 12 Maret 2011 | 08:31 WIB

TOKYO, KOMPAS.com — Kelompok lingkungan Greenpeace, Sabtu (12/3/2011), memperingatkan, kerusakan akibat gempa pada dua pembangkit nuklir Jepang berarti "negara itu berada di tengah krisis nuklir dengan konsekuensi yang mungkin mengerikan".

Jepang, Sabtu, bergegas mencegah kecelakaan nuklir di dua pembangkit nuklir dimana sistem pendingin reaktor gagal setelah gempa bumi dahsyat, Jumat. Pihak berwenang Jepang telah memerintahkan 45.000 orang yang tinggal di dekat  salah satu pembangkit tersebut dan 3.000 orang di dekat pembangkit lainnya untuk mengungsi.

Sistem pendingin kedua reaktor tidak berfungsi, yaitu pembangkit nuklir Fukushima Nomor 1 dan Nomor 2, keduanya terletak di wilayah sekitar 250 kilometer di timur laut Tokyo, wilayah perkotaan dengan 30 juta penduduk. Operator Tokyo Electric Power, Sabtu, mengatakan, pihaknya telah melepaskan uap radioaktif untuk mengurangi tekanan dari pembangkit Nomor 1.

"Pembebasan sejumlah radiasi ke atmosfer membawa risiko kesehatan bagi masyarakat di daerah sekitarnya," kata Kepala Kampanye Nuklir Greenpeace Internasional Jan Beranek, sebagaimana dilaporkan AFP.

"Fakta bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima bocor atau dengan terpaksa sengaja melepaskan gas yang terkontaminasi dari reaktor ke atmosfer menandakan bahwa semua proteksi fisik yang seharusnya mampu mengisolasi aktivitas radioaktif dari lingkungan telah gagal. Perlu peringatan berapa banyak lagi hingga orang mampu memahami bahwa reaktor nuklir secara inheren berbahaya?" kata Beranek.

"Kami diberi tahu oleh industri nuklir bahwa hal-hal seperti ini tidak dapat terjadi dengan reaktor modern, tetapi saat ini Jepang berada di tengah krisis nuklir dengan konsekuensi potensial yang mengerikan. Sementara fokus segera saat ini adalah untuk meminimalkan pelepasan radiasi dan menjaga masyarakat setempat tetap aman, ini merupakan satu peringatan akan risiko yang melekat pada pembangkit nuklir, yang selamanya akan selalu rentan terhadap kombinasi berpotensi mematikan akibat kesalahan manusia, kegagalan desain dan bencana alam. "

Sent Using Telkomsel Mobile Internet Service powered by

Kirim Komentar Anda

Full Feed Generated by Get Full RSS, sponsored by USA Best Price.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan